Editor Says: Jangan Lupa Oleh-Oleh Ya!

Asnida Riani diperbarui 23 Sep 2016, 12:28 WIB

Fimela.com, Jakarta Bagi saya, kamu dan sebagian besar orang Indonesia, satu kalimat singkat pada judul di atas tentu tak lagi asing, bahkan telah cenderung akrab. Oleh-oleh, buah tangan, atau apapun sebutannya, entah dari kapan, sudah mendarah daging di masyarakat kita.

Saking seringnya, tak jarang mengiyakan permintaan tersebut hanya dilakukan dalam tahap basa-basi semata. Ya, setidaknya itu lah yang pernah dilakukan teman saya. "Iyakan saja. Dibeli atau tidaknya kita lihat nanti," begitu kira-kira kalimat yang ia ucapkan ketika kereta api membawa kami bertolak ke Yogyakarta dua tahun silam.

Soal 'titipan' ini, melