Fimela.com, Jakarta Revolusioner Kuba, Fidel Castro baru saja tutup usia di usianya yang mencapai 90 tahun. Berita kematiannya bukan hanya saya dengar dari portal berita luar negeri, tapi juga dari beberapa teman ekspatriat yang langsung heboh di group WhatsApp. Kemarin, Sabtu (26/11), membaca berita kematian seorang revolusioner dan status teman-teman Indonesia di Facebook, saya jadi ikut sedih. Berusaha mempposisikan sebagai orang Kuba, yang kehilangan salah satu pahlawannya.
Sore hari, ketika saya baru saja pulang usai berjalan-jalan dengan adik, saya mendapat telepon dari teman. Dia berkewarganegaraan Kuba. Sontak, saya langsung menyampaikan rasa belasungkawa atas meninggalnya sang pahlawan dari negara kelahirannya itu. Tapi lantas dia menolak belasungkawa saya. "Jangan. Tidak pantas memberikan belasungkawa kepada orang yang sama sekali kami tidak cintai," katanya, dengan suara yang getir dan dingin.
Kami lantas memutuskan untuk bertemu untuk berbincang mengenai Fidel dan kematiannya. Sore. Langit yang mendung mungkin hanya sekadar langit kelabu buat orang Jakarta. Tapi ternyata mendung membawa secercah harapan, seiring dengan pemberitaan kematian Fidel, buat teman saya ini.
Begitu duduk saling berhadapan di sebuah kafe, saya merasa tak enak kalau langsung memberondongnya dengan jutaan pertanyaan. Kenapa tak boleh memberikan ucapan belasungkawa? Bukankah Fidel pahlawan yang pantas menerima tetesan air mata dari rakyat? Atau orang asing tak boleh ikut merasa sedih karena mereka tahu, sebagian besar orang asing tak benar-benar merasa sedih meski mengatakan "saya turut berbelasungkawa"?
Saya buka pembicaraan denngan menanyakan kabar. Secara, sudah 6 bulan kami tak bertemu dan berbicara banyak hal, terutama tentang musik yang sama-sama kami senangi. Juga berbicara tentang makanan khas Indonesia yang sebagian dia suka, sebagian lagi malah masuk dalam daftar makanan wajib, selama tingal di kawasan Kemang, Jakarta Selatan, sebagai guru di sekolah internasional.
Ternyata, tak perlu banyak basa-basi dan pertanyaan pembuka, dia langsung bicara sendiri tentang Fidel. "Buat saya dan banyak orang Kuba lainnya, Fidel bukan pahlawan." Saya kaget. Saya memang tak terlalu paham dengan politik di Kuba. Apa lagi tentang bagaimana Fidel meraih 'gelar' sebagai revolusioner. Apa lagi soal perang dingin dia berikan kepada Western Hemisphere, negara-negara yang terletak di bagian barat Prime Meridian dan timur antimeridian.
Tanpa latar belakang yang kuat, saya mendengar semua cerita teman saya dengan seksama. Meskipun ada banyak pertanyaan di dalam benak. Tanpa berusaha untuk menghakimi Fidel, lantaran cerita, atau mungkin lebih tepat disebut dengan keluhan teman saya semuanya negatif, saya terus mendengarkan. Hingga akhirnya kami sadar, langit sudah gelap. Hujan pun sudah reda. Saya pulang dengan pikiran gamang.
Fidel Castro, mungkin namanya ada di dalam laci ingatan saya. Tapi laci tersebut tak pernah saya buka. Sampai di rumah, saya lantas membaca beberapa artikel. Salah satunya berjudul "In Havana, Castro’s Death Lays Bare a Generation Gap" yang dipublikasikan the New York Times.
Fidel Castro dan Rakyat Miskin
Anak-anak muda di Kuba sama sekali tak meneteskan air mata. Sementara orang tua justru merasa kehilangan 'harta' yang paling berharga. Ekspresi anak-anak muda pada artikel itu mirip sekali dengan ekspresi teman saya yang baru saja saya temui. Tak ada raut kesedihan. Tak ada penyesalan.
Saya baca kembali sebuah artikel opini yang disodorkan teman saya itu. Saya baca pelan-pelan meski harus browsing sana-sini untuk menutup bolongnya jaring pengetahuan saya tentang kebijakan, kepemimpinan, dan latar belakang kehidupan politik di negara yang pernah diduduki Spanyol pada 1511 until 1898.
Ada beberapa hal yang terngiang usai membaca itu semua. Fidel adalah diktator bertangan besi. Meski mendapat Nobel usai melancarkan serangan gerilya pada pemerintahan Fulgencio Batisa yang korup. Tapi rakyat Kuba yang miskin makin terpuruk. Sementara yang kaya raya bergembira dalam kehidupan yang memikat.
Kondisi ini mungkin terdengar sangat klise. Di mana-mana, orang miskin ya tetap miskin. Yang kaya ya sudah; bersenang-senang dengan kehidupannya yang serba ada. Artinya, ini bukan cuma persoalan Kuba. Ini juga terjadi di hampir setiap negara. Tapi ternyata, Fidel, menurut kolumnis di Sun Sentinel, Andrew Abramson, merupakan pemimpin bertangan besi yang mengingkari janjinya soal pemilihan umum yang bebas.
Dia lumpuhkan media, menekan kebebasan rakyat, dan menciptakan negara berpartai tunggal, di mana hanya dia dan abangnya bisa mengatur, untuk setengah abad kemudian. Bukan cuma itu, orang yang punya bisnis swasta harus menyerahkan 'masa depannya' kepada pemerintah tanpa ada kompensasi. Ini gila! Apa lagi ketika ada yang tak setuju dengan kebijakannya, langsung dipenjara. Ya, saya tahu para pembaca kemungkinan besar langsung teringat dengan salah satu sosok di Tanah Air.
Saya langsung teringat dengan apa yang diceritakan teman saya di kafe. "Dulu, waktu saya masih kecil, paman saya, dia kulit putih, bisa makmur karena mendapat pekerjaan. Ya itu karena paman saya kulitnya berwarna terang. Tanyakan orang Kuba lainnya yang berkulit gelap. Bagaimana nasib mereka? Sama sekali tak bisa bekerja, karena, pada awal tahun 1990, pekerjaan terbaik di hotel dan resor hanya diberikan kepada orang Kuba berkuli terang."
"Tapi Fidel sendiri yang menyatukan orang-orang berkulit putih dengan berwarna di sana," saya protes karena pengakuannya berlawanan arah dengan apa yang saya tahu selama ini. Tapi saya tahu betul, teman saya yang sudah tinggal di Indonesia selama 3 tahun lebih, tak mungkin bohong tentang kehidupan keluarganya yang adem ayem, sementara tetangganya yang berkulit berwarna kerap terpuruk. Bahkan pada tahun 2003, lanjutnya, kondisi ini masih berlangsung.
Walaupun kematian Fidel Castro tak terlalu memengaruhi kehidupan pribadi saya, meskipun 'lencana' kepahlawanannya lantas dicopot, atau bahkan terus tertancap pada dadanya, saya tak terlalu berpikir banyak tentang hal ini. Rakyat Kuba boleh jadi bersorak, boleh jadi bersedih dengan kematian Fidel. Tapi sebagai manusia, kalau memang betul orang-orang Kuba bisa bernapas lega dengan bebasnya kehidpan mereka usai kematian Sang Tangan Besi, saya turun bergembira. Karena tak ada yang boleh saling menindas dan tak menghargai, baik berdasarkan warna kulit, kekayaan, atau pun cara pandang masing-masing.
Selamat jalan Fidel Castro. Pahlawan atau bukan, biarlah terjawab dengan kembalinya hak dan kebebasan rakyat di sana. Tapi, lebih dari itu, pertanyaan yang mungkin harus ditanamkan dalam benak adalah, apa yang akan dilakukan Castro lain sekarang?
Eitor Feed,
Karla Farhana