Eksklusif Alberthiene Endah, Syiar dengan Menulis Biografi

Asnida Riani diperbarui 02 Des 2016, 09:28 WIB

Fimela.com, Jakarta Dibanding berbagai macam genre buku, biografi bisa dikatakan satu yang sedikit menepi dari 'lampu sorot'. Popularitasnya tak senyaring novel, baik fiksi maupun non-fiksi, di kalangan pembaca. Tapi, itu dulu. Perlahan namun pasti, jenis bacaan ini mulai digemari dan menduduki daftar best selling. Terima kasih pada Alberthiene Endah.

***

Bukan tanpa alasan, perempuan yang akrab disapa AE ini sangat pantas disebut sebagai salah satu figur penggerak karya biografi. Hidup tokoh-tokoh ternama di Indonesia sudah pernah dikisahkannya lewat susunan kata per kata dengan begitu tekun, ringan dan penuh makna. Sebelum akhirnya memetik manis, AE sempat dilanda gelisah luar biasa di awal karier sebagai penulis biografi.

Bagi perempuan kelahiran Kota Kembang ini, menulis sudah jadi bidang yang ditekuni sejak berpuluh tahun silam. Ia telah berprofesi sebagai wartawan sejak 1993. Metode wawancara, penentuan alur dan fokus tulisan telah 'dilahap' dengan begitu mulus. Wajar rasanya jika pengemasan karya AE memberi warna berbeda di bidang penulisan biografi.

Siapa sangka, sukses yang sekarang diraih perempuan pecinta binatang tersebut harus bermula dari sebuah kegundahan luar biasa. Dihadapkan pada dua pilihan, yakni tetap berada di zona nyaman sebagai wartawan atau berani menggebrak dengan banting setir jadi penulis biografi, AE mengaku sempat mengalami masa-masa dilema.

Setelah menulis biografi KD, aku terantuk. Tetap jadi wartawan atau menulis biografi. Zona nyamanku ada di Femina. Tapi kalau keluar, aku mungkin akan menemukan padang yang begitu menarik. Lalu aku pilih yang kedua," ucap istri Dio Friedel Castro itu.

Dari keputusan nekat itu, AE menyelami dunia baru. Menulis biografi, memahami hidup orang lain untuk dikisahkan dan disampaikan pesan moralnya pada skala audience yang lebih besar. Naik-turun emosi, pengambilan peran oleh mood, semua dilalui AE demi berkarya. Berikut petikan wawancara ketika Alberthiene Endah menyambangi kantor Bintang.com di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, Kamis (15/11).

What's On Fimela
2 dari 3 halaman

Dilema di Awal Karya

Alberthiene Endah. (Foto: Deki Prayoga/Bintang.com Fashion Stylist: Indah Wulansari/Bintang.com Make Up: @gearejeki Digital Imaging: Muhammad Iqbal Nurfajri/Bintang.com)

Berbekal ilmu penulisan dari dunia jurnalis yang digeluti, AE berhasil membangun citra baru akan biografi. Bukan lagi tulisan kaku, melainkan barisan aksara penuh pesan dan makna yang bisa memotivasi pembaca. Keluar dari zona nyaman jadi langkah awal AE meraih berbagai pengalaman baru dan 'padang' yang menarik.

Sebenarnya bagaimana awalnya bisa menulis biografi?

Kalau soal nulis, aku jadi wartawan dulu. Setelah dari majalah agama, tahun 1994 - 2004 aku di Femina. Femina yang didik aku buat nulis dari berbagai angle. Mulai dari disiplin deadline, nemuin tokoh, plot, alur, sampai gaya bahasa. Lalu krisis moneter, majalah jadi tipis. Padahal aku bisa menggali cerita banyak. Mulai gelisah saat itu. Susah-susah wawancara cuma nulis satu halaman.

Berangkat dari situ, aku berpikir kalau suatu saat harus bikin buku. Tahun 2003 ditelepon Krisdayanti. Nah, KD itu gerbang aku nulis biografi. Setelah bografi KD successful, aku dihadapkan pada dua pilihan. Pertaruhan tinggi. Wartawan memberiku pendapatan konstan. Aku mikir berani keluar dari Femina atau nggak. Tapi akhirnya setelah banyak pertimbangan, aku pilih untuk keluar.

