Eksklusif Yukka Harlanda, Sukses Membangun Bisnis Sepatu

Dadan Eka Permana diperbarui 30 Des 2016, 09:28 WIB

Fimela.com, Jakarta Dua anak muda tamatan ITB, Muhammad Yukka Harlanda dan Putera Dwi Karunia menjajal bisnis sepatu dengan merek Brodo pada 2010, dan sukses besar. Semula, mereka hanya melayani penjualan secara online, kemudian berkembang dengan mendirikan toko sepatu sendiri. Apa rahasia sukses bisnisnya?

Semasa di kampus. Di tahun ketiga masa kuliah mereka, Yukka dan Uta—panggilan akrab mereka-- mulai memikirkan langkah masa depan yang akan mereka ambil saat lulus kuliah nanti.

Berawal dari keluhan Yukka terhadap kebutuhan sepatu yang sulit menemukan ukuran yang pas dengan nomor kakinya. Meskipun ada, harganya terlalu mahal bagi kantong mahasiswa.

Solusi datang dari Uta. Ia menyarankan membuat sepatu di CIbaduyut, salah satu temapat di Kota Bandung yang terkenal dengan pengrajin sepatunya. Dari situ Yukka dan Uta melihat peluang bisnis dan akhirnya tertarik untuk memulai bisnis sepatu.

Berawal dari sekadar menjual sepatu dengan jumlah sedikit di pameran-pameran kampus, kemudian melangkah dengan melebarkan penjualan dengan menggunakan media sosial seperti Kaskus, Facebook, dan BBM.

Kost-kostan awalnya menjadi kantor mereka. Kini Yukka dan Uta sudah memiliki kantor sendiri yang berpusat di Jakarta dan memiliki enam cabang toko sepatu di Kota besar dengan karyawan berjumlah di atas 100 orang.

What's On Fimela
2 dari 3 halaman

Menghilangkan Rasa Penasaran

Hanya dengan modal Rp7 juta Yukka Harlanda beserta seorang temannya sukses membangun bisnis sepatu yang diberi nama 'Brodo'. (Foto: Adrian Putra/Bintang.com, Digital Imaging: Iqbal Nurfajri/Bintang.com)

Kepada Bintang.com, Yukka Harlanda bercerita bagaimana ia mengawali kariernya sebagai pengusaha sepatu. Ternyata hanya awalnya hanya untuk menghilangkan rasa penasaran karena harga sepatu sangat mahal lho. Selain itu, ukuran kaki yang sangat besar dan sulitnya mencari sepatu juga menjadi faktor pendukung lain mengapa ia ingin memproduksi sepatu sendiri.

Awalnya bagaimana?

Awalnya itu simple jadi ukuran kaki saya itu besar, 46. Jadi kalau nyari sepatu itu dari dulu susah banget dan harus mencari merk mahal. Berasanya pas kuliah, dapat jatah dari orangtua mulai dibatesin dan ada momen dimana harus tampil rapih, pakai jas, sepatunya formal. Nah sepatu formal itu kan agak-agak mahal harganya bisa satu-dua jutaan. Dari situ mulai kepikiran, ini sepatu kok kenapa bisa mahal sekali. Akhirnya untuk menghilangkan rasa penasaran coba cek perbedaan antara sepatu di mall dengan di pasar-pasar tradisional.

Saya kemudian mengeluh ke teman saya satu kampus, Uta yang sama-sama di fakultas teknik sipil. Dia bilang kenapa nggak custom aja di Cibaduyut. Tinggal kasih kasih desain, nanti mereka yang bikin. Akhirnya saya main ke sana. Ternyata saya baru tahu di Bandung ada yang bisa bikin sepatu pesanan.

Akhirnya mereka bilang mas, bikinnya selusin saja biar agak murah. Karena dia bilang ongkos produksi membuat satu sepatu sangat Mahal ketimbang buat banyak. Saya bilang boleh dah. Tapi mereka malah nawarin tiga lusin dengan potongan harga yang menarik. Ya sudah deh bikin, walaupun saya belum tahu anti sisanya mau diapain itu sepatu.

Akhirnya setelah jadi, saya ambil dua, si Uta ambil beberapa, sisanya kita jual dan kebetulan ada pameran di kampus. Itu awalnya dan ternyata banyak yang beli. Ya sudah kita berkelanjutan dari situ, mulai ikut pameran ke mana-mana dengan modal berdua.

Karena masih kuliah, jadi ibaratnya iseng-iseng cari uang tambahan. Untungnya buat beli kebutuhan kita karena nggak niat dijadiin profesi dan sebagian keuntungan kita invest.

Apakah Anda pandai mendesain sepatu?

Saya nggak bisa gambar. Tapi saya tahu apa yang saya inginin dan selera konsumen. Jadi saya tinggal bilang ke tukang sepatunya, saya mau model begini, tapi dibuat begini-begini, ditambahin dan dikurangin. Nah dari situ belajar teknik bagaimana bikin sepatu dengan desain berbeda.

Nah setelah Anda lulus kuliah bagaimana?

Nah ini titik pentingnya di sini. Saya kan lulus duluan yah. Saya bilang ke Uta, gimana bro mau lanjut apa nggak? Akhirnya kita sepakat jalanin dahulu setahun, mumpung masih muda. Ya, kalau pun bangkrut, masih bisa bangkit cari pekerjaan atau usaha lain. Beda kalau sudah berkeluarga risikonya pasti lebih besar, karena ada, anak ada istri.

Setelah kuliah baru 24 jam mulai intens kerjain usaha ini. Akhirnya saya mendapat jawaban kenapa sepatu di mall bisa mahal, itu karena melali banyak distributor. Jadi bikinnya dengan harga sekian jualnya bisa lebih mahal. Makanya di mall bisa jual 80 persen mereka masih untung. Jadi saya pikir ongkos sebanyak ini lenyap ke distributor. Dari situ saya berpikir, kalau langsung jual ke costumer kan nggak pakai distributor dan bisa lebih murah jatuhnya. Tinggal mikirin bagaimana cara menyampaikan ke costumer kalau kita buat sepatu dengan kualitas sama tapi dengan harga terjangkau. Visinya ke situ, makanya dari awal kita menggunakan medium internet untuk penjualan dan sharing informasinya dan mengenalkan brand nya juga panjang banget, nggak langsung terkenal. Sampai sekarang sudah lima tahun berjalan terus perlu promosi.



Kalian kan berdua, Apa tugas Anda dan Uta?

Tim kami bagi dua. Kebetulan kami adalah anak basket. Jadi simple aja. Ada tim offense dan defense. saya selaku direktur utama sebagai tim offense yang goalin yang menghasilkan uang dan teman saya yang jagain jangan sampai produksi kurang, cacat, atau berlebih, kiriman nggak nyampai. Dan sisanya adalah supporting, seperti finance, IT dan lain-lain. simple aja

Kenapa pilih nama Brodo sebagai merek dagang?

Brodo itu bahasa Italia artinya kaldu ayam. Emang nggak ada nyambung-nyambungnya sama sepatu. Tapi kita suka saja. Kata-katanya dimulai dari Bro. dimana sangat familiar untuk kalangan pria. Tapi ya gitu nggak ada konsep untuk brand. Tapi sekarang sih sudah kita konsepin siapa costumer best kita , cara menyapanya bagaimna. Kalau dahulu yang penting laku dulu aja.

3 dari 3 halaman

Mimpi 'Go International'

Hanya dengan modal Rp7 juta Yukka Harlanda beserta seorang temannya sukses membangun bisnis sepatu yang diberi nama 'Brodo'. (Foto: Adrian Putra/Bintang.com, Digital Imaging: Iqbal Nurfajri/Bintang.com)

Sukses memasarkan Brodo di Indonesia, Yukka Herlanda dan Putera Dwi Kurnia ingin Brodo juga dikenakan oleh masyarakat di luar negeri. Ya, impiannya beberapa tahun mendatang Brodo juga dipasarkan di luar negeri. Tak hanya itu, ada beberapa hal lainnya yang juga ingin dicapai, salah satunya memasarkan produk sepatu untuk anak-anak. 

Jadi penasaran nih, modal awal kalian berapa pertama kali merintis?

