Fimela.com, Jakarta Sangat Morrissey. Sekiranya itulah kesan selepas senandung Meat is Murder selesai berkumandang, Rabu (12/10). Akhirnya saya, yang tak jadi anggota gelombang pertama di tahun 2012, bisa menghirup atmosfer euforia ketika lelaki asal Britania itu melagukan aksara-aksara familiar.
Tidak, saya sama sekali tak ingin mengeluh soal akhir konser yang disebut kentang oleh beberapa orang. Saya malah tak berekspektasi, kecewa dan (jujur saja) menghargai bagaimanapun pertemuan dengan pemilik nama lengkap Steven Patrick Morrissey tersebut, lantaran ia mengajarkan saya demikian.
Bukan secara langsung tentu saja. Lagi-lagi, papa yang jadi jembatan perkenalan dengan mantan pentolan The Smiths itu. Ketika lagu The Beatles mudah dicerna, tembang band tahun 80-an ini sepertinya ingin lebih banyak menghabiskan waktu dengan telinga dan pikiran saya.
Saya ingat pernah memikirkan panjang-panjang makna lagu Asleep di tengah malam liburan saat duduk di bangku sekolah menengah pertama. Syahdu, mengayu, namun menimbulkan tanya. Benarkah ada orang di dunia nyata, seperti benar-benar dunia nyata, yang mendamba 'keadaan' itu?
'Sing me to sleep. Sing me to sleep. I don't want to wake up on my own anymore' merupakan bagian yang menohok sekaligus membuat saya mengenali diri lebih baik. Ketika sebagian orang mungkin mengenal Morrissey dahulu, lalu The Smiths, saya berada di tim satu lagi.
Karenanya, saya tak merasakan perbedaan aura Morrissey (dari hasil streaming dan mendengar lagu) ketika bersama atau tanpa The Smiths. Biarlah saya jadi kebanyakan orang yang kemudian hanya memandang The Smiths dari satu sosok. Lagi pula, bagaimana caranya melewatkan Morrissey?
Eksentrik, baik di panggung atau tidak, Morrissey dikenal dengan senandung yang sarat sarkasme, kritik tajam, serta bernuansa patah arang. Ketika mungkin banyak orang yang enggan mendengar 'kata-kata depresi', saya malah berpikir perlu untuk mendengar Morrissey dengan lebih seksama.
What's On Fimela
powered by
Mawas Diri karena Senandung Patah Arang
Adalah benar saya merupakan orang yang bisa mempersepsikan masalah dari apa yang saya dengar, terlebih jika dalam kadar konstan, seperti lagu. Jadi, bukankah kurang bijak jika membiarkan suntikan kata-kata 'negatif' yang malah dengan tekun mengalir ke dalam telinga dan pikiran?
Dengan sangat sadar dan tegas, saya bisa mengatakan tidak. Lirik gloomy Morrissey malah membuat saya mawas diri, namun bukan dengan proses instan. Saya harus mendengar dan memahami sambil menikmati merdu suara pelantun I'm Throwing My Arms Around Paris tersebut.
Bagi saya, lagu-lagu Morrissey sangat jujur, tanpa basa basi dan merepresentasi kalau tak ada yang lebih mengenalnya, selain diri sendiri. Sekali lagi saya ulangi, ia jadi orang yang paling mengenali diri sendiri. Selama hidup yang sudah 22 tahun ini, saya jarang menemukan pribadi yang mengenal diri sendiri (saya juga belum).
Bagaimana ia merasa tak memiliki rumah untuk pulang di There is A Light That Never Goes Out, jatuh cinta di lagu You're the One for Me, Fatty, 'berteriak' kalau ia normal seperti manusia lain lewat How Soon is Now?, memberi indikator menyayangi orang lain di First of the Gang to Die dan memberi 'garis' kedewasaan pada That's How People Grow Up.
Masih banyak sebenarnya, tapi tentu karakter di tulisan ini tak akan memadai jika saya sebutkan satu per satu. Secara keseluruhan, 'balada' khas Morrissey memberi saya pekerjaan rumah apakah telah menyayangi orang lain dengan seharusnya, berdiri ketika hidup sedang payah-payahnya dan yang paling penting, tak menaruh ekspektasi.
Entah telah melakukan secara keseluruhan tentang apa yang saya dipahami dari Morrissey atau belum, setidaknya pemikiran-pemikiran macam itu kerasan bertengger di pikiran. Tapi, ada juga saat di mana saya tak mufakat dengan gagasan lelaki kelahiran 22 Mei 1959 tersebut. Terdapat waktu-waktu saya membantah tanpa ba-bi-bu.
Setelah panjang-lebar menjabar, tentu saja saya tak bisa memaksakan persepsi ini kepada satu manusia pun. Karena pada dasarnya, penarikan kesimpulan dari isi pernyataan yang diperoleh setiap orang tentu berbeda. Namun mengapa juga tak coba 'berdialog' dengan lagu-lagu Morrissey?
Asnida Riani
Editor Kanal Style Bintang.com