Fimela.com, Jakarta Tak sengaja suatu kali saya menemani belahan jiwa membeli makanan yang tak jauh dari tempat saya berdomisili; di Kelurahan Jombang, Ciputat, Tangerang Selatan. Sembari menunggu antrian makanan dimasak, saya iseng ngobrol dengan seorang penjahit yang buka persis di sebelah warung makan tempat saya dan istri memesan makanan. Sebut saja namanya Kang Asep, soalnya dia berasal dari salah satu Kecamatan di bilangan Sukabmi, Jawa Barat.
Meski kang Asep bukan penjahit ngetop, soal order luar biasa banyak. Order jahitannya sampai menumpuk. Tempatnya usahanya tak terlalu luas, sekitar 4 meter kali 3 meter. Lantai pertama untuk workshop jahitnya, sedangkan lantai atas untuk hunian bersama dirinya dan keluarga. Pendeknya dia tak pernah berhenti bergoyang alias selalu penuh dengan orderan dari berbagai kalangan. Bahkan ada juga sebuah rumah mode terkemuka yang memasukkan jahitannya di tempat Kang Asep, ini salah satu yang membuat dia sesak nafas.
Kang Asep mengawali kariernya sebagai penjahit sekitar 15 tahun silam. Awalnya ia membuka jahitan tak jauh dari pasar Jombang, Ciputat. Lima tahun berjalan ia memutuskan untuk hijrah ke daerah Tambun, Bekasi. Harapannya sederhana ia akan mendapatkan pengalaman baru dan tentunya pendapatan yang lebih baik dari sebelumnya. Ruko yang sudah ia gunakan terpaksa dilego demi mendapatkan tempat yang baru di kawasan Tambun, Bekasi.
Di Tambun, yang dikelilingi dengan pabrik dan wilayah industri lainnya ternyata ramai yang memanfaatkan jasanya. "Soal order di daerah Tambun enggak kurang. Namun yang banyak adalah order untuk mengecilkan seragam. Bukan membuat busana atau baju baru. Order lumayan," katanya.
Bertahun-tahun mengerjakan permak pakaian membuat Kang Asep kembali dilanda rasa bosan dan jenuh. Soalnya kreasinya seagai seorang penjahit sama sekali tidak tereksplorasi ketika membuka tokoh jahit di daerah Tambun. "Paling setahun cuma satu dua yang membuat baju. Biasanya dari karyawan kelurahan atau guru. Jadi bisa dihitung order menjahit busana baru. Yang tak henti itu permak celana. Biasanya kalau terima seragam baru karyawan mengecilkan celana atau permak celana. Begitu terus yang saya terima," keluh Kang Asep.
Bertahun-tahun menerima orderan permak busana, membutanya tak betah. Akhirnya dia kembali ke tempat semula. Pindah lagi di bilangan Jombang, Ciputat cuma bukan di tempat yang dulu ia membuka tokoh jahit.
What's On Fimela
powered by
Kepuasan dalam Berkarya
Satu pertanyaan sederhana yang saya ajukan pada Kang Asep, soal mengapa ia kembali lagi ke Jombang. Bukan meneruskan usaha jahitnya di Tambun, toh di sana orderan juga tak kalah ramai.
"Memang di Tambun soal orderan menjahit tak pernah putus. Alhamdulillah kalau soal itu. Namun saya kan sebagai seorang penjahit juga butuh ekspresi. Kepuasan saya sebagai penjahit saat mereka puasa dengan hasil karya saya dan berikutnya datang lagi dan datang lagi," katanya.
Ia kemudian menjelaskan kalau di daerah Bintaro dan sekitarnya lebih banyak order untuk membuat busana baru. "Kalau di daerah Jombang dan Bintaro ini orang sering banget bikin busana ke penjahit. Ada pesta sedikit bikin baju. Beda sekali sama di Tambun. Itu yang membuat saya merasa bisa mengekspresikan apa yang saya punya. Jadi tak sekadar dapat uang dan uang," kilahnya.
Diam-diam kerapihan jahitan Kang Asep ternyata diketahui juga oleh seorang pemilik butik ternama di bilangan Bintaro. Sang pemilik butik memasukkan jahitan dengan harga normal (sekitar Rp.200.000) untuk sebuah busana perempuan. Namun ternyata sang pemilik butik menjual hasil jahitan itu dengan harga empat kali lipatnya. Saat mengetahui kenyataan itu secara tak sengaja ia benar-benar geram. Tapi apa mau dikata dia tak bisa berbuat apa-apa.
"Saya mengetahuinya saat yang punya baju baru menjadi pelanggannya. Dia membawa contoh baju yang saya jahit namun dengan label butik ternama tadi. Tapi saya tahu kalau itu hasil jahitan saya. Lalu saya tanya berapa ongkos kahitnya. Saat dia sebuh saya terkejut bukan main," ungkapnya.
Kang Asep berusaha melupakan kejadian itu smbari terus berkarya dan berkarya. Soal materi bagi dirinya bukan segalanya. Namun kepuasan bathin sebagai seorang penjahit juga diperlukan. "kalau saya cuma mengejar materi, saya tidak pindah lagi ke sini. Di Tambun saja saya bisa dapat namun itu tadi kepuasan bathin tak saya dapatkan di sana," kilahnya.
Dalam bekerja, meski kecil ada kepuasan yang bisa diraih. Inilah yang bisa membuat kaya bathin. Tak sekadar kaya materi semata. Tentu batas kepuasan seseorang yang satu tidak sama dengan orang yang lain. Setiap orang punya batasan kepuasan yang berbeda satu sama lain. Kalau Anda, apa ukuran kepuasan dalam bekerja?
Salam,
Edy Suherli