Fimela.com, Jakarta Apa yang membedakan manusia dengan lumba-lumba selain bentuk dan habitatnya? Lumba-lumba sanggup menggunakan 20% otaknya, sementara manusia,katanya, hanya bisa menggunakan 10% kapasitas otaknya. Ini teori yang telah lama saya amini sejak saya duduk di bangku SMA.
Sudah lama tak pernah diingatkan lagi tentang teori tersebut, saya lantas kembali diingatkan oleh sebuah film berjudul Lucy. Pada film tersebut, Lucy yang sedang berkuliah di Taipei tiba-tiba dipaksa pria yang baru saja dia kencani selama seminggu untuk membawa sebuah tas yang berisi narkoba jenis baru yang lantas ditanam ke dalam perutnya oleh gang pengedar narkoba.
Kurang beruntung, kantong narkoba tersebut pecah dan isinya berhamburan, bercampur dengan darahnya. CPH4, begitu mereka menyebut narkoba jenis baru itu, merupakan narkoba yang dibuat dari molekul kecil. Molekul tersebut diproduksi perempuan yang sedang mengandung. Film itu menyebutnya dengan atomic bomb for fetus.
Film yang dirilis tahun 2014 ini memang baru saja saya tonton beberapa hari lalu. Bukannya apa-apa, 7 tahun belakangan saya selalu menghindari bahasan tentang otak. Baik itu novel fiksi, fiksi ilmiah, atau bahkan artikel di koran-koran dan juga hasil penelitian yang diterbitkan di jurnal internasional.
Pasalnya, ketika saya duduk di bangku SMA, salah satu guru saya menanamkan sebuah teori lama tersebut. Tapi sayang, segala proyek dan presentasi yang saya kerjakan mengenai otak manusia purba dan modern tak berdasarkan teori yang kuat. Dari pada frustrasi, saya tinggalkan pemahaman itu dan menaruhnya di dalam 'laci-laci' benak yang terdalam.
Tapi ada satu keraguan pada saat saya menonton Lucy. CPH4 yang bercampur dalam darah Lucy, lantas menjalar ke seluruh tubuhnya, termasuk otak. Tiba-tiba saja dia menjadi manusia super yang, kalau sekarang mungkin kamu kenal dengan Avatar. Atau boleh juga disamakan dengan tokoh-tokoh yang ada dalam sebuah TV series Heroes.
Lucy jadi bisa cepat belajar bahasa Mandarin. Mengendalikan seluruh organ di dalam tubuhnya. Dia tak lagi merasa sakit. Tak ada rasa takut, dan yang paling saya perhatikan, bisa melakukan teleportasi. Menurut teori pada film tersebut, Lucy menjadi manusia super lantaran CPH4 membuatnya bisa mengaktifkan dan menggunakan 100% kapasitas otaknya.
Ya, 100%! Padahal Einstein yang begitu cerdas dikatakan hanya mampu menggunakan 20% otaknya. Saya lantas membandingkan dengan diri saya sendiri. Jika memang benar Einstein hanya menggunakan 20% otaknya, apa kabar dengan manusia-manusia lain di masa kini? Berkaca pada rekaman hasil pembelajaran akademik saja selama 12 tahun, nilai Matematika saya dulu tak pernah lebih dari 60. Biologi paling besar hanya 76. Saya buka lagi rapor saya pada kelas 12 semester awal. Nilai Bahasa Inggris dan Ekonomi saya 5. Lantas, berapa persen otak yang saya gunakan pada saat itu? 4%?
Merasa tak bisa menghadapi fakta bahwa saya ternyata bukan hanya malas belajar tapi juga berkognisi rendah, lambat menerima informasi, dan memiliki IQ 'jongkok,' saya lantas browsing dan menanyakan Paman Google tentang kapasitas otak manusia modern. Entah saya harus senang atau tidak, ternyata ada banyak penelitian baru yang berhasil menyanggah teori penggunaan kapasitas otak manusia hanya 10% tadi.
