Fimela.com, Jakarta Bahasa isyarat, familiar dan tak familiar di saat yang sama. Familiar karena telah banyak orang menyadari keberadaannya, tak familiar lantaran masih banyak pula yang enggan mempelajari, apalagi memahami cara berkomunikasi non-verbal tersebut. Ketika sejumlah pihak seakan mencerai bahasa isyarat dengan keseharian, tidak halnya dengan Dissa Syakina Ahdanisa.
**
Terbukti dengan berdirinya Fingertalk sejak hampir dua tahun lalu. Bisnis yang diprakarsai perempuan kelahiran Jakarta, 27 tahun silam tersebut semula hanya berupa kafe dengan usungan konsep tak biasa. Bagaimana tidak, usaha yang kini telah merambah car wash itu dimaksudkan sebagai penghubung antara deaf dan hearing.
Lahir di tengah keluarga yang akrab dengan kegiataan sosial sepertinya membuat kepekaan perempuan berhijab tersebut terasah. Bermula saat jadi sukarelawan di Nikaragua, sebuah kafe yang menggandeng tunarungu sebagai pekerja menginspirasi Dissa. Saat itu ia berpikir, "mengapa juga tak buka usaha serupa di Indonesia?".
Sadar mimpinya membutuhkan upaya, belajar bahasa isyarat jadi harga mati bagi perempuan yang pernah mengenyam pendidikan di Australia tersebut. Pertemuan dengan Pat Sulistyowati, mantan Ketua Gerakan Kesejahteraan Tuna Rungu Indonesia (Gerkatin), merupakan gerbang Dissa merealisasikan angan yang dikatakan muluk oleh sebagian orang itu.
"Kami ingin membuat tempat yang bisa meningkatkan kepedulian terhadap sesama, terutama penyandang disabilitas tunarungu. Kami ingin jadi tempat yang menggabungkan deaf dengan hearing. Sekaligus membuka wawasan tentang budaya tuli dan bahasa isyarat," kata Dissa.
Tekad yang bisa dikatakan keras kepala tersebut kemudian ia wujudkan lewat naik-turun Fingertalk. Hingga akhirnya sampai pada waktu saat bahasa isyarat menjembatani Dissa bertemu dengan Barack Obama yang kala itu beliau masih menjabat sebagai Presiden Amerika Serikat. Berikut hasil wawancara Bintang.com dengan Dissa Ahdanisa soal bahasa isyarat, Fingertalk dan misi dari Obama.
Empati Berbuah Bisnis Tak Biasa
Tak ada sama sekali niat Dissa untuk membuka kafe yang mempekerjakan tunarungu. Ia hanya ingin bekerja di bidang sosial dan menghabiskan hari-hari dengan mereka yang kurang mampu. Namun empati yang dimilikinya malah membuahkan bisnis tak biasa yang jadi motor baru bagi perkenalan budaya tuli di Indonesia.
Jabarkan profil secara singkat?
Nama saya Dissa Syakina Ahdanisa. Februari ini berusia 27 tahun. Lahir dan besar di Jakarta. Sempat kuliah di Jepang dan Australia, lalu kembali ke Jepang untuk kerja. Saat kerja di Jepang itu saya jadi volunteer keluar Asia karena mau mendapat suasana baru dan bekerja bersama anak kurang mampu di latin Amerika. Sekalian belajar bahasa spanyol. Akhirnya saya pergi ke Nikaragua dan mendapatkan ide untuk membuat Fingertalk di tahun 2013.
Studi di Jepang punya andil dalam pembentukan keinginan untuk jadi volunteer atau sudah ada keinginan sejak masih di Indonesia?
Ketika di Jepang, saya bekerja di organisasi yang membantu anak-anak kurang mampu. Jadi kuliah sambil berorganisasi. Terus berlanjut ingin bekerja di bidang sosial. Akhirnya ke Nikaragua. Waktu itu apply volunteer program. Tiket bayar sendiri, sampai sana baru sama organisasi.
Awalnya nggak ada hubungannya sama membuka kafe tuli. Lebih ke kerja bareng anak-anak. Karena ketika di Nikaragaua ketemu kafe serupa, kok suka ya sama idenya. Akhirnya dua tahun baru ada realisasi. Karena aku harus belajar bahasa isyarat dan kebetulan dapat kerja di Singapura. Dari kerjaan itu, saya menabung untuk buka fingertalk.
Kebutuhan khusus banyak, mengapa pilih tunarungu?
Kalau soal pilih, saya maunya bantu semua penyandang disabilitas. Saat itu saya belajarnya bahasa isyarat. Saya suka belajar bahasa. Kalau mau ditarik benang merah lebih jauh, saya pernah ketemu kakek tuli saat kecil. Saat itu saya lihat bahasa isyarat bisa jadi media komunikasi.
Awal bangun Fingertalk gimana?
Saya mulai nabung. Karena nggak punya basic sama sekali, aku cari-cari teman juga yang ada hubungannya dengan deaf. Ketemulah dengan Bu Santi yang punya guru namanya Bu Pat. Nah, rumah Bu Pat dekat dengan rumah saya. Saya lihat Bu Pat punya tempat, kemudian saya izin pakai. 2015 sudah punya pegawai dan perekrutannya dibantu sama deaf community itu sendiri.
