Eksklusif Sha Ine Febriyanti, Gemilang di Panggung Teater dan FFB

Regina Novanda diperbarui 11 Okt 2016, 07:56 WIB

Fimela.com, Jakarta Sha Ine Febriyanti bukanlah nama baru di industri seni peran Indonesia. Mengawali karier dari modeling, perempuan kelahiran Semarang, 18 Februari 1976 ini tercatat telah tampil di sejumlah judul film layar lebar, serial televisi dan panggung teater.

Ya, Ine merupakan satu dari segelintir seniman Tanah Air yang cukup vokal menunjukkan kecintaannya terhadap panggung teater. Ibu dari tiga anak itu pertama kali terjun di dunia teater yaitu pada tahun 1999 silam. Di situ, Ine tergabung dalam lakon drama Miss Julie karya dramawan Swedia, Johan August Strindberg, yang dimainkan bersama Teater Lembaga Institut Kesenian Jakarta (IKJ) di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, Jakarta.

Hari demi hari, kecintaan Ine terhadap panggung teater rupanya semakin besar. Hingga akhirnya, penampilannya sebagai Miss Kejora dalam Opera Primadona sukses memikat seorang pejabat Japan Foundation. Ine pun diajak untuk ikut ambil bagian dalam pementasan kolaborasi teater di Jepang bertajuk The Whale on The South Sea, yang di mana dipentaskan 23 kali di Tokyo dan 4 kali di Okinawa.

Tak lama setelah sukses memukau Negeri Sakura, Ine memutuskan menikah dengan seorang sinematografer bernama Yudhi Datau pada 2003. Setelah itu, nama putri pasangan Arwoko dan Inge ini seakan menghilang dari jagat hiburan. Ine memang memilih untuk fokus sementara waktu mengurus ketiga buah hatinya.

Pada 2010, Ine mendadak muncul di panggung teater monolog membawakan naskah Surti dan Tiga Sawunggaling karya Goenawan Mohamad; serta menyutradarai film pertamanya, 'Tuhan' Pada Jam 10 Malam. Semenjak itu, dirinya pun semakin sering tampil lagi berkontribusi untuk perfilman Indonesia.

Salah satu cara Ine untuk mengedukasi masyarakat lewat film adalah mengadakan kerjasama dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), untuk memproduksi sebuah film omnibus bertajuk Kita vs Korupsi. Ine sendiri kebagian untuk menggarap film pendek Selamat Siang, Risa!, dengan menggaet aktor tampan Tora Sudiro sebagai pemainnya.

Karier gemilang Ine di panggung teater nyatanya memang berjalan cukup seimbang dengan film dan serial televisi. Di layar lebar, Ine tercatat telah terlibat sebagai pemain di lima judul fim komersil, salah satunya NAY yang sukses mengantarkannya sebagai pemenang Pemeran Utama Wanita Terpuji Festival Film Bandung 2016.

Film NAY yang dibintangi Ine ini memiliki konsep cerita yang terbilang cukup unik. Hanya ada Ine seorang diri yang 'mengendalikan' 80 menit durasi film. Ditangani oleh Djenar Maesa Ayu, membuat Ine tak sama sekali ragu untuk mengambil tawaran main.

Seperti apa cerita Sha Ine Febriyanti tentang panggung teater dan film? Simak hasil wawancara Regina Novanda bersama Sha Ine Febriyanti yang berkunjung ke kantor redaksi Bintang.com di kawasan Gondangdia, Jakarta Pusat, Kamis (29/9/2016).

What's On Fimela
2 dari 3 halaman

Makna Penghargaan dan Eksistensi

Sha Ine Febriyanti memaknai penghargaan sebagai bonus dari proses dan kesungguhan tapi tidak boleh menjadi tujuan akhir. (Fotografer: Deki Prayoga, Stylist: Indah Wulansari, Wardrobe: @shoppicnic, Make Up: Ida Kurniati, Digital Imaging: Muhammad Iqbal Nurfajri/Bintang.com)

Sha Ine Febriyanti berhasil menyabet gelar Pemeran Utama Wanita di Terpuji Festival Film Bandung (FFB) 2016, bersama dengan Chelsea Islan yang juga dinobatkan di kategori yang sama. Ini merupakan kali pertama bagi Ine dinobatkan menjadi yang Terbaik di ajang bergengsi perfilman Indonesia tersebut.  

Bisa diceritakan bagaimana perasaannya dinobatkan sebagai Pemeran Wanita Terpuji FFB 2016?

Tentu saja saya senang. Siapapun pasti senang mendapatkan penghargaan.

Bagi Ine, seberapa penting arti penghargaan itu sendiri?

Bagi saya, penghargaan adalah bonus dari proses dan kesungguhan tapi tidak boleh menjadi tujuan akhir. Banyak pekerja seni yang terus berproses tanpa pengakuan, hidup dalam semangat kekaryaan yang patut juga diberi penghargaan. Saya kira berkarya sebaik yang kita mampu, adalah penghargaan itu sendiri. Memenangkan sebuah penghargaan bisa jadi pemacu semangat berkarya, tapi juga bisa jadi sebaliknya.

Penghargaan adalah pengakuan akan eksistensi, apakah Ine setuju dengan hal itu?

Bisa juga dikatakan begitu. Ajang penghargaan sangat bergantung pada kompetensi sejumlah dewan juri. Dan penilaian bisa bersifat relatif. Saya kira pengakuan eksistensi tidak harus dilihat dari seberapa banyak penghargaan yang didapat. Namun seberapa besar dedikasi dan konsistensi, dan pengaruh karyanya bagi orang banyak.

Film NAY adalah comeback Ine di dunia akting, bisa diceritakan apa yang membuat Ine tertarik saat mengambil tawaran main di film ini?

Sebetulnya, saya tetap berada di dunia akting selama ini. Hanya karena medianya panggung dan teater, seolah saya berhenti dari dunia seni. Sejak Beth tahun 2000, saya memang tidak lagi terjun di layar kaca. Lebih banyak pentas untuk teater yang sangat terbatas audience-nya. Saya memang pemilih. Sampai tahun 2015 Djenar Maesa Ayu menawarkan saya satu konsep film yang tidak biasa. Sebelum Nay, Djenar menulis reportoar monolog NAYLA yang saya perankan di panggung. Rupanya setelah itu Djenar punya ide membuat film dengan pemain hanya seorang. Saya terima ini, karena saya yakin Djenar selalu membuat film dengan kualitas dan kesungguhan, apalagi konsepnya unik. Selama 80 menit, film NAY hanya menampilkan sosok NAY dalam mobil.

Apa tantangan dalam bermain dalam film NAY?

Tentu saja tantangan besar adalah alasan utama saya menerima NAY. NAY karakter yang tak biasa. Kontroversi, dan membutuhkan gradasi emosi beragam yang keras dan tak mudah. Saya yang terbiasa bermain di panggung dengan proyeksi besar, merasa harus beradaptasi dengan frame yang terbatas, subtil dan sempit. Djenar memberikan saya ruang yang begitu besar dalam Nay.

Setelah NAY, sudahkah ada project film lainnya?

Ada beberapa, tapi kebanyakan film indie. Saya sedang mempersiapkan sebuah film panjang, yang saya garap dan sutradarai. Sedang mencari investor gila yang mau mendanai film saya. Hehehe.

Bisa ceritakan awal mula jatuh cinta pada akting? 

Saya tidak tahu pasti kapan. Bahkan saya merasa, saya ini nggak berbakat berakting. Mungkin karena saya merasa nggak berbakat, maka dulu saya merasa harus belajar dan sungguh-sungguh. Oleh karenanya saya berteater.

Seberapa penting akting dalam hidup Ine?

Mungkin bukan aktingnya yang penting. Tapi bagaimana jalan yang menjadi pilihan ini, bisa jadi sumber inspirasi bagi karya lainnya.

Adakah orang yang paling berjasa dalam karier akting seorang Sha Ine Febriyanti?

Semua yang pernah memberikan saya kesempatan adalah orang-orang berjasa. Semua guru, kawan, dan orang baik maupun yang pernah menyakiti saya, adalah orang-orang berjasa dalam memberikan kekayaan batin.

3 dari 3 halaman

Teater yang mendarah daging

Sha Ine Febriyanti memiliki karier yang gemilang di panggung teater terlihat dari keikutsertaannya dalam pentas berskala internasional. (Fotografer: Deki Prayoga, Stylist: Indah Wulansari, Wardrobe: @shoppicnic, Make Up: Ida Kurniati, Digital Imaging: Muhammad Iqbal Nurfajri/Bintang.com)

Bagi Sha Ine Febriyanti, teater sudah teramat mendarah daging. Dirinya telah mendapat banyak pengalaman berharga dari keterlibatannya di panggung teater. Bahkan, Ine pernah bekerjasama dengan sineas asing lantaran kepiawaiannya membawakan lakon di atas pentas teater. 

Bisa ceritakan, perbedaan paling mendasar apa yang dirasakan Ine saat berakting di depan kamera dengan panggung teater? 

Panggung dan film memiliki proyeksi yang berbeda. Kalau panggung kita harus berhadapan dengan ruang dan penonton secara langsung. Film terbatas. Ada frame, kamera, dan jauh lebih subtil daripada panggung.

Bagaimana kondisi dunia teater di Indonesia dari kacamata seorang Sha Ine Febriyanti?

Barangkali di Indonesia, pun di belahan dunia lain, teater adalah pilihan terakhir bagi penonton yang mencari hiburan. Bahkan teater kadang dianggap sebagai proyek tak masuk akal. Berbulan-bulan latihan, pentas hanya sekali dua kali, dengan penonton yang terbatas. Belum lagi para aktor dan pekerja teater bekerja militan tanpa honor yang pasti, bahkan sering nombok. Itulah wajah teater kita. Namun semakin hari, teater semakin bisa merambah dunia industri. Pekerja teater, meski belum bisa menyamai kesejahteraan pekerja film, sudah mulai dihargai. Apalagi kini, kesadaran bahwa teater adalah satu proses pembelajaran yang penting, di banyak sekolah negeri sampai internasional, eskul teater sudah menjadi satu menu wajib. Barangkali pada generasi saya, teater seperti barang aneh yang dianggap suram tanpa masa depan. Kini, pandangan ini perlahan bergeser, dan teater mendapat tempat yang lebih baik di masyarakat.

