Fimela.com, Jakarta Melahirkan 10 buku selama 7 tahun terakhir adalah bukti produktivitas dan konsistensi menulis Bernard Batubara sejauh ini. Buku pertamanya, Angsa-angsa Ketapang, terbit di tahun 2010, ketika ia masih berstatus mahasiswa Teknik Informatika di Universitas Islam Indonesia.
Bara, begitu panggilan pria kelahiran Pontianak, 9 Juli 1989 ini dipanggil, mengaku memiliki ketertarikan terhadap bidang tulis menulis ini sejak masih duduk di bangku Sekolah Dasar. Adalah J.K Rowling dan serial Harry Potter-nya yang kemudian memperkuat keinginan untuk menulis dalam diri Bara. Keinginan tersebut diakui Bara tak pernah hilang bahkan hingga bertahun-tahun setelah ia selesai membaca seri pertamanya, Harry Potter and the Philosopher's Stone.
Naskah novel pertamanya yang berjudul Cross Road of Love ditulis saat Bara duduk di kelas 1 SMA. Butuh waktu 2 tahun baginya untuk merampungkan cerita tersebut menjadi suatu novel yang utuh. Namun, bukan perjuangan menghidupi mimpi namanya jika langsung berhasil di upaya pertamanya. Naskah Cross Road of Love terpaksa ia simpan sendiri karena penerbit menolaknya.
Selain J.K Rowling yang menumbuhkan cita-citanya menjadi penulis, Bara juga menyebut nama Haruki Murakami, penulis asal Jepang yang sama mendunianya, saat ditanya soal sosok penulis yang menginspirasi. Bahkan dari Haruki Murakami Bara tak hanya mendapat pelajaran tentang teknik menulis, tapi juga bagaimana caranya memandang aktivitas menulis itu sendiri.
Memandang Proses Menulis Seperti Lari Maraton
"Haruku Murakami sering mengibaratkan menulis itu seperti lari marathon. Tidak perlu buru-buru memulai karena jarak yang kamu tempuh masih panjang. Itu yang aku contoh ketika menulis novel," kata Bara di kantor Bintang.com, Kamis (19/1/17).
Bagaimana cara Anda menjaga produktivitas dalam menulis?
Aku tidak memforsir, tapi aku menyusun rencana, berapa halaman yang harus aku tulis hari ini, lalu sisa energinya disimpan untuk besok, dan begitu seterusnya sampai novelnya selesai. Konsistensi menulis buatku jauh lebih penting ketimbang semangat yang berapi-api.
Lalu apa yang dilakukan ketika sedang kehilangan mood untuk menulis?
Ya sudah, aku membiarkannya. Aku tidak memaksakan jika memang aku sedang tidak dalam kondisi yang memungkinkan untuk menulis. Aku sering bilang pada murid-murid di kelasku, “mood menulis itu mitos,” tapi memang faktanya pengaruh mood terhadap aktivitas menulis itu ada. Untuk meminimalisirnya, aku membuat timeline, aku menjadwalkan aktivitas menulisku biar setidaknya aku menulis satu-dua halaman, apapun moodnya, dan aku selalu patuh pada timeline yang kubuat.
Dari mana biasanya datang ide cerita untuk dituliskan?
Macam-macam. Momen yang paling sering mendatangkan ide buatku itu justru di perjalanan, mau ke mall bawa motor. Saat aku mengendarai motor itu ada aja ide yang mau ditulis. Juga saat lagi mandi dan nonton film. Itu momen-momen di mana aku tidak sengaja mencari ide, tapi ide itu datang. Kalau aku sedang sengaja mencari ide untuk menulis biasanya aku cari dengan membaca buku.
***
Menerbitkan 10 buku dalam 7 tahun terakhir membuat Bara dapat digolongkan ke dalam kategori penulis yang sangat produktif. Namun, ketika ditanya apa yang menjadi "bahan bakar" baginya sampai bisa menjadi seproduktif itu, Bara menjawab tidak ada. Ide-idenya seringkali muncul begitu saja. Selain itu, memutuskan untuk jadi penulis penuh waktu membuatnya punya banyak kesempatan untuk selalu memikirkan ide cerita serta menuliskannya. "Aku merasa tidak hanya menyimpannya, aku merasa harus menuliskannya," tandas si pemilik akun @benzbara di twitter ini.
Bagaimana trik Anda untuk mematangkan ide yang bermunculan itu menjadi sebuah cerita? Cukup dikerjakan sendiri kah atau perlu diskusi dengan orang lain?
Tergantung, sih. Aku tidak merasa harus punya teman diskusi. Kalau ada teman diskusi yang cocok, ya aku diskusikan dengan dia. Itu sangat membantu aku untuk mematangkan ide. Misal, ketika lagi punya pacar. Tapi kalau tidak, ya sudah sendirian. Biasanya ketika aku sedang menggarap novel dan kebetulan punya pacar, pacarku saat itu punya peran yang cukup besar.
Apakah Anda punya idealisme dalam menulis?
