Propaganda di Acara Makan Mayit yang Kontroversial

Asnida Riani diperbarui 01 Mar 2017, 07:28 WIB

Fimela.com, Jakarta Disajikan dalam piring berbentuk boneka bayi yang telah dibelah, acara makan mayit mengundang banyak kritis pedas. Terselenggara pada Sabtu (25/2), makan malam tak biasa ini diadakan seniman, Natasha Gabriella Tontey, yang bekerja sama dengan Footurama.

Berkonsep pertunjukan makan malam untuk 15 orang, lewat akun Youtube miliknya Natasha menyebut acara berjudul Makan Mayit ini bertujuan mengeksplorasi psikodinamika dari fantasi kanibal. Aktivis kesetaraan gender dan musisi, Kartika Jahja, adalah satu dari 15 orang yang hadir.

Kepada BBC, ia menyatakan acara tersebut merupakan eksperimen. "Saya ikutan karena yang ditawarkan adalah konsep propaganda. Bagaimana propaganda itu dapat membentuk opini publik, meskipun faktanya tidak seperti itu. Misalnya film G30S/PKI (yang dipertontonkan) dan membuat orang percaya begitu saja," ungkapnya.

Bagaimana propaganda itu dihadirkan, sambung Kartika, memengaruhi pemikiran sehingga percaya sajian di piring berbentuk boneka bayi yang dibelah tersebut adalah daging manusia. Selain itu, propaganda bahwa yang dimakan adalah daging manusia, menurut Kartika, dihadirkan lewat atmosfer dan musik.

"Di sana juga dihadirkan arkeolog yang memaparkan mengapa pada akhirnya kita manusia tidak apa memakan daging binatang, tetapi tidak untuk daging manusia. Jadi menantang pemikiran juga," katanya. Meski begitu, Kartika mengaku paham mengapa masyarakat yang tidak hadir langsung dalam acara makan mayit terpicu untuk takut dan marah. "Kita yang datang kan sudah siap dengan elemen kejutnya, tetapi mungkin tidak begitu bagi mereka yang tidak datang," tuturnya.

Tag Terkait