Di satu sisi, saya merasa sangat senang karena ternyata, kecerdasan seseorang bukan cuma dites dari IQ, tapi secepat apa orang tersebut menerima sebuah informasi dan menelaahnya. Juga, saya merasa sangat senang ternyata belum tentu saya bodoh karena kapasitas otak yang saya pakai hanya 4%.
What's On Fimela
powered by
Patahnya Teori Penggunaan Kapasitas Otak 10%
Sebuah artikel sains yang diterbitkan di Scientific American dengan judul Do People Only Use 10 Percent of Their Brains? mengemukakan, "bukti menunjukkan kamu menggunakan 100 % otak di siang hari," kata John Henley, seorang neurologis di Mayo Clinic, Amerika Serikat. Bahkan, lanjutnya, pada saat tidur, otak bagian depan yang berfungsi untuk berpikir (keras) dan kesadaran diri serta somatosensori yang membuat manusia sadar akan lingkungannya, tetap aktif.
Ada lagi penelitian lain, yang dilakukan dan hasilnya ditulis Dr Sarah McKay PhD, pada situs yourbrainhealth.com.au dengan judul Neuroplasticity: the battle in your brain. Sarah menulis, setiap menit terjadi 'peperangan' di dalam otak manusia. 'Peperangan' ini terjadi pada 'bangunan' kortikal di dalam otak.
Bayangkan di dalam otakmu ada jutaan kabel-kabel halus yang saling terkoneksi. Pernahkah kamu berpikir, kenapa kamu bisa menyetrika baju dengan mahir? Padahal beberapa tahun lalu kamu masih kesulitan melakukannya? Ini karena adanya pembentukan di dalam otak yang dikarenakan seluruh pengalaman, perilaku, emosi, dan bahkan pemikiranmu yang terus berubah serta berkembang.
Koneksi 'kabel' halus yang tak terpakai itu akan 'istirahat' dan 'tidur,' membiarkan masing-masing dari mereka menyimpan energi untuk memperkuat kabel-kabel yang paling sering digunakan. "Neuroplastisitas sangat kompetitif dan bertugas untuk membuat area pada otak yang tidak menerima stimuli akan dengan cepat diambil alih," tulis Sarah pada artikelnya.
Intinya, penelitian mengenai otak menunjukkan kalau setiap otak memiliki aktivitas yang sangat sibuk setiap saat. Bahkan pada saat saya tidur. Ada berapa neuron yang ada di otak? Mungkin tidak semua 86 miliar neuron yang digunakan dan aktif setiap saat. Tapi mereka ada, dan mereka hanya 'beristirahat,' sambil menunggu hingga waktunya mereka dibutuhkan.
Penelitian pertama yang saya sebutkan diterbitkan pada tahun 2008, memang. Artikel ilmiah kedua yang ditulis Sarah malah dipublikasikan pada situsnya pada tahun 2014. Sementara Richard E. Cytowic, yang berbicara pada TED-Ex mengenai kapasitas otak juga dilakukan pada tahun yang sama. Jadi, mungkin Lucy dan segenap kru serta penulis naskahnya tak bisa ditodongkan pertanggungjawaban dan diberondong sejuta pertanyaan, "Kenapa masih juga mengangkat mitos lama tentang penggunaan kapasitas otak manusia yang hanya 10%?"
Kini, tinggal bagaimana manusia menemukan strategi dan cara untuk bukan menjadi lebih pintar dan meningkatkan level IQ-nya. Tapi bagaimana mengoptimalkan penggunaan otak dan meningkatkan daya serapnya. Saya rasa, penelitian dan pembahasan ini cukup untuk menjadi alasan dasar kenapa tak ada yang namanya orang bodoh dan pintar di sudut mana pun di bumi ini. Tentu saja statement ini masih harus dikuatkan dan dibuktikan dengan segenap teori pembelajaran dan cara kerja otak manusia modern, yang belum sanggup saya pahami dengan sangat baik.
Editor Feed,
Karla Farhana