Tak hanya pemeran, Ine juga dikenal sebagai penulis skenario dan sutradara. Apa yang sebetulnya membuat Ine tertarik terjun di balik layar? 

Dari dulu sebenarnya saya lebih senang berada di balik layar. Meskipun lebih banyak mengambil kesempatan berperan sebagai aktris, dari pelajaran keaktoran saya belajar penyutradaraan dan penulisan skenario untuk film saya sendiri, dibantu seorang penulis profesional.

Seperti apa keberadaan film dan teater untuk Ine? 

Seorang guru besar seni pernah berkata, indikasi majunya sebuah negara dilihat dari seberapa baik masyarakatnya mampu mengapresiasi seni. Semakin baik kualitas para seniman dan sineas dalam memproduksi karya dan semakin besar animo masyarakat, bisa jadi kualitas bangsa ini semakin baik.

Bisa diceritakan pengalaman bermain teater dengan sineas asing?

Beruntung saya berkesempatan beberapa kali berkesenian di luar Indonesia. Tahun 2000, saya dipilih untuk ikut kolaborasi teater di Jepang bersama aktor dari Amerika, Filipin, Jepang, dan Indonesia. Kolaborasi ini menghasilkan sebuah pertunjukan berjudul THE WHEALERS ON THE SOUTH SEAS, yang diperunjukkan di Tokyo dan Osaka sebanyak 27 kali pertunjukkan. Bukan proses yang mudah. Workshop dari pagi hingga malam, dan pertunjukan yang panjang, membentuk disiplin dan ketahanan mental buat saya kala itu.

Tahun 2012, saya mendapat beasiswa di Asian Film Academy Busan. Saya terpilih di antara 24 sineas ASEAN, dari ratusan peserta beasiswa. Di sana, saya bersama kawan baru dari berbagai negeri di Asia menggarap film pendek berjudul SEOK JIN CAN'T SWIM
Ini kolaborasi unik dan cukup melelahkan. Hanya dalam waktu kurang 2 minggu, kita dikejar deadline sampai film ini tuntas .

Di tahun 2013 dan 2014, saya mendapat kesempatan bekerjasama dengan sutradara hadal Prancis, David Bobee. Dua pertunjukan unik yang tidak akan saya lupakan seumur hidup. WARM, pertunjukan dengan panas suhu ruang 62 derajat. Saya bersama dua akrobator di panggang di atas panggung. Pada panggung panas itu, saya bermonolog selama satu jam.

Tahun berikutnya, David membuat repertoar khusus buat saya, berjudul DROP. Dengan kinsep hampir sama, saya bermonolog membawakan 5 peran berbeda, di bawah guyuran hujan, badai dan angin yang dimunculkan di atas panggung. Workshop dilakukan selama sebulan di Rouen, sebuah kota kecil di pinggiran Paris.

Bagaimana Ine melihat kondisi perfilman Indonesia sekarang?

Semakin marak dan bergairah. Terbukti di bioskop, film Indonesia mampu bersaing dengan film-film asing. Makin banyak festival-festival film, dan semakin banyak sineas-sineas muda dengan karya film yang diakui di festival-festival bergengsi luar negeri.

Maraknya kasus pembajakan film yang dilakukan penonton di bioskop, bagaimana tanggapan Ine?

Pembajakan saat ini jauh lebih mudah. Lewat Youtube, atau teknologi semakin mudah mengakses segala bentuk informasi. Saya kira proteksi atau sistem yang dibangun kudu jelas. Kecuali memang kalau karya kita ingin disebarluaskan, saat ini memang mudah, tapi tantangannya adalah persaingan sangat ketat.

Adakah peran impian yang selama ini belum pernah terwujud?

Semua peran yang datang pada saya adalah impian bagi saya. Semuanya harus diwujudkan dengan baik. Dulu saya ingin sekali berperan sebagai Ontosoroh, tokoh Nyai dalam Bumi Manusia Pramoedya Ananta Toer. Tapi sampai kini, saya belum pernah kesampaian, dan rasanya memang tidak akan pernah cocok buat saya.

Harapan Ine untuk karier ke depannya?

Saya hanya ingin mengalir. Apapun yang tiba pada saya, kesempatan yang datang, akan saya selesaikan dengan sebaik mungkin.

Sha Ine Febriyanti mengakhiri wawancara bersama kami dengan kalimat yang begitu sederhana untuk hidupnya. Tak muluk, Ine hanya ingin memberikan yang terbaik dari apa yang telah dimulainya. Ia pun ingin terus belajar tentang segala aspek dunia seni peran yang sudah digelutinya selama hampir dua dekade. Dari panggung teater hingga film komersil, Ine berharap dapat terus memberikan inspirasi bagi banyak orang. Sukses selalu, Sha Ine Febriyanti.