Fimela.com, Jakarta Saya selalu bilang, dan sepenuhnya sadar bahwa perubahan itu pasti terjadi. Cuaca, situasi, perasaan, kebiasaan, dan aktivitas di media sosial.
Yang terakhir, sangat menyebalkan.
Saya tumbuh di era digital. Sejak saya melek internet sampai sekarang, saya sudah melewati masa kejayaan friendster, migg33, dan kini ada Facebook, twitter, instagram, snapchat, tinder, dan lain-lain semacamnya.
Pernah ada masanya saya memanfaatkan waktu bolos sekolah untuk ke warnet, ambil paket 10K/3jam, lalu menyibukkan diri mengunjungi laman-laman teman di friendster, mengutak-atik layout, edit-edit profil agar tampak segaul mungkin, juga tambah teman. Ah ya, saya juga sering menulis (baca: curhat) di bulletin board (benar kah namanya? saya lupa) yang ada di home, lalu dapat banyak komentar positif dari teman. Rasanya senang.
Saat Facebook muncul, friendster mulai ditinggalkan. Ditinggalkan dulu, lama-lama mati sendiri. Persis kayak perasaan.
Ok, maaf. Balik ke soal Facebook. Awal-awal kemunculannya, atau lebih tepatnya jika dibilang; awal saya punya akun Facebook, agendanya adalah migrasi teman-teman friendster. Aktivitas yang dilakukan pun masih semacam itu. Unggah foto, perbarui status, saling memberi komentar dan likes. Dulu di friendster semakin banyak teman rasanya semakin keren. Saya masih membawa tabiat itu ke Facebook, tambah teman sebanyak-banyaknya. Kenal tidak kenal, urusan belakangan. Ah, ya, di Facebook ada chat. Di friendster tidak ada, kan?
Status yang diunggah, foto yang dibagikan, juga 'curhatan' yang diutarakan masih membuat satu sama lain merasa dekat.
Kemudian ada twitter. Saya buat akun twitter saya tahun 2010, dan saya lebih senang menghabiskan banyak waktu serta kuota di sini. Menuliskan apapun dengan batas maksimal 140 kata itu tantangan tersendiri. Mau curhat panjang, tak bisa seperti Facebook. Pilihannya adalah buat twit berseri atau padatkan dalam 140 kata. Seru!
Terlalu Banyak Oknum yang Membuat Media Sosial Jadi Kurang Menyenangkan
Di twitter, saya follow beberapa teman, juga orang-orang tak dikenal yang saya suka cuitannya. Saya masih ingat betul orang-orang di twitter suka bikin keriaannya sendiri. Bahkan jika saya membicarakan betapa lucunya kejadian di twitter ke mereka yang tidak main twitter, mereka tidak mengerti. Anak twitter punya dunianya sendiri.
Sering sekali anak-anak twitter--biasanya digagas dengan akun berfollower banyak alias selebtweet--bikin mainan-mainan receh yang bikin timeline gonjang-ganjing saking lucunya.
Tapi itu dulu.
Sekarang, seiring berjalannya waktu, aktivitas dan keseruan di media sosial itu ikut berubah. Waktu baru buka Facebook lagi setelah vakum sekian lama adalah masa yang berat. Baru masuk home, linimasa sudah penuh dengan status-status serta konten-konten berbau SARA dan bernada provokatif. Kesalnya, seringkali saya tidak mengenal siapa pemilik akun itu. Mungkin ini adalah efek 'asal tambah teman demi eksistensi' waktu baru-baru buat akun dahulu.
Setiap buka Facebook, ada saja yang di-unfriend. Lupakan teman banyak, yang penting hidup damai. Twitter pun sama. Selain sarat politik adu domba, twitter juga banyak jadi media penebar kebencian. Instagram? Jangan ditanya, ini tempatnya untuk mengomentari kehidupan pribadi orang yang bahkan tak dikenal sama sekali. Lihat saja isi komentar di foto-foto artis.
Sedih dan geram tak terhindarkan melihat media sosial jadi panggung untuk ajang saling tunjuk dan saling caci atas nama agama. Satu merasa benar hanya karena yang lain memilih berbeda. Satu merasa berhak menghakimi hanya karena memiliki banyak massa yang satu suara. Sibuk mengurusi ketakwaan orang lain pada Tuhan-nya, sampai lupa berbuat baik terhadap sesama manusia.
Selintas di kepala timbul pertanyaan, kalau friendster masih ada, apa di sana akan terjadi hal serupa? Kalau tidak, pasti banyak orang yang siap meramaikannya kembali, karena Kami saya butuh tempat untuk bersosialisasi dengan damai. Bagi saya, seyogianya media sosial jadi ruang untuk mencari teman, bukan mencari musuh.