Fimela.com, Jakarta Tahun 1996 lalu waktu Chris Martin, Jonny Buckland, Guy Berryman dan Will Champion mendirikan band bernama Starfish, umur saya baru 3 tahun. Waktu mereka ganti nama jadi Coldplay pada tahun 1998 pun sepertinya lagu-lagu yang saya dengarkan masih Maissy Pramaishella, Chiquita Meidy, Trio Kwek-kwek, Joshua, yaaa, lagu anak-anak pada masanya, lah.
Coldplay? Apa itu Coldplay?
Waktu mereka bikin album Parachutes di tahun 1999 saya juga masih tidak sedikitpun menyadari keberadaan mereka. Maklum, orangtua dan keluarga saya di rumah pun tampaknya kurang update dengan musisi luar. Kalau saya ditanya Evie Tamala, Meggie Z, dan Mansyur S pada zaman itu mungkin saya akan lebih memahami karena Bapak Ibu seringkali karaokean di rumah, menyanyikan lagu-lagu mereka dan mengajak saya ikut nyanyi. Salah satu single dari album Parachutes, We Never Change pun baru saya dengar semasa SMA, sekitar tahun 2007, berbarengan dengan The Scientist dan Fix You, single hits mereka. Itu pun saya cuma sekadar tahu siapa yang menyanyikannya.
Bertahun-tahun kemudian dengan limpahan koneksi internet dan luangnya waktu di tempat magang, sekitar tahun 2012-2013, saya banyak mengonsumsi YouTube dan mengunduh segala apa yang bisa saya unduh dengan koneksi kencang dan gratisan itu. Tapi yang saya tonton dan saya unduh setiap hari cuma satu; Coldplay.
Saat rilis album Mylo Xyloto, Coldplay mengadakan tur dunia, menggelar panggung megahnya di berbagai negara di masing-masing benua. Kemegahan konser mereka seakan menghipnotis saya. Kelap-kelip lampu yang menghiasi venue, warna-warni wristband yang menyala mengikuti alunan lagu, dan enerjiknya sang vokalis berlari sana-sini sepanjang konser berlangsung.. Siapa yang takkan kagum melihatnya?
Saya mengunduh video-video live performance mereka baik saat MXTour maupun bukan, untuk saya simpan di laptop dan iPod saya, agar saya bisa menontonnya berulang-ulang. Di satu kesempatan saya bertemu dengan kawan lama, saya meng-copy seluruh album dan EP Coldplay yang dia punya. Saya mendengarkannya berulang-ulang. Coldplay, you have my heart.
Suatu ketika, film dokumenter tur Mylo Xyloto mereka sampai ke tangan saya. Saya menyaksikannya, menyimak detik demi detik. Tak hanya penampilan keempat manusia cerdas dengan alat musiknya masing-masing, berbagai emosi penonton yang menonton langsung pun ditampilkan dalam film dokumenter bertajuk Coldplay Live 2012 itu. Saat Chris mengalunkan intro lagu Yellow dengan dentingan piano, kamera mengarah pada para penonton yang menikmati suguhan menyenangkan untuk mata dan telinga itu sambil memeluk pasangannya. Sungguh momen yang bikin hati saya dipenuhi dengan rasa iri dan dengki (maafin saya, ya, Tuhan).
Saat mereka memainkan Charlie Brown dan wristband serta lighting-nya berkelap kelip seirama dengan lagu, bulu kuduk saya berdiri, napas saya serasa tercekat di tenggorokan. Di bagian itu film mempertontonkan ambience di venue. Penonton sing along dan menyanyi bersama sambil melompat-lompat seraya mengarahkan tangannya ke udara, membiarkan nyala wristband meramaikan suasana. Buat saya, kemegahan konser Coldplay ini lebih mencengangkan ketimbang keajaiban dunia yang tercatat sejarah. Buat saya lho, ya. Kalau buat kalian tidak, ya tak apa juga.