Ada. Bagiku, aku harus menuliskan sesuatu yang aku nikmati. Apapun temanya, aku harus yakinkan bahwa aku tertarik menggarapnya. Dari buku-bukuku yang terbit itu sebagian idenya muncul dari aku sendiri, tapi ada juga yang temanya disodorkan oleh penerbit, termasuk novel Elegi Rinaldo ini. Aku sempat menimbang-nimbang, aku suka temanya atau tidak, buatku sedang menarik atau tidak saat itu. Ketika aku bisa membayangkan, baru aku memutuskan untuk menerima tawaran menggarapnya. Kalau aku suka idenya, tertarik dengan temanya, menulis dengan deadline ketat pun tidak masalah. Aku juga selalu ingin menulis dengan gaya yang baru. Kalau diperhatikan, kesepuluh bukuku ini memiliki gaya penulisan yang berbeda.
Elegi Rinaldo, Pandangan, Serta Harapan Akan Karier Menulis di Masa Depan
Saat bertandang ke kantor Bintang.com di bilangan Jakarta Pusat, Bara bersama tim penerbitnya dari Falcon Publishing sedang dalam masa promosi buku terbarunya, Elegi Rinaldo. Mengikuti idealisme yang selalu ia junjung, Bara menjanjikan ada sesuatu yang berbeda dengan buku-bukunya yang lain dari buku ini.
Elegi Rinaldo sendiri merupakan satu dari lima seri Blue Valley. Bersama dengan empat penulis lainnya, Bara menceritakan tentang kehilangan di buku ini. Tak ada kesulitan yang berarti baginya, menulis secara kolektif justru dirasa melipatgandakan kepuasannya saat melihat buku ini terbit.
Berbicara tenang Elegi Rinaldo, buku ke-10 Anda ini adalah salah satu buku yang Anda terima idenya untuk kemudian dikembangkan menjadi sebuah cerita. Bagaimana proses sampai akhirnya Anda menerima tawaran ini?
Tentu aku menerimanya setelah melakukan berbagai pertimbangan. Aku pun butuh waktu lama sebelum mengiyakan tawaran ini. Aku diberi tawaran di bulan Juni, baru aku iyakan di bulan September. Sementara deadline-nya di bulan Oktober. Jadi aku menyelesaikan naskah pertama Elegi Rinaldo ini dalam waktu satu bulan.
Elegi Rinaldo merupakan salah satu dari rangkaian buku Bule Valley terbitan Falcon Publishing yang ditulis oleh beberapa penulis lainnya, adakah keterkaitan cerita di antara beberapa seri buku tersebut? Bagaimana cara Anda menyelaraskan ide Anda dengan ide penulis lain dan bagaimana kesulitannya?
Saat menggarap Elegi Rinaldo ini bagiku tantangannya lebih ke bagaimana menulis dengan tema yang diberikan, tapi dalam eksekusinya tidak ada kesulitan yang berarti. Menurutku seru, sih, bikin serial gini aku jadi dituntut untuk bekerja sama dengan penulis lain agar cerita kami ini tetap punya benang merah meski plotnya berbeda-beda. Tapi di sisi lain, jadi ada kepuasan yang berbeda. Karena ini digarap secara kolektif, kepuasannya pun jadi kolektif.
Bernard Batubara masih terus mempertahankan idealismenya untuk menuliskan sesuatu yang ia sukai atau berkaitan dengan tema-tema yang sedang ia minati. Seperti ketika pertama ia bercita-cita menjadi penulis karena buku Harry Potter dahulu, kini Bara juga berharap buku-bukunya dapat menyentuh para pembaca, atau bahkan membantu para pembacanya memandang hidup dari sisi yang lain.
Adakah misi tersendiri yang Anda punya, dari tulisan-tulisan atau buku-buku Anda?
Dulu aku menulis untuk sarana eskapisme, untuk lari dari kenyataan. Aku membentuk duniaku sendiri dari apa-apa yang aku suka. Tapi semakin ke sini motivasiku berubah-ubah tiap waktu. Sekarang ini tanpa aku sadari, ternyata aku menuliskan hal-hal yang dulu aku hindari karena secara personal aku alami. Seperti misalnya tema-tema yang berkaitan tentang konflik keluarga. Aku yang sedikit berjarak dengan keluargaku ini, dulu sangat menghindari menulis dengan tema keluarga, tapi sekarang ini aku justru menuliskannya untuk menebus jarak antara aku dan keluargaku. Contohnya, di buku Milana, atau di buku Surat Untuk Ruth, aku memakai nama adikku, memakai nama ibuku, menyertakan pekerjaan ayahku. Bagiku itu cara untuk menebus jarak yang ada dengan mereka. Jadi sekarang ini aku menulis untuk menyembuhkan diriku sendiri.
***
Bara mengaku sempat memiliki sebuah ambisi untuk menerbitkan 40 buku sampai usianya 40 tahun, namun ambisi tersebut memudar berkompromi dengan dengan waktu. Kini ia hanya ingin terus menulis, meski apa yang dia tuliskan dan sebagai apa ia menulis belum menyentuh imajinasinya. "Aku belum menemukan cara lain untuk mengenal diriku sendiri, untuk mengenal orang-orang, selain dengan cara menulis. Jadi sampai aku menemukan cara lain itu, aku akan terus menulis," tutupnya.