Cara perekrutan?
Bu Pat yang bilang ke teman-teman. Karena kami sama sekali nggak ada bugdet buat iklan dan sebagainya.
Ada kriteria tertentu saat perekrutan?
Kalo kriteria khusus umur dan semacamnya sih nggak. Kami di sini juga punya senior. Asal dia mau kerja, punya pengalaman bekerja akan sangat bagus jadi bisa mengajarkan teman-teman yang baru. Tapi kalo nggak punya ya nggak masalah. Asal sabar melayani pelanggan.
Dengan segala keterbatasan, ada tahap meyakinkan untuk bergabung?
Yang datang dari berbagai background. Ada yang sudah pernah bekerja dan memang membutuhkan pekerjaan, jadi nggak usah diyakinkan. Tapi ada juga yang ragu dengan kemampuan sendiri. Akhirnya saya ajak duduk. Memang proses sih ya. Makan waktu. Tapi lama-lama bisa.
Hutang pada Obama
Fingertalk memberi kesan lain bagi Dissa. Setelah dinamika yang cukup menguras terjadi, bertemu Barack Obama dinilai sebagai penghargaan tersendiri. Namun dalam kesempatan tersebut, Dissa malah mengemban hutan pada Presiden ke-44 Amerika Serikat tersebut.
Kenapa kafe?
Saya merasa waktu di Nikaragua itu food brings people together. Saya mikir, makanan itu gampang kena di hati. Kalau itu dibuat oleh orang-orang yang kita pikir termarjinalkan, tapi hasilnya enak, maka gampang menyentuh hati orang. Terus nggak terlalu costly. Lagipula, mereka nggak butuh pendengaran untuk masak. Terus kafe itu tempat santai, orang nggak perlu serius, jadi bisa berkomunikasi dalam setting-an yang lebih rileks.
Soal pemilihan jenis makanan?
Kalau pemilihan jenis makanan, kami masih involving sampai hari ini. Awalnya kita diskusi dengan mereka. Seiring berjalan waktu mereka kasih feedback, mana yang bagus, mana yang nggak. Ada diskusi, apa yang gampang tapi enak. Yang kalau di-training nggak akan mempersulit mereka. Pemilihannya dua arah. Challenge kita ke depan, kita harus tahu kalau orang ke Fingertalk itu cari apa.
Dari sekian banyak waktu naik-turun mendirikan Fingertak, ada momen paling diingat?
Meeting President Obama is one thing. Jadi tahun lalu, Januari 2016, ada semacam pertukaran. Tepatnya Januari dan Juni 2016. Aku hubungi organisasinya. Mereka mau datang untuk Workshop ke Fingertalk di Pamulang. 10 Delegasi Amerika itu macam-macam, ada yang guru, dokter, salah satunya resepsionis White House, Leah namanya.
Juninya, saya exchange ke US dan ditempatin di Washington. Di sana reunian sama teman yang Januari ke Indonesia. Program itu juga bikin saya pergi ke Laos. Seminggu sebelum pergi, saya dapat email dari White House untuk wawancara bersama tim penyusun pidato Obama.
Saat wawancara sudah dibilang kalau belum tentu cerita saya yang dipilih. Sehari sebelum acara, saya sudah di Laos, White House email, bilang mau telepon. Okay saya bilang. Tapi signal jelek banget di sana. Jadi saya nggak tahu persis orang White House ngomogn apa.
Tapi pas lagi acara, saya kaget Obama bicara soal Fingertalk sampai 2 menit penuh. Di situ saya merasa apa yang selama ini di Fingertalk ada manfaatnya. Beliau sempat ngomong 'keep up the good work'. Kalau Presiden Obama bilang begitu, kamu harus lakukan itu, bukan? Setidaknya saya punya hutang sama beliau.
Kembali ke Fingertalk, bagaimana menanggapi complain?
Sanati sebetulnya. Saya malah agak heran juga sebenarnya kalau ada yang tanya, "kenapa harus susah-susah pakai pegawai tunarungu?". Tapi akhirnya itu cara kami mengedukasi pasar. Jawab saja dengan karena mereka sulit mendapatkan pekerjaan. Sebetulnya mereka bisa kerja. Pada akhirnya kami pertemukan mereka yang hearing dengan deaf.
Bisa dikatakan ini bukan sesuatu yang biasa, punya kiat bagi mereka yang punya keinginan setipe?
Percaya saja dulu kalau idemu menarik. Yang penting percaya diri dulu. Kemudian back track tentang apa yang diperlukan untuk merealisasikan ide tersebut.
Rencana 5 tahun ke depan?
Kami ingin buka Fingertalk dengan bisnis beragam. Entah itu kafe, car wash, atau yang lain. Jadi Fingertalk semacam satu enterprise untuk memberdayakan tunarungu. Caranya dengan macam-macam. Setidaknya kami punya cabang di tiap pulau. Karena deaf di tiap pulau punya bahasa isyarat masing-masing, punya culture masing-masing. Kami mau jadi satu jaringan untuk memperkenalkan dan menghubungkan deaf dari banyak tempat.