Tur A Head Full Of Dreams Coldplay akan Sampai ke Tanah Asia 2017 Mendatang
Buat saya, saya ulangi; buat saya, klimaks dari Coldplay Live 2012 itu adalah ketika mereka membawakan Fix You. Salah satu hits single mereka dari album X&Y. Lagu yang diciptakan Chris Martin untuk istrinya ketika itu yang kehilangan ayahnya. Lagu yang menceritakan perasaan kehilangan. Lagu yang masih bikin galau meski usianya sudah bertahun-tahun.
Tears stream down on your face, when you lose something you cannot replace
Tears stream down on your face, I promise you I will learn from my mistakes
Dan kamera merekam ekspresi haru dari mereka yang menyaksikannya di sana, yang berderai air mata, yang bernyanyi sambil memeluk bahagia kekasihnya.
Air mata saya menetes ketika pertama kali menontonnya. Dari situ saya berjanji pada diri sendiri; suatu hari saya harus ada di sana, di hadapan mereka bersama puluhan ribu penonton lainnya. Menyaksikan penampilan mereka secara langsung. Tapi saya cukup pintar untuk tidak berharap mereka akan datang ke Indonesia, janji saya, saya akan menonton live performance mereka setidaknya sekali seumur hidup saya. Di manapun itu.
Bertahun kemudian, Coldplay kembali tur keliling dunia untuk mempromosikan album barunya A Head Full Of Dreams. Amerika, Australia, dan Eropa sudah pasti masuk ke dalam daftar tujuan mereka. Fans-fans di Asia yang kelas ekonominya masih menengah macam saya hanya bisa menopang dagu. Sampai suatu hari Coldplay mengumumkan secara resmi bahwa tur A Head Full Of Dreams mereka akan sampai ke tanah Asia. Singapura, Filipina, Taiwan, Seoul dan Tokyo adalah lima kota terpilih untuk menggelar konser mahaindah itu.
Iya, tidak ada Indonesia di dalam daftarnya. Tapi siapa yang peduli? Kelima kota tersebut tidak terlalu jauh dibanding kota-kota lain di Eropa, Amerika dan Australia. Yang paling penting adalah; biaya perjalanannya pasti akan lebih murah. Tentu saja saya (dan pastinya, jutaan orang lain di Asia) senang hati menyambutnya.
Singapura adalah kota pertama yang akan mereka kunjungi. Perburuan tiket pun sudah dimulai sejak 17 November 2016 kemarin. Pengguna kartu kredit bank tertentu di Singapura berkesempatan untuk mendapatkan tiketnya lebih dulu, yang lain masih harus gigit jari menunggu. Kabarnya 12000 tiket habis dalam waktu 1 jam. Tapi setelah itu, beberapa situs muncul menjual tiket konser Coldplay di Singapura dengan harga yang luar biasa. Luar biasa mahalnya.
Beberapa hari kemudian, member akun promotor yang berhasil membawa Coldplay ke Singapura berkesempatan untuk mendapatkan pre-sale kedua. Lagi-lagi, 12000 tiket habis dalam sekejap. Sampa akhirnya 21 November 2016 tiket konser Coldplay Singapura dan Tokyo dibuka untuk umum melalui situs resmi dan beberapa channel-nya.
Sebagian orang yang beruntung memamerkan tiket yang berhasil mereka dapatkan di media sosial, memancing rasa iri dari mereka (iya, iya, saya aja kali, ah) yang hanya bisa menatap nanar layar seperti ini:
Begitu terus sampai tiketnya sold out lagi.
Banyak yang merelakan kunjungan Coldplay ke Singapura karena tidak berhasil mendapatkan tiket. Tapi saya yang menyematkan “Nonton konser Coldplay” di daftar cita-cita yang harus saya penuhi sebelum mati, sepertinya masih akan mengejar mereka.
Semoga di kesempatan berikutnya keberuntungan bisa lebih berpihak pada saya, juga tidak ada lagi pihak-pihak yang memborong tiket lalu menjualnya lagi dengan lonjakan harga yang tak termaafkan. Semangat, para pemburu tiket konser A Head Full Of Dreams lainnya!
Salam,
Fitri Andiani, editor Bintang.com yang berharap cita-citanya untuk nonton Coldplay bisa segera terwujud.