Fimela.com, Jakarta Akting merupakan hal yang juga bisa menjadi dunia bagi seseorang. Untuk melakukannya, tak hanya membutuhkan sebuah talenta yang besar. Namun hati yang tertambat hingga kemauan yang tinggi pun menjadi hal yang penting untuk dimiliki. Seperti halnya Putri Ayudya.
Mendengar namanya, mungkin kamu akan mengingatnya sebagai salah satu peserta Puteri Indonesia di tahun 2011. Meraih gelar Puteri Intelegensia merupakan sebuah kebanggaan tersendiri bagi wanita kelahiran 22 Mei 1988 ini. Tak hanya cerdas, Putri pun sudah menambatkan hatinya di dunia teater semenjak di bangku SMP.
Meski pada awalnya keinginan tersebut hanya sebuah keinginan, namun nampaknya takdir berkata lain. Alam seakan menjerumuskannya ke dalam dunia seni peran dengan cara yang sangat tidak terduga. Bagaimana tidak, Putri sudah berhasil mendirikan sebuah ekstra kulikuler teater saat ia masih berada di bangku SMP. Berkat bantuan kakak kelas dan guru-gurunya, teater yang ia dirikan pun masih eksis hingga kini.
Mendalami dunia teater, ternyata Putri pun mengalami hal yang serupa pada saat kuliah di Universitas Indonesia. Ia bersama dengan teman-teman jurusan Psikologinya pun mendirikan Teater Psikologi. Putri pun mengaku bahwa idenya pun muncul begitu saja. Pada awalnya ia hanya bertanya pada kenapa tidak ada kegiatan teater di jurusannya tersebut.
Sempat ditentang orangtua ternyata tidak membuat semangat Puteri Ayudya terhadap dunia akting luntur begitu saja. Perempuan berambut panjang ini miliki caranya sendiri untuk meluluhkan hati orangtuanya secara perlahan-lahan. Ia mengerti benar bahwa ia miliki passion di dunia seni dan ingin terus hidup di dalamnya.
Mencintai memang terkadang butuh perjuangan dan juga usaha yang harus dilakukan secara konstan. Begitu pula yang dilakukan seorang Puteri Ayudya untuk membuktikan rasa cintanya terhadap dunia seni peran kepada orangtuanya. Baginya, semua itu adalah cara berproses dalam hidup.
Tidak hanya aktif di teater, kini Putri Ayudya pun sudah merambah dunia layar lebar. Tentunya, banyak sekali perbedaan yang ia rasakan dalam menjalani kedua hal tersebut. Meski sama-sama mengedepankan seni peran, namun Putri tahu dengan sangat bermain di atas panggung dan di depan kamera miliki 'rasa'nya masing-masing.
Kendati demikian, rasa Putri Ayudya punya rasa cinta yang berbeda kepada dunia perfilman dan juga teater. Hal tersebut ia ungkapkan dalam sebuah sesi wawancara kepada Bintang.com. Simak hasil wawancara eksklusif Putri Ayudya dengan Floria Zulvi dan fotografer Deki Prayoga di Gedung KMK Online, Bintang.com, Menteng, Jakarta Pusat ini.
What's On Fimela
powered by
Meraih Restu Orangtua
Meraih restu orangtua untuk untuk mendukung Putri Ayudya di dunia akting bukanlah hal yang mudah. Baginya, semua tersebut harus dilakukan secara perlahan. Setiap hal ia biarkan berproses dengan natural. Saat ini, ia pun merasa bahagia karena perlahan-lahan sang ibu sudah bisa menerima hal yang ia cintai selama ini.
Bagaimana sih cara Putri Ayudya mencintai peran?
Aku merasa dalam teater kelekatan kita dalam peran itu diperlukan. Kita merasa kita menjadi peran segala macem. Nggak tahu sih aku baca-baca gitu, jadi setiap orang cara pendekatan aktingnya memang beda. Ada yang kita harus menyatu dengan peran dan ada yang harus berjarak dengan peran.
Kalau Putri sendiri tipe yang mana?