Dari saya Rp3.500.000 dan dari Uta Rp 3.500.000, jadi Rp 7.000.000 itu diputar pelan-pelan. Di tengah-tengah kita pinjem uang , apalagi ada momen bagus seperti lebaran, kita mulai pinjem uang kepada siapapun yang kita kenal, dari keluarga, teman, pokoknya yang mau invest saja. Pas penjualan sudah mulai maju, kita mulai pinjem bank, ada juga orang yang mau invest.

Target pasarnya siapa saja?

Target pasar kami anak muda umur 19 sampai 35 tahun. Soalnya semua marketing-nya fokus di digital, jadi umur segitu itu umur yang fasih banget sama internet. Tapi ke depan akan ada banyak pengembangan dan mengikuti tren juga. Cuma untuk saat ini masih fokus dengan apa yang kita punya saat ini. Kami menyediakan hanya untuk versi cowok semua. Kalau untuk versi ceweknya kami belum. Kami masih fokus aja di konsumen kami yang sekarang.

Penjualan kalian kan melalui online, bagaimana kalau ado pesanan dari luar negeri?

Kita belum ke sana. Jadi pertama masih mahal ongkos kirimnya. Kedua, customer best kita masih besar di Indonesia. Cowok aja di Indonesia sekitar ado 100 jutaan orang, dan yang spesifik suka Brodo ado sekitar 30-32 juta orang. Jadi kita nggak mau ekspansi ke luar negeri dahulu, penginnya sih biar kuat dahulu di Indonesia, nanti kalau sudah ok banget, pelan-pelan baru kita ekspor ke luar negeri.

Apa sih yang menarik dari Brodo dibanding sepatu pria lain?

Sebenarnya bingung juga nih jawabnya. Kayaknya sih selain murah, Brodo ini adalah ungkapan karakter saya yang pengin tampil beda dengan yang lain. Beda kita adalah dari desain, dan kontennya yang lebih memperhatikan bahwa ini adalah produk Indonesia. Kita juga ada pelayanan untuk costumer. Jadi kalau costumer tidak nyaman dengan sepatu buatan kita setelah dipakai atau ada cacat, boleh dikembalikan dengan biaya ongkos kirim kita yang tanggung.

Setelah mendapat modal besar, apakah masih produksi di Cibaduyut?

Masing-masing punya kelebihan dan kekurangan. Kalau di UKM fleksibel, cuma mentalnya kurang baik, suka telatlah, berantakan kerjanya dan kalau pabrik gede malah kita diremehin, karena produksinya nggak terlalu banyak, dibelakangin dah. Jadi langkah yang kita pilih adalah menggunakan pabrik besar dan UKM. Tapi di UKM kita buat pembinaan. Kita juga punya vendor-vendor yang siap kalau ada permintaan banyak. Jadi kobinasilah.

Sudah punya karyawan berapa?

Awalnya berdua, saya dan teman saya dengan kantor di kamar kost-kostan. Sekarang karyawan sudah di atas 100 orang. Kalau di Jakarta ada IT, finance, dan outlet. Kalau outlet sudah ada enam, Desember ini nambah lagi di Tangerang Selatan. Jadi kalau Outlet kita baru ado di Bandung, Surabaya, dan Bekasi.

Omzet?

Alhamdulillah cukup dan masih berkembanglah.

Kenapa akhirnya milih bikin took sepatu?

Costumer kita itu awalnya protes, mau lihat barangnya. Nggak mau lewat online. Akhirnya kita buat di Jakarta. Karena produksinya sepatu, orang selain pengin melihat langsung, juga pengin cobain. Setelah buat satu di Jakarta tahun 2013, ternyata perpuatarannya bagus. Akhirnya buat di bandung dan di kota-kota besar lainnya.

Rencana ke Depan?

Kita sih 2018 membidik sudah go international dan ada area yang kita eksplor seperti sepatu anak. Kita sekarang baru keluarin sepatu anak. Tapi belum terlalu banyak. Masih coba-coba dahulu. Nanti juga kita mau coba kembangkan produk kita tidak hanya sebatas sepatu, tapi ada juga kaus, dan lain sebaginya. Visinya sama menjual barang kualitas luar negeri dengan harga terjangkau.