Editor Says: Menghadapi Bahaya Zona Nyaman

Floria Zulvi diperbarui 16 Okt 2016, 13:42 WIB

Fimela.com, Jakarta Merasa nyaman dengan keadaan merupakan sesuatu yang baik. Hal tersebut bisa menjadi tanda bahwa kamu menikmati kehidupan. Miliki teman yang mengerti, keluarga yang selalu ada, hingga lingkungan pekerjaan yang sanggup menenangkan hati memang menyenangkan. Namun terkadang, zona nyaman bisa menjadi paling berbahaya.

***

Tidak bisa dipungkiri, bahwa dalam kehidupan kita mencari hal yang membuat diri nyaman. "Ngapain hidup kalau yang dicari malah kesusahan?" Pertanyaan retoris seperti itu memang sering sekali terdengar. Memang ada betulnya, hidup ini sudah susah, kenapa harus kembali dipersulit?

Saya menyadari benar bahwa selama ini berada di zona nyaman sangat menggoda. Namun di satu sisi, saya juga berpikir bahwa keinginan diri saya untuk berkembang menjadi lebih sedikit. Rasanya sayang untuk melepaskan hal-hal baik yang sudah melekat di dalam diri.

Miliki teman yang setia dan selalu ada untuk kamu memang hal yang mengasyikkan. Apalagi ketika mereka bukan tipe yang hanya ada ketika butuh saja. Secara tidak langsung, mereka akan atau sudah masuk dalam pertimbangan kamu dalam membuat sebuah keputusan.

Misalnya ketika kamu ingin mencoba bertaruh nasib ke kota lain, kamu harus merelakan ketidakhadiran mereka dalam keseharian. Atau di saat kamu akan lulus kuliah, jalur hidup yang bercabang antara kamu dan sahabat terbentang di depan mata. Berat rasanya meninggalkan hal yang sudah membuat nyaman untuk sesuatu yang baru dan belum bisa dibilang worth it atau tidak.

Kendati demikian, hal tersebut merupakan sebuah fase dalam kehidupan. Manusia akan terus dirundung rasa takut ketika menemukan hal yang baru. Akan selalu ada ketidaksiapan dalam setiap garis start di fase kehidupan. Saya sendiri terkadang merasa ragu untuk terus melangkah, atau diam saja dengan kenyamanan yang ada.

Ya, seperti yang sudah saya biolang sebelumnya, keinginan saya untuk berkembang jadi lebih sedikit. Bukan karena malas. Namun saya terlalu takut untuk memulai yang baru. Terlalu takut untuk mengenal ketidaktahuan.

What's On Fimela
2 dari 2 halaman

Ekspektasi Bisa Membunuh

Beberapa hari yang lalu saya melakukan sebuah pembicaraan dengan seorang teman. Ia mengatakan bahwa pada dasarnya ketika manusia sudah mengenal kecewa, ia akan merasa takut untuk memulai segala sesuatunya kembali dari awal.

Saya pun merenungkan apa yang dia katakan. Ya, hal tersebut mungkin saja terjadi. Banyak orang yang suah tidak ingin dikecewakan lagi. Mungkin kamu salah satunya. Karena itu, banyak orang yang memilih untuk tetap tinggal di zona nyaman.

Namun setelah saya pikirkan berkali-kali, ada cara lain yang bisa dilakukan selain menyalahkan rasa takut, yakni tidak berekspektasi. Saya mengakui bahwa ekspektasi benar-benar 'membunuh' hati manusia. Semua orang bisa dirundung kekecewaan yang mendalam ketika ekspektasinya meleset meski hanya sekian derajat saja.

Tidak harus selalu dilakukan. Namun ada baiknya ketika kamu tidak menggantungkan harapan yang terlalu tinggi kepada sesuatu. Biasakalah untuk membuat rencana B, jadi kamu tidak akan merasa terlalu kecewa ketika rencana awalmu gagal.

Hingga kini, saya masih berpikir bahwa manusia adalah sumber kekecewaan. Mereka adalah makhluk yang sangat kompleks. Cara berpikir mereka bisa berubah hanya dalam beberapa detik. Karena itu, saya berusaha untuk tidak berharap pada manusia.

Meski demikian, hal tersebut masih saya lakukan lagi dan lagi. Apalagi ketika berhubungan dengan orang yang disayangi. Rasanya sulit untuk menahan ekspektasi-ekspektasi yang secara tidak sengaja saya ciptakan sendiri.

Tapi saya memahami, ketika saya memberikan harapan saya kepada seseorang, sebaiknya harus diiringi dengan usaha dan komunikasi yang baik. Ketika menginginkan waktu lebih bersama dengan kekasih, misalnya. Kamu harus melakukan kompromi sebelum berekspektasi lebih jauh. Ya, pasanganmu akan mengerti ketika komunikasi berjalan dengan baik. Jadi, jangan sampai kamu berekspektasi tinggi, tapi tidak melakukan usaha apapun, ya!