Editor Says: Resah Gaji Rendah dan Kehidupan Milenials

Karla Farhana diperbarui 23 Jan 2017, 12:28 WIB

Fimela.com, Jakarta Seiring berjalannya waktu dan cepatnya informasi menyebar, masyarakat Indonesia mulai familiar dengan istilah milenials. Entah karena lebih keren, modern, atau mengesankan diri mereka banyak baca buku dan artikel internasional. Milenials, disamping penyebutannya yang dianggap kece, ternyata juga kerap dibandingkan dengan generasi atasnya, Gen X. 

Milenials juga kerap dikatakan Gen Y, Generation Me, Echo Boomers dan Peter Pan Generation. Kami lahir dan tumbuh besar di abad 21. Serba modern dan canggih dan bersifat digital. Dulu, sebelum istilah milenials digunakan, saya lebih sering dengar istilah "anak 90-an." Sementara Gen X dulu dikenal sebagai "anak 70-80-an." 

Kedua generasi yang juga bisa dibilang kakak-beradik ini kerap cekcok. Wajar, mereka hidup di dua, bahkan tiga era yang berbeda. Juga dengan perkembangan teknologi dan ekonomi yang juga luar biasa berbeda. Tontonan dan musik yang mereka lahap mungkin juga beda alam. Meski ada segelintir orang yang mengaku old and young souls. 

Hidup selama 24 tahun sebagai milenials di era yang serba digital, terus terang membuat saya agak sebal. Saking canggihnya teknologi, saking cepatnya segala hal berkembang, saya akhirnya pusing sendiri mengejar ketinggalan. Napas saja tersengal. Otak saya ngebul tak karuan, saat berusaha menyamakan standarisasi. 

Setiap bidang punya standarisasinya masing-masing. Jurnalisme dunia sudah pergi ke bulan, sementara di Tanah Air baru belajar di bangku SMP. Milenials di Eropa, Australia, Amerika Serikat, pun sudah tak lagi memikirkan perusahaan mana yang harus mereka incar demi mencukupi kebutuhan hidup, sekalian uang pensiun yang juga bisa menambah bantuan untuk anak-cucu. 

Milenials di Indonesia nampaknya masih belajar untuk membenahi diri dan masih terikat dengan perspektif Gen X. Bahwa bekerja itu harus di perusahaan besar dengan gedung megah. Bekerja itu harus digaji tinggi agar bisa uncang-uncang kaki 5 tahun lagi. 

Sebuah artikel di salah satu media nasional berbahasa Inggris mengungkapkan, sepertiga milenials kini pusing bukan dengan skill apa yang harus mereka kuasai. Tapi perusahaan mana yang bisa bikin saya bahagia. Tentunya, tak lepas dari soal gaji yang lagi-lagi kurang untuk hidup. 

Dalam artikel yang berjudul I Hate My Job, Give Me More Money, Indonesian Millennials Say ini menulis tentang hasil survey yang dilakukan potal karier Jobstreet.com, yang dirilis pada tahun 2016 kemarin. Dalam penelitian tersebut 6.000 responden mengatakan perusahaan tempat mereka bekerja tidak memberikan tantangan yang cukup. Mereka bahkan mengaku akan mengundurkan diri dan mencari potensi yang lebih baik di tempat lain. 

Sementara 6.200 orang lainnya mengaku insentif yang mereka terima dari perusahaan, termasuk bonus, asuransi kesehatan, uang transportasi dan komunikasi, tak cukup untuk hidup sehari-hari. Parahnya, 5.500 milenials megaku tidak dipercaya dalam pekerjaannya, baik oleh atasan dan perusahaan. Ini membuat mereka merasa tidak penting dan diapresiasi atas jerih payah mereka. 

