Editor Says: Millennials dan Lingkaran Setan Perilaku Konsumtif

fitriandiani diperbarui 05 Feb 2017, 12:28 WIB

Fimela.com, Jakarta Generasi millennials adalah sebutan untuk mereka yang lahir di era pergantian abad, yakni dalam kurun tahun 1980-2000. Lebih dari itu, millennials bukan hanya soal tahun lahir, tapi juga transformasi gaya hidup yang luar biasa signifikannya.

Generasi millennial lahir dan tumbuh dikelilingi pesatnya kemajuan teknologi. Di satu sisi, hal tersebut membuat millennials menjadi generasi yang istimewa. Mereka tergolong beruntung, modal ponsel pintar dan koneksi internet di genggaman sudah bisa "keliling dunia". Namun kedua hal tersebut juga membuat millennials seringkali terjebak dalam dunia di balik layar digital seluas beberapa inci.

Bagi millennials, kehidupan sosial (di dunia digital) menjadi begitu penting. Kerepotan menyamakan jadwal kosong untuk bertemu tatap muka seringkali berakhir dengan sibuk update di media sosial demi eksistensi. Belum lagi fitur live broadcast yang seakan mempersilahkan semua orang untuk merasa dirinya demikian penting sehingga para pengikut akunnya butuh diperlihatkan secara langsung apa-apa yang dia lakukan.

Ya, kecanggihan teknologi yang hadir bersama millennials membuat mereka menjadi berprilaku sangat konsumtif. Di samping itu, kecanggihan teknologi juga membuat millennials jadi cenderung manja dan terjebak pada kenyamanan karena seringkali disuguhi oleh hal-hal yan instan.

2 dari 2 halaman

Sekarang Mari Kita Menggeser Sudut Pandang ke Arah Lain

Generasi millennials berperilaku konsumtif. Untuk memenuhi itu semua, para millennials bekerja keras. Sangat keras. Tak jarang, bekal ilmu dan gelar yang didapat dikesampingkan. Bekerja apa saja, yang penting gaji cukup buat beli ponsel keluaran terbaru berharga belasan juta. Soalnya kalau tidak, nanti kualitas foto dan live video tak layak unggah. Tak apa melenceng dari bidang yang digeluti selama di perguruan tinggi, yang penting hidup berkecukupan. Cukup buat beli kopi yang harga segelasnya 50 ribuan, cukup buat jajan di tempat yang lokasinya membanggakan buat diupdate di medsos, cukup buat nyicil kendaraan, dan shopping-shopping hedon tiap habis gajian. Ya, cukup lah pokoknya.

Untuk mencapai kata "cukup" tersebut, millennials menghabiskan minimal sembilan jam setiap harinya untuk berada di kantor, berikut dengan 1-2 jam perjalanan pulang pergi. Belum lagi bagi yang tinggal di pinggiran ibukota dan bekerja di Jakarta. Waktu perjalanan bisa bertambah hingga 2-4 jam sehari untuk menuju dan pulang dari kantor. Katakanlah, total 13 jam dari 24 jam dalam sehari untuk bekerja dan perjalanan pulang pergi. Sisa 11 jam, 7 jam untuk tidur. Selebihnya hanya ada waktu 4 jam untuk bersenang-senang. Itupun belum terhitung kalau ada lemburan dan lain-lain yang bikin sisa waktu luang semakin sempit. Tak heran kalau di sisa waktu yang sedemikian sempit, millennials memilih kesenangan yang praktis. Jalan-jalan di mall, nongkrong di kafe sepulang kerja, duduk-duduk di bar.

Millennials adalah generasi yang serba instan. Mahal.

Bekerja susah-susah, dapat uang dihabiskan untuk bersenang-senang agar bisa rehat dari ritual pekerjaan. Tapi harus tetap cari uang, supaya tetap bisa bersenang-senang. Lingkaran setan.

***

Saya lahir di tahun 1993, sah-sah saja kalau saya mau mengaku sebagai generasi millennial. Semua yang saya ceritakan itu saya alami. Di akhir tulisan ini, saya melontarkan pertanyaan pada diri sendiri; kamu kerja untuk apa? Kamu cari uang, menelan segala konsekuensi sebagi pekerja ibukota, untuk apa? Untuk membahagiakan perilaku konsumtifmu? Atau mau sok-sokan beralasan untuk aktualisasi diri? Atau sekadar mencari fasilitas agar tetap bisa bersenang-senang?

 

 

Salam,

Fitri Andiani.