Kebetulan yang aku pelajari itu yang menjadi. Ketika kamu menjadi peran, otomatis ada yang kebawa keseharian. Kalau perannya lagi bagus sih oke. kalau lagi PR ya PR banget. Kayak sekarang aku lagi dapet peran yang broken English. Kebetulan aku punya teman orang bule juga. Sambil ngobrol sama dia, aku tiba-tiba kehilangan kata dalam bahasa Inggris atau kebalik-balik gitu susunannya.
Terus reaksi dia gimana setelah ngobrol tapi Putri jadi 'aneh'?
Temanku sampai protes saat itu. Dia bilang "Put, seriously? Your English is getting worse!". Hal itu karena si tokoh ini pun nggak bisa ngomong "broken" dengan benar. Ia akan melafalkannya dengan versi yang sangat Indonesia. Definitely broken lah.
Gimana rasanya belajar untuk menjadi karakter itu?
Ternyata aku bisa ambil sesuatu dari sini. Ternyata bukan hanya menjadi lebih yang sulit, belajar menjadi kurang juga ternyata susah gitu. Dan membuat kekurangan itu wajar. Dan itu menyenangkan. Aku suka banget prosesnya. Dapat peran yang nggak aku sangka akan aku mainkan.
Efek ke pergaulan gimana?
Untungnya teman bule aku nggak segitu banyaknya juga. Untungnya aku berteman sama orang-orang yang bisa memahami bahwa aku sedang terlibat dalam project itu. Yang sulit justru menjelaskan ke orangtua. Karena sebenarnya aku masih merasa bahwa dunia seni peran ini tidak masuk akal bagi mereka.
Lho, kenapa?
Nggak tau sih. Aku sih biasa ngelihatnya "kamu jadi seniman mau ngapain?" gitu, hahaha.. Biasalah gitu kan. Terus ya, masih ngerasa kayaknya ada pekerjaan yang lebih 'waras'. Mereka suka bilang "buat apa kamu teater kayak orang gila teriak-teriak" aku pun selalu menjelaskan. Meski masih sulit. Tapi sekarang sudah lebih mendingan gitu. Mereka sudah mau datang di premiere. Aku pentas mereka mau nonton. itu perkembangan yang bagus banget.
Memangnya dulu menentang kah?
Ya menentang sih ada. Tapi aku suka akan drown into the world. Memang ada nggak bagusnya juga sih. Karena itu aku harus bisa membatasi bahwa apa yang aku lakukan ini masih dalam koridornya. Maksudnya menghasilkan sesuatu yang bermanfaat. Bukan semata-mata cuma buat peluapan emosi doang atau hiburan sendiri. Aku harus melakukan ini untuk tujuan yang baik.
Ideologi seorang Putri dalam seni peran apa sih?
Ketika aku berperan sebagai seseorang yang dumb, atau sesuatu yang negatif gitu, aku selalu nanya. Apa pesannya? Apa yang bisa disampaikan? Apakah memang perlu menjadi peran itu untuk menyampaikan pesan tersebut? Gitu sih yang harus ditanyain. Nah orangtuaku masih suka kepingin aku menjadi anggun karena ya namanya juga anak perempuan ya kan?
Lalu pas jadi Puteri Indonesia dan bermain film ada yang berbeda dari orangtua?
Orangtuaku seneng banget waktu aku di Puteri Indonesia kan. Anaknya dandan gitu, ih cantik gitu. Senang. Sekarang pun nggak dikomentarin gitu. Biasanya kan suka ditanya "kamu nggak dandan?" Tapi akhir-akhir ini kan harus promo, jadi mau nggak mau ya harus belajar dandan, harus bisa dandan sendiri.
Hati yang Mendua Antara Teater dan Film
Meski sama-sama berada dalam ranah seni peran, namun teater dan film adalah dua hal yang berbeda. Sebagai salah satu orang yang tercemplung ke dalam dua dunia tersebut, Putri Ayudya bisa merasakan perbedaannya. Hatinya pun mendua antara teater dan juga film.
Bagaimana sih seni peran di teater dan film?
Peran itu cepat sekali kita berubahnya dari satu peran ke peran lain gitu. It's a snap. Benar-benar ada antara rentang action dan cut. Bagus memang betul untuk bekerja. Aku pribadi karena berangkat dari suka sama akting, jadi menurutku peran yang bisa kita nikmatin dan kita bisa take some time tiba-tiba nggak bisa aja gitu.
Kalau di teater?
Kalau di teater itu, saat di atas panggung kita nggak ngelihat apa-apa. Kan lampu menyorot tuh. Ya saking terangnya kita malah nggak lihat apa-apa. Yang ada hanya kegelapan. Akan ada momen yang sangat keren sih buat aku. Ada momen di saat kita main dan menjadi peran, dan kita ada jarak dengan peran, itu tuh seolah-olah aku suka merasa peran itu bukan topeng yang ditaruh di depan muka kita, tapi peran itu adalah sesuatu yang ngebisikin kita dari belakang. Aku merasa peran itu akan jalan dari belakang dan dia akan mendekat dan kalau dia sudah menyatu dengan kita, sebelumnya dia akan ngasih tahu apa yang harus kita lakukan. Dan dia akan ngebisikin apa yang akan kita lakukan. Itu alasannya kenapa walau perannya udah dikasih ke kita, kita masih ngeliatnya bukan peran.
Apa hal itu sering terjadi pada diri Putri Ayudya?
Hl itu cuma akan terjadi sepersekian detik. Paling lama satu sampai dua detik. Dan kalau udah ngerasain itu, waahh itu udah enak banget deh. Rasanya kayak sebuah pencapaian gitu. Itu momen langka sekali! Aku pribadi merasa kangen sama rasa kayak gitu. Aku ngerasa ada hal lain yang orang lain tau kalau itu bukan kamu.
Saat main film pernah merasa begitu nggak?
Aku belum pernah. Baru di teater aku kayak gitu. Tapi yang aku senang, karena banyak yang bilang kalau main di film itu adalah satu hal yang disesalinya belakangan. Kan memang harus mengalami proses editing segala macam baru tayang. Dan baru tayang baru sadar, waaah kenapa gitu, ya?
Pertama kali terjun di dunia film gimana sih?
Dulu aku terjun di dunia film itu kena hunting. Jadi bukan karena casting. Aku orangnya pasrah banget. Malah pas aku mencoba untuk casting, aku nggak pernah berhasil. Jadi sebaiknya aku menunggu orang lain ngasih aku. Dulu kan awalnya aku FTV yang Pesan dari Samudera. Itu juga aku ditelpon. Terus aku sampai telpon lagi orang yang nawarin aku. Aku sampai nanya "Mba ini bener yang dicari saya? Putri saya?". Pas lagi ditelpon aku pun lagi berproses dengan teater dan lagi mendalami peran.
Kalau di teater gimana?
Kayaknya aku pernah cobain semua deh di teater. Dulu tuh aku awal dateng dari mulai bikinin kopi orang. Anak baru kan, bersihin tempat latihan pulang belakangan beresin dulu. Bikinin kopi juga, terus pijit. Ihh itu senior-senior. Baik-baik sih mereka tuh.
Serius dari bikinin kopi?
Aku tuh berpikir, kita tuh bukan dijadiin babu. Bukan. Tapi kita tahu tempat yang kita injak adalah tempat yang harus kita rawat. Tempat kita berproses empat dimana kita bernapas dan tempat di mana kita sangat terbuka dengan satu sama lain. Dan menurutku tempat itu kan, ya, home is where your heart is, right? Jadi ya harus diurus dong. Sebenernya aku mau teater dari SMP. Tapi nggak serius itu. Tapi ada jalannya lah yang ke sesuatu yang serius. Tiba-tiba di SMP ada kakak kelas gitu yang ngajakin, nyari guru segala macem, jadi deh teaternya.
Kalau sekarang lebih nyaman yang mana?
Saat ini? Karena aku lebih lama berproses di teater, aku lebih nyaman di teater. Tapi kalau prihal nyamannya ya. Tapi satu hal yang aku sadari bukan teater atau film sih. Yang aku cintai bukan teaternya, yang aku cintai itu seni perannya. Karena menurut aku, setiap orang kalau gagal berperan, akan gagal di manapun.