Editor Says: Kondangan Mulu, Kapan Dikondangin?

Asnida Riani diperbarui 06 Des 2016, 12:28 WIB

Fimela.com, Jakarta Bagi saya, kamu dan sekian banyak manusia single (re: belum menikah) di belahan 'bumi' Indonesia, kalimat di atas sudahlah sangat begitu teramat tidak asing. Sekarang coba kamu pikir kembali, kapan terakhir satu-dua-lima orang menyatakan, baik verbal maupun tertulis, pertanyaan yang sebenarnya bukan pertanyaan tersebut?

Mungkin saja dua hari silam, kemarin, satu jam lalu atau bahkan sesaat sebelum membaca tulisan ini. Saya sendiri sebenarnya gagal paham alasan ungkapan itu jadi begitu populer dan sering kali terbubuh di kolom komentar di sejumlah unggahan di media sosial. Tapi satu yang pasti, saya gerah melihatnya.

Tidak tidak. Ini bukan tulisan curhat bernuansa sensitif, iri hati dan dengki dari manusia yang berstatus belum kawin di KTP. Jika boleh jujur, saya bahagia melihat seorang (ya, ini termasuk mantan pacar dan gebetan) sudah dengan begitu mantap melenggang dan bergandeng tangan dengan hanya satu insan dalam masa seumur hidup.

Soal 'kondangan mulu, kapan dikondangin?' ini saya lebih ingin memberi pandangan (atau diberi pandangan) akan esensi pernyataan tersebut. Sah-sah saja kalau sebagian mengategorikannya sebagai lelucon, tapi tak sedikit juga orang, termasuk saya, yang jemu melihat ungkapan itu muncul di tiap unggahan acara berbau pernikahan.

Tentu saja awalnya saya acuh ketika melihatnya muncul dalam topik, secara langsung maupun tidak tertuju pada saya. Hingga akhirnya terlafal dalam tempo berulang dan terlalu sering, saya bermuara di kata cukup. Telah diputuskan kalau saya telah cukup toleran dan berada di titik jengah pada ungkapan itu. Sekali lagi, saya jengah pada ungkapan, bukan pribadi secara spesifik yang mengatakan atau menuliskannya.

Juga, tidak berarti saya tidak menghargai mereka yang menganggap pernyataan ini sebagai lelucon. Yang saya pertanyakan, akankah tetap jadi kelakar jika nantinya (mungkin) menyakiti hati? Masihkah lucu kalau ada senyum kecut dan rasa malas menanggapi dari mereka yang ditanya?

2 dari 2 halaman

Ke Mana Penghargaan akan Privasi?

Pada dasarnya, saya termasuk kategori orang yang menganggap pernikahan, bahkan keputusan untuk menikah atau tidak, adalah kewenangan setiap makhluk hidup. Seperti selera musik, pilihan ini pun sejatinya tak bisa dipaksakan. Namun kembali lagi, tuntutan sosial dengan begitu kejam menghakimi ideologi-ideologi paling pribadi.

Jangankan 'kondangan mulu, kapan dikondangin?', bertanya 'kapan nyusul?' saja saya tak pernah berani pada siapapun tanpa terkecuali. Karena saya beranggapan, belum tentu setiap orang senang ditanyai soal-soal pribadi macam itu. Kalau dibiasakan, tak menutup kemungkinan saya bisa berkata demikian lagi dan lagi.

Daripada melontarkan pertanyaan, saya lebih memilih mendoakan dengan segenap perasaan tulus yang dimiliki agar bahagia selalu menyertai, baik sudah, belum atau tidak memutuskan menikah. Terdengar seperti basa basi memang, namun doa, setidaknya bagi saya, tak ada yang terlantun sia-sia. Soal yang mendoakan ikhlas atau tidak, biar itu jadi urusannya dengan Tuhan, bukan saya. Saya sekali lagi hanya ingin memberi penghargaan pada privasi-privasi yang mungkin sudah banyak dilupakan atau sama sekali dihilangkan khalayak.

Dalam survei kecil, saya bertanya pada beberapa teman yang kedapatan pernah menulis ungkapan itu di media sosial. Sebagian besar dari mereka, seperti tebakan saya, bertameng bercanda. Namun yang mengejutkan, ada juga yang mengatakan iseng. Sebatas iseng. Semata iseng. "Ternyata tak banyak orang yang benar-benar peduli," singkat jadi kesimpulan saya saat itu.

Kalau mereka berpersepsi demikian, tentu saya tidak bisa apa-apa. Tapi, tak lantas pula ikut ke mana angin berhembus. Dalam kacamata subjektif saya, masih ada jutaan atau miliaran kelakar yang bisa dilontarkan tanpa menyentuh ranah pribadi setiap orang. Karena tentu kita tak mengetahui seberapa jauh seseorang bisa menerima yang orang lain katakan bercandaan. Salah-salah nantinya malah menyinggung.

Soal ia mau menikah kapan, bagaimana dan dengan siapa, alangkah baik jika kita ikut campur atau setidaknya, jangan jadi pihak yang memulai perbincangan. Lain kasus kalau ia meminta pendapatmu. Tapi kalau tidak, cukup menyemogakan ia yang senantiasa sehat, bahagia dan berselimut tenang dalam menjalani tiap langkah hidup.

Memang kalau iya pun bisa apa? Mengurusi semua kebutuhan pernikahannya? Tidak juga, bukan? Dari yang sudah-sudah, mereka hanya datang, berfoto, mengucapkan selamat dan update di media sosial. That's it. Selesai. Done. Jadi, tak ada salahnya juga untuk memerhatikan apa yang kita ungkapkan, apalagi pertanyakan pada orang lain, terlebih di ranah publikKarena jauh dalam kalbu, kita pun tahu kalau menikah tak semudah itu.

 

Asnida Riani

Editor Kanal Style Bintang.com