Editor Says: Short Hair and I Don’t Care

Febriyani Frisca diperbarui 22 Nov 2016, 12:28 WIB

Fimela.com, Jakarta "Rambut adalah mahkota wanita", begitu yang kerap saya baca dan dengar. Namun, rambut yang seperti apa yang dapat dikatakan sebagai mahkota? Sayangnya, tidak semua rambut tampaknya dapat dikatakan demikian. Dari ungkapan tersebut, seringkali tercipta stereotip bahwa rambut yang disebut mahkota ialah rambut yang panjang, hitam, dan terurai indah. Persis rambut para model iklan sampo.

Lantas, bagaimana dengan perempuan berambut pendek atau bahkan botak?

***

Saya sendiri bukan seorang perempuan yang menganut paham tersebut. Bukan karena apa-apa. Sebagai seorang berzodiak Aquarius, saya sangat menyukai kebebasan berekspresi serta tendensi untuk selalu mandiri. Maka dari itu, saya harus menjunjung nilai-nilai kepribadian yang saya pegang. Tak ada sejarahnya Aquarius disetir aturan dan stereotip tak jelas macam itu. Oke skip. Next.

Tak seperti kebanyakan perempuan yang kerap galau untuk memilih model potongan rambut, saya hampir tak pernah memusingkan hal tersebut beserta drama umum berupa salah potong atau kependekan. Sebab, bagi saya, segala sesuatu yang masih bisa tumbuh dan berkembang, pantang untuk dikhawatirkan. 

Oleh karena itu, saya berani untuk menanggalkan sebagian banyak rambut saya dan bergabung dalam klub Short Hair and I Don’t Care. Yeah!

Keinginan memiliki rambut pendek mungkin ada di benak banyak perempuan. Namun, untuk mewujudkannya, saya rasa tak semua perempuan berani untuk itu. Big deals memang, termasuk bagi saya. Apalagi, saya memutuskan untuk potong rambut yang tak sekadar pendek seperti pacarnya Boboho, namun pixie hair seperti … DEMI MOORE DI ERA 90-an. ~~~\o/

Bukan tanpa alasan, kebosanan yang begitu besar membuat saya melakukannya. Saya yang sebelumnya tak pernah berambut sependek itu, tentu menyita perhatian orang-orang di sekeliling saya. Bagai dua sisi mata uang yang berbeda, ada yang memuji, ada juga mencibir. Tapi, seperti judul tulisan ini, lagi-lagi harus saya katakan “I don’t care”.

Terlepas dari rasa bosan, rambut pendek sendiri telah memberi saya beberapa pelajaran dan keuntungan, di samping tatapan dan picingan mata heran dari orang-orang. Dan mungkin, apa yang saya dapatkan nggak didapatkan oleh para perempuan berambut kuncir kuda.

Rambut pendek? Siapa takut!

Menghabiskan waktu di ibu kota Jakarta yang (tampaknya) matahari lebih dekat ke kepala dibanding kota-kota lain, membuat saya dan jutaan orang lainnya yang juga pengguna transportasi umum lebih banyak berkeringat. Bagai juru penyelamat, rambut pendek membuat rasa gerah dan panas sedikit berkurang, jika dibandingkan saat saya berambut panjang dulu. 

Tak ada lagi drama lupa bawa kunciran, kunciran putus, atau semacamnya yang bikin emosi jadi ikut tersulut. Semilir angin pun lebih mudah menghempas kulit kepala. Plus, nggak ada lagi acara bad hair day atau rambut rusak karena catokan rusak kena cuaca panas dan angin di jalan.

Menganut paham ekonomis, sebagai perempuan berambut pixie saya juga merasakan hematnya menggunakan sampo. Jika biassaat berambut panjang saya bisa menghabiskan sebotol sampo seukuran 600 ml untuk sebulan, saat berambut pendek, saya bisa memperpanjang usia sampo hingga dua bulan. Warbiyasak!

Ingin mendengar yang lebih epic? Rambut pendek tak akan pernah membuatmu bingung saat ada undangan pesta. Untuk mendukung penampilan biar hits, biasanya cewek-cewek akan rela berjam-jam berada di salon dalam rangka mempercantik rambut. Kalau kamu punya rambut pendek, nggak ada tuh bingung rambut mau disanggul model ibu-ibu pejabat atau ibu-ibu PKK.

Bagai dua sisi mata pisau, yang berbeda. Ada menyenangkan, pasti ada sisi menjengkelkan. Saya tahu, ini bagian dari konsekuensi, namun, hak saya juga bukan untuk memiliki rasa keki? Lantas, di mana sisi menjengkelkan (bagi saya) ketika memiliki berambut pendek?

Kembali ke stereotip. Beberapa orang menganggap jika perempuan berambut pendek memiliki pribadi yang bebas, bahkan radikal. Sebab, mereka mampu dan berani keluar dari aturan tak tertulis tentang perempuan, yang salah satunya kepemilikan rambut panjang. Dari pandangan itu, orang-orang –yang saya bilang awam- kerap memicingkan mata dengan ‘aroma’ tidak menyenangkan.

Sering kali, sejak 2011 saya memutuskan untuk konsisten sebagai wanita berambut pixie, di beberapa kesempatan yang banyak orang saya tidak kenal, saya menangkap pandangan-pandangan menyebalkan; melihat penampilan saya dari ujung kepala hingga ujung kaki. Belum lagi setelahnya ada aktivitas bisik-bisik dengan orang di sebelahnya sambil melirik kepada saya. Maksud looo?

Sebagai perempuan, mungkin saya tampak berbeda dengan mereka. Namun, adakah saya menyalahi aturan sosial? Apakah rambut pendek saya merugikan mereka? Atau bahkan mereka yang terlalu normal? Kesal sih nggak, hanya saja terkadang saya heran saja. So what, ye kan?

Well, apapun itu, selama apa yang saya lakukan direstui oleh orangtua saya, saya akan tak akan begitu ambil pusing. Sebab, short hair and I don't care~

Salam,

Febriyani Frisca

 

 

Editor Kanal Unique

What's On Fimela