Eksklusif Dwi Ria Latifa, Antara Pengacara dan Wakil Rakyat

Dadan Eka Permana diperbarui 04 Nov 2016, 09:28 WIB

Fimela.com, Jakarta Hidupnya mengalir. Namun jika sudah berada di satu titik, akan fokus dengan tujuan hidup. Ya, dia Dwi Ria Latifa, salah satu tokoh hukum yang sukses menjadi pengacara.

Beberapa nama besar dan terkenal, pernah ditanganinya. Dwi pernah menjadi kuasa hukum Presiden Timor Leste Xanana Gusmao, Megawati Soekarnoputri, KH. Abdurrahman Wahid, Muchtar Pakpahan, Ratna Sarumpaet, Mulyana W. Kusumah, Panda Nababan. Artis Sophia Latjuba, Sarah Azhari, Five V, dan banyak lagi, juga pernah menjadi kliennya.

Perempuan kelahiran Tanjung Balai karimun, Riau, 2 Desember 1966, ini sempat menjadi anggota DPR RI pada masa periode 1999-2004 dan saat ini duduk sebagai anggota DPR RI periode 2014-2019.

Dwi Ria Latifa besar dari keluarga sederhana. Setelah lulus SMP, ia hijrah ke Jakarta. Menjadi seorang dokter merupakan tujuan awalnya. Namun kenyataan berkata lain. Keinginannya tak direstui ibunya. Padahal ia sudah diterima di sebuah Universitas ternama di Jakarta.

Kondisi tersebut membuat Dwi tak semangat untuk meneruskan pendidikan di perguruan tinggi. Dalam keadaan bimbang karena tak memiliki tujuan, tanpa sengaja Dwi yang gemar bermain gitar dan bernyanyi, mendatangi acara musik kampus Universitas Pancasila.

Ia pun kemudian mendaftar di Universitas Pancasila hanya karena senang dengan kegiatan musik yang diadakan di kampus tersebut. Fakultas Hukum menjadi pilihannya.

Enam bulan pertama, Dwi masih belum fokus untuk menentukan langkah hidupnya. Setelah mengikuti organisasi kampus dan berteman dengan banyak aktivis, serta sering berdiskusi dengan orang-orang di YLBHI, Dwi akhirnya mantap memutuskan untuk menjadi pengacara.

Setelah lulus, ia mendalami bidang advocat dengan kursus di peradin dan kemudian mulai bekerja di kantor pengacara Amalia Santosa pada 1990 dan di kantor pengacara Elza Syarief pada 1991.
Keinginan yang kuat untuk memiliki kantor sendiri, membuat Dwi tak ingin berlama-klama bekerja dengan orang lain. Setelah menguasai ilmu dari Amalia Santoso dan Elza Syarief, ia membuka kantor sendiri, Ria Latifa & Partner pada tahun 1992.

Dwi aktif dalam berbagai organisasi seperti menjabat sebagai anggota PBHI, Sekjen LBH APIK, anggota Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) dan Ketua III bantuan hukum Serikat Pengacara Indonesia (SPI).


Kiprahnya di dunia politik dimulai dengan bergabung bersama Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI Perjuangan). Ia duduk di Senayan sebagai pengganti Megawati Soekarno Putri yang terpilih menjadi Wakil Presiden RI usai Pemilu 2000.

What's On Fimela
2 dari 3 halaman

Awalnya Ingin Jadi Dokter

Eksklusif Dwi Ria Latifa, Pengacara yang Pandai Bermain Gitar dan Bernyanyi | Foto : Nurwahyunan, Digital Imaging: Muhammad Iqbal Nurfajri/Bintang.com)


Berikut wawancara wartawan Dadan Eka permana dan Fotografer Nurwahyunan dari Bintang.com dengan pengacara kondang Dwi Ria Latifa, SH, M.Sc di kediamannya di kawasan Menteng, Jakarta, beberapa waktu lalu.

Seperti apa Sosok Dwi Ria Latifa saat Kecil?

Saya dibesarkan ibu dan nenek saya, 6 bersaudara perempuan semua. Ibu saya pedagang. Sampai SMA kelas satu kemudian dikirim ke Jakarta mengikuti kakak-kakak saya melanjutkan pendidikan di Jakarta. Ibu dan nenek saya tetap di Karimun. Saya di Jakarta sampai menyelesaikan kuliah di Universitas Pancasila.

Bagimana awal ketertarikan Anda dengan bidang hukum?

Kenapa saya tertarik dunia hukum, saya sebenarnya dahulu bercita-cita menjadi dokter. Karena ibu saya sedang sakit-sakitan waktu itu. Niatnya pengin merawat ibu saya waktu itu. Tapi ternyata pas saya diterima di Universitas YARSI, kedokteran, ibu saya memberi nasihat takutnya tidak bisa membiayai sampai tuntas. Apalagi ada tetangga yang sampai 10 tahun belum lulus – lulus. Jadi saya disarankan kalau bisa mencari fakultas lain yang kuliahnya lebih cepat. Mendapat nasehat itu, saya sedih dan jadi nggak tertarik kuliah.

Sampai tahun depan, nggak tertarik kuliah. Sampai pada suatu hari Universitas Pancasila ada musik kampus di gelombang tiga pendaftaran.
Saya jalan-jalan saja ke kampus itu, tidak ada niat buat daftar. Saya menikmati musik kampusnya. Saya berpikir coba aja dulu daftar tanpa pertimbangan apa-apa. Saat itu ada Ekonomi, Farmasi, Teknik, dan Hukum. Kebetulan saya tidak suka dengan Ekonomi, Teknik, apalagi farmasi. Ya sudah saya masuk hukum.

Memilih jurusan kuliah tidak sesuai hati, bagaimana Anda menjalaninya?

Saya daftar . Tapi saya nggak mau tahu saya mau jadi apa saat itu. Saya ikuti saja proses alami. Tapi niat saya tahun depan saya harus kuliah di kedokteran, syukur masuk negeri atau dapat kerja buat biaya kuliah. 6 bulan pertama saya kuliah ogah-ogahan. Mana masuk pagi. Kebiasaan saya pakai celana jeans belel, rambut pendek. Duduk paling belakang. Dosen sampai hafal dengan kebiasaan saya yang sering terlambat. Tapi ketika ujian saya sungguh-sungguh.

Apa yang membuat Anda kemudian tertarik dengan dunia hukum?

6 bulan pertama itu kosong saya menjalani rutinitas tanpa tahu ke depan mau apa. Selalu yang membuat saya senang adalah lingkungan kampus, musik kampus dan teman-teman aktivis. Ada juga teman-teman di LBH, karena saya senang nongkrong di LBH.

Kemudian LBH tempat saya nongkrong pelan-pelan membuat wawasan saya terbuka, akhirnya saya bilang di dalam hati, ya saya akan menjadi advokat. Lama-lama saya menikmati dan lupa saya bercita-cita ingin kuliah di kedokteran. Akhirnya saya memilih saya akan menjadi advokat dan tidak bercabang lagi. Saya fokus. Saya tidak ingin apa-apa, saya ingin jadi pengacara yang punya penghasilan dan punya kantor sendiri. Setelah lulus kuliah, saya saya ikut Posbakum di Peradin dan kemudian saya bekerja dengan Amalia Santoso belajar corporate law selama satu tahun. Kemudian saya pindah ke Elza Syarif untuk menjadi pengacara yang bisa bertarung di pengadilan selama enam bulan.

Setelah itu, saya 1992 saya buka kantor sendiri dan kebetulan saya sudah jadi konsultan hukum di majalah Sarina sejak 1993 saya buka kantor sendiri. Jatuh bangun, dari mulai kantor bergabung dari kawan-kawan dari kampus. Di situ ada kantor percetakan, kontraktor di Keramat 4 sampai akhirnya saya bisa menyewa perkantoran di jalan Bungur tiga lantai dengan nama Ria Latifa dan Partner.

Saya juga suka berjuang dengan perkara-perkara yang tidak ada dananya, kaya membela aktivis. Alhamdulillah seperti jalan hidup, 1996 klien saya mulai banyak, kantor saya semakin baik. Asisten lawyer sampai 10.

Ditambah lagi saya dipinta Bu Tumbu mendampingi Bu Mega, pada saat itu pengacara banyak yang takut membantu PDI pro Mega karena takut kantornya tutup, nggak dapet klien. Akhirnya saya bismillah bantu, saya turun tangan bantu Bu Mega dengan menjadi Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI).

Menjadi pengacara tokoh politik, Anda pernah mendapat ancaman ?

Pada saat itu memang saya belum nikah. Saya seperti tidak takut apa-apa. Padahal banyak hal seram yang saya hadapi, seperti diteror dan berhadapan dengan petinggi Polda.

 

3 dari 3 halaman

Suka Main Gitar dan Bernyanyi

Eksklusif Dwi Ria Latifa, Pengacara yang Pandai Bermain Gitar dan Bernyanyi | Foto : Nurwahyunan, Digital Imaging: Muhammad Iqbal Nurfajri/Bintang.com)

Anda bisa main gitar dan bernyanyi, apakah dahulu sempat ada keinginan menjadi penyanyi?

Nggak, main gitar dan nyanyi itu hanya hobi, senang saja. Kalau jadi penyanyi, nggak cukup modal, nggak ada tampang. Pada prinsipnya saya suka sendirian, kata teman saya lebih introvert. Ketika sendiri saya lebih senang main gitar, menulis puisi. Kalau saya nyanyi yah pasa waktu itu saja.

Bakat main gitar dan bernyanyi, otodidak atau kursus?

Dari SMP saya sudah main gitar, otodidak, di Jakarta baru belajar dengan Kak Uli sigar, menyanyi ala kamar mandi belajar otodidak. Tapi jadi pengamen banyak manfaatnya di kampus. Saya bisa keliling berbagai kota di Indonesia dengan bakat saya dan sekarang kalau ada agenda disuruh bernyanyi jadi nggak canggung.

Anda juga gemar menulis puisi?

Hobi yang lain yah saya menulis puisi. Itu bagian hobi saya dari kecil, menulis cerpen, artikel untuk majalah remaja. Dari SD sudah menulis “Tina Cicanya Tanjung Balai di majalah kawanku. Tapi saya nggak niat jadi penulis, walau pernah dapat pendidikan pers antar kampus di UGM. Tapi ilmu menulis itu saya jadikan modal bikin pledoi.

Pencapaian apa lagi dari seorang Dwi Ria latifa?

Saya mengalir saja, seperti dahulu saya mau masuk kedokteran tapi malah masuk fakultas hukum dan ketika di fakultas hukum , saya bergaul dengan teman-teman LBH dan aktivis yang membuka wawasan saya. Tapi meski mengalir, ketika saya menemukan jalan, saya akan fokus. Sama seperti juga saat di DPR. saya mengalir. Saya nggak pernah bermimpi menggantikan putri perolamator untuk jadi anggota DPR . Bagi saya ketika mendapat amanah, harus focus dan all out.