Dari biografi KD itu aku juga diajarin nyari sponsor. Bagaimana me-manage pembuatan buku. Karena AE nggak punya uang, jadi harus cari. Buku pertama sukses ngumpulin dana sponsor Rp600 juta. Selepas memutuskan untuk nggak jadi wartawan, telepon bunyi lagi. Ram Punjabi dan akhirnya berderet terus. Nggak kerasa sudah sampai 46 buku.

Kan mereka yang telepon, pernah nanya kenapa harus ditulis sama AE?

Rupanya dalam biografi itu CV-nya adalah karya. Karena bukan termasuk buku populer juga kan. Aku memang suka nulis tokoh. Dari situ, aku terlatih menyelami hati orang lain, mendekati sama menghadapi tokoh yang lagi down dan sombong. Di tengah dunia yang sunyi itu aku bergerak. Nggak ada penulis biografi. Semua orang nulis novel.

Awalnya banyak celaan, tapi aku yakin. Karena di barat sana, Madonna buat buku nggak ada yang nyela. Di Indonesia, biografi identik dengan jenderal mau meninggal, pejabat sudah lengser, atau tokoh sudah tua. Itu salah banget. Di barat, semua orang rileks sama biografi. Semua orang boleh bikin selama punya kisah hidup yang bisa dibagi sama orang lain.

Aku bertekad untuk nulis biografi yang light, enak dibaca, pesannya ter-deliver. Gaya penulisan aku buat releks. Akhirnya berhasil. Dari situ aku belajar, meski kita nulis tentang hidup orang, kalau message-nya deliver dan penting untuk orang lain, pasti banyak yang baca, nggak ada yang sia-sia.

Sebenarnya beda memoar dan biografi itu apa?

Sebutan yang nyaris tak ada beda. Kalo biografi, biasanya nulis semua yang dilalui dari awal hidup sampai titik di mana biografi itu ditulis. Sedangkan memoar hanya sepenggal. Kaya misalnya waktu aku nulis Chrisye. Dia nggak mau nulis tentang pribadi, hanya musik.

Dari sekian banyak tokoh, siapa yang pendekatannya paling sulit?

Nyaris nggak ada. Tapi kalau bicara soal tantangan, mungkin ada. Ketika aku nulis tentang Chrisye, itu yang aku hadapi adalah orang kanker stadium 4 plus yang dokter udah bilang, 'kamu akan meninggal 6 bulan lagi'. Jadi, aku berhadapan dengan mood yang naik-turun. Takut kalau besok dia bisa tiba-tiba meninggal, nangis, drop.

Nulis bu Ani juga. Karena dia first lady selama 10 tahun, nggak bisa terpisah sama keadaan politik. Misalnya ada bom, dia stress, nggak bisa ketemu 3 bulan. Untuk menjaga emosi bukunya susah. Hampir 2 tahun aku buatnya. Tiap orang pasti unik. Karena menulis biografi adalah menyelami hidup orang yang naik-turun. Selama menulis, aku menciptakan anggapan, 'apapun kamu hari ini, kamu orang hebat'. Supaya orang bersemangat menceritakan apapun. Yang aku tuntut itu jujur dan terbuka. Jangan malu, senggaknya sama aku. Tapi ada beberapa juga yang jujurnya bikin aku sampai ngeri.

3 dari 3 halaman

Memotivasi Lewat Biografi

Alberthiene Endah. (Foto: Deki Prayoga/Bintang.com Fashion Stylist: Indah Wulansari/Bintang.com Make Up: @gearejeki Digital Imaging: Muhammad Iqbal Nurfajri/Bintang.com)

Terlepas dari berbagai kegundahan dan menceburkan diri ke dunia baru, AE mengaku menemui banyak tantangan dan pengalaman menarik. Ia jadi tahu apa itu makna hidup dan indikator bahagia. Di samping itu, menulis biografi merupakan syiar yang dipilihnya

Menurut AE, kenapa Indonesia limit penulis biografi?

Nah itu. Banyak orang yang bilang, "enak ya AE nggak banyak saingan". Padahal menurutku, industri akan hidup kalau ada persaingan. Aku udah workshop di mana-mana. Kenapa nggak muncul, nggak tahu juga. Menurutku, orang mungkin kurang tabah buat biografi. Dianggap sulit dan proses wawancaranya membuang waktu.

Bagaimana caranya jaga mood narasumber?

Susah banget. Karena kerja sama orang. Peristiwa yang terjadi itu sangat-sangat mempengaruhi mood. Ya aku terpaksa nerima emosi dia. Tapi aku nggak boleh nolak, karena itulah aslinya dia. Justru itu yang harus aku serap. Makanya penulis biografi itu harus sabar, tabah, tapi berwibawa. Nggak boleh disetir tokoh. Terus butuh kepekaan. Kita harus tahu momen bahagia, sedih dan trauma si tokoh dalam hidup.

Setelah menulis banyak tokoh, kepikiran buat autobiografi?

Nggak mau. Nanti banyak yang di-skip. Jadi aku nulis berbagai bidang, dari KD sampai Merry Riana, dari situ aku belajar, manusia itu bertarung untuk mendapatkan pengakuan, siapapun dia. Mereka ingin berprestasi. Tapi puncak dari keberhasilan itu ketika mereka sudah merasa tenang, tentram. Dari biografi aku belajar banyak. Dalam hidup kita harus melakukan hal baik semaksimal mungkin, selalu berusaha menciptakan hal baik, tapi jangan berpikir kalau kita akan selalu di atas.

Sebegitu banyak buku, punya cerita paling unik ketika proses pembuatannya?

Chrisye paling dramatis. Betul kaya drama. Kasetku merekam dia nangis aja sampai satu setengah jam. Tiba-tiba yang bikin aku happy, dari dia drop, karena dia bercerita dari album pertama, mood dia kebawa. Jatuhnya dia paling dalam itu di bulan ke-6, karena dia kemakan omongan dokter. Nggak mau makan, nggak mau ketawa, nggak mau cerita. Aku ikut sedih juga. Tapi istrinya ngomong, "AE kamu datang aja tiap malam. Nggak ngapa-ngapain nggak apa-apa". Sejak aku datang katanya Chrisye ketawa terus. Itu yang bikin aku terharu. Aku ada di akhir hidup seorang bintang terkenal kaya Chrisye dan aku mendengar kata-kata terakhirnya.

Perbedaan menulis ketika sebagai jurnalis dan sekarang?

Pendapatan jelas berbeda. Terus juga keasyikan sebuah karya sendiri. Aku menulisnya lebih luas dan leluasa. Paling menarik, ada deliver pesan. Hari-hari ini banyak orang depresi karena berbagai persoalan ekonomi, persaingan, karena hidup begitu berat. Nulis biografi kaya semacam syiar buatku.

Jadi pesan buku biografi juga bisa memotivasi?

Sebetulnya iya. Karena banyak email yang masuk dan mengucapkan terima kasih. Itu nggak aku dapetin ketika aku jadi jurnalis. Dan cara belajar yang paling efektif adalah dari hidup orang lain.

Dalam waktu dekat, buku apa yang akan rilis?

Buku ke-2 bu Ani yang judulnya '10 tahun jadi first lady'. Susi Susanti judulnya 'the winner' dan Ciputra 'the power of dream'. Tinggal tunggu proses akhir.

AE punya kriteria tokoh yang mau ditulis?

Pasti ada karena aku nggak mau nulis sembarang orang. Satu yang pasti adalah dia harus pernah hidup susah. Punya cukup inspirasi untuk dibagikan pada orang lain. Tapi di atas semua, dia harus jujur.

Sekarang sudah punya begitu banyak buku, sebenarnya dapat influence paling positif datang dari mana saat nulis? 

Jelas rasa cintaku sama satwa memberi pengaruh begitu dalam ketika aku menulis. Dalam satwa itu ada rasa cinta, nggak tega, iba, peka. Itu ngasah banget. Kesedihan. Aku nggak bisa bayangin hidupku kalo nggak berdekatan dengan satwa. Hidupku cuma writing dan anjing.