What's On Fimela
2 dari 2 halaman

Pekerjaan Berat yang Tak Membuahkan Hasil

Sudah lama saya membaca hasil penelitian ini. Lantas berlalu begitu saja, lantaran menurut saya, setiap orang punya keluhannya masing-masing. Tapi baru beberapa hari yang lalu, hasil penelitian ini kembali puncul dalam benak saya, usai mendengar keluh kesah teman yang punya gaji dan tunjangan pas, dan tak nyaman dengan perusahaan. 

Saya akhirnya langsung berkaca dan berpikir, bukankah wajar milenials, pada usia 20-an pasti mengalami kesulitan dalam keuangan? Bukannya wajar kalau milenials bergaji UMR, mengingat sebagian milenals merupakan fresh graduate? Kenapa bisa pendapatan mereka tak cukup untuk hidup sehari-hari? Padahal, beberapa teman saya memang sangat irit dan betul-betul menggunkaan gajinya untuk kebutuhan, bukan keinginan. 

Terlepas dari gaya hidup mereka (atau mungkin lebih tepat saya sebut kami, karena saya pun milenials), saya tidak melihat banyak anak-anak tahun 90-an bekerja sangat keras. Artinya, kami tidak tahu betul berapa pendapatan yang harus kami terima tiap bulan untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan. Dengan begitu, kami harusnya tahu apa yang harus kami lakukan untuk mentup semua kebutuhan.

Pasalnya, mungkin tidak semua milenials berpikiran panjang seperti ini. Kami malah cenderung memilih perusahaan ternama. Meski gaji tak cukup, yang penting kerja dulu. Kalau begini, kami tak akan mempermalukan kedua orangtua dan juga tak jadi bahan obrolan sore hari para ibu-ibu tetangga. Hasilnya, seperti para responden di penelotian Jobstreet. Mereka mengeluh gaji tak cukup. Bahkan tak betah karena pekerjaan dan jerih payahnya dihargai tak seberapa. 

Bukan, saya rasa ini bukan salah perusahaannya. Karena kapan pun kami bisa angkat kaki dari perusahaan, baik secara terhormat dan mengikuti peraturan, atau juga cabut begitu saja. Ini hanya perkara pilihan. Tapi masalahnya, cabut pun kami tak tahu harus ke mana. Kami cenderung mencari perusahaan lainnya yang mau menggaji lebih tinggi. 

Begitu pun juga tak apa. Tetapi, keluhan dan rasa tak bahagia bekerja di sebuah perusahaan seharusnya bisa kami redam. Dengan mencari jalan lain untuk membuat, paling tidak, diri kami senang sedikit. Mungkin bisa dengan bekerja paruh waktu di hari libur. Atau menulis di sela-sela waktu bersantai. 

Karena waktu bermain dan bersenang-senang yang akhirnya tiada, sesungguhnya tak akan membuat kami mati. Justru, bekerja tanpa mencintai apa yang kami lakukan, ditambah dengan pendapatan yang pas-pasan bahkan kurang, justru membuat kami berada di tengah-tengah hidup dan mati. 

Bekerja di sebuah perusahaan besar sah-sah saja. Bukan berarti kami masih disetir pemikiran Gen X yang kadang datang dari anggota keluarga atau pengaruh lainnya. Tapi, ingat. Kerja keras harus punya hasil. Kalau memang apa yang diberikan perusahaan tak cukup untuk kebutuhan dan keinginan, pikirkan saja apa yang bisa dikerjakan. Memiliki dua atau lebih pekerjaan sampingan, selama tak melanggar aturan perusahaan, juga bisa dipertimbangkan. 

Salah satu teman saya pernah bilang, "zaman sekarang, banyak milenials tak ubahnya seperti budak. Mereka bekerja keras. Tapi uang yang mereka dapatkan pada akhirnya habis di akhir bulan. Hidup mereka tidak bersambung pada bulan berikutnya. Karena habis lagi untuk hidup dan keperluan serta pemuasan diri. Ini enggak beda dengan budak, yang bekerja setengah mati, tapi tak ada hasil yang bisa dinikmati."

 

 

Editor Feed, 

 

 

Karla Farhana

Tag Terkait