Fimela.com, Jakarta Dunia pengobatan sudah ada sejak zaman bercocok tanam. Namun seiring berjalannya waktu, metode pengobatan bergerak ke arah yang lebih modern. Termasuk dengan alat dan bagaimana orang yang mengobati melihat pasien dan penyakit yang dideritanya.
Sekarang ini, sebagian besar orang cenderung pergi ke dokter untuk menangani keluhan kesehatannya. Kemudian menelan sejumlah tablet dan obat cair yang berbahan kimia. Tapi mau bagaimana lagi? Hampir semua orang menyukai obat dokter ketimbang obat herbal dan pengobatan alternatif.
Pasalnya, obat dokter atau yang berbahan kimia itu memiliki kecepatan yang luar biasa dalam menghilangkan rasa sakit. Tapi sayangnya, orang yang mengonsumsi obat berbahan kimia akan sakit kembali di masa depan. Mungkin bukan penyakit yang sama. Tapi justru lebih parah lagi kalau timbul penyakit lain, dengan tingkat keparahan yang lebih tinggi.
Lantas obat herbal dan juga pengobatan alternatif menjadi pilihan. Selain (kadang kala) lebih terjangkau, orang kini cenderung memilih untuk berusaha mengobati penyakit, bukan hanya menghilangkan rasa sakit. Tapi sayangnya, tidak sedikit orang yang ingin rasa sakitnya dihilangkan secepat kilat. Mungkin ini menjadi salah satu alasan kenapa banyak orang yang dikit-dikit ke dokter dan minum obat.
Saya, yang punya lumayan banyak masalah kesehatan sejak baru lahir, kadang bingung harus memilih obat dari dokter atau memilih pengobatan alternatif. Jadi lantas saya mencoba untuk mencari tahu lewat paman Google.
Saya kemudian menemukan sebuah penelitian yang dilakukan Christy Leigh Pruett University of Tennessee - Knoxville, tahun 2002, dengan judul Alternative Medicine: The Good, the Bad, and the Ugly. Dalam penelitian tersebut, disebutkan pengobatan alternatif itu berpusat pada si pasien, buat penyakitnya.
Artinya, harus ada partisipasi dari pasien tersebut dalam proses penyembuhan. Kalau dokter, hanya mereka yang mendiagnosa penyakit dan memberikan obat kepada pasien. Sementara pengobatan alternatif yang baik, mengikutsertakan pasiennya dalam memilih penanganan yang cocok buat mereka. Nah, dalam pengobatan alternatif ini juga, mereka menggunakan pendekatan individu.
What's On Fimela
powered by
Beda Pengobatan Alternatif dan Konvensional
Jelas sudah bagi saya, bahwa pengobatan alternatif itu perkara cocok atau tidak cocok. Karena, setiap orang punya tingkat kesehatan dan kondisi yang berbeda-berbeda. Karena itu, obat A yang cocok untuk mereka, belum tentu cocok buat saya.
Saya pada saat itu teringat dengan bagaimana proses pengeluaran racun dari dalam tubuh menggunakan diet buah dan sayur bekerja. Ibu saya, hanya mengalami pusing-pusing selama satu minggu usai melakukan detoxifying. Sementara saya bukan hanya pusing, tapi juga menjadi demam selama minggu penuh.
Dalam penelitian yang sama juga disebutkan, kebanyakan metode pengobatan konvensional hanya mengidentifikasi gejala, memeriksanya di referensi medis, dan kemudian melakukan standardisasi kepada pasien. Memang tidak semua, tapi kebanyakan dokter hanya akan memberikan obat untuk menghilangkan gejala. Bukan mencari akar dari permasalahan.
Sementara pengobatan alternatif mencari dulu di mana penyebab dari timbulnya sebuah penyakit. Dan kemudian baru mengobati penyakit yang jadi penyebab sang pasien mengeluh. Penelitian ini mungkin hanya satu. Tapi cukup buat saya untuk memahami satu hal. Obat dokter atau pengobatan alternatif keduanya dibutuhkan dalam hidup.
Karena, obat yang digunakan pada pengobatan alternatif cenderung membutuhkan proses penyembuhan yang lama. Ini dikarenakan, tulis Christy dalam laporan penelitiannya, obat pengobatan alternatif menyembuhkan hingga ke akar secara perlahan-lahan.
Sementara, obat yang terbuat dari bahan kimia lebih cepat memulihkan rasa sakit dan keluhan. Sayangnya, jika dikonsumsi terlalu sering, tubuh akan menjadi resistan terhadap obat itu. Alias udah gak mempan. Akhirnya, karena kamu ingin sembuh, kamu tambah dosis obatnya hingga berkali-kali lipat. Meskipun belum sampai over dosis, tapi kamu sama saja menyakiti dirimu sendiri dengan memasukkan bahan kimia ke dalam tubuh.
Saya bukan dokter. Tapi sebagai pasien dengan gangguan gastrik dan juga pencernaan selama 24 tahun, saya akhirnya mengerti kapan harus menggunakan obat dokter berbahan kimia. Saya hanya akan menelan pil dari dokter ketika tubuh saya tak lagi kuasa menahan sakit. Kedua, ketika saya harus bekerja dan terpaksa harus pulih dalam hitungan jam.
Tapi, ketika saya tidak punya pekerjaan yang urgent, saya lebih memilih obat herbal dan juga jamu. Meskipun begitu, bukan berarti obat dari dokter itu tidak baik dan sama sekali tidak berguna. Kedua pengobatan ini seharusnya bisa saling melengkapi dalam upaya penyembuhan penyakit.
Karla Farhana
Editor Feed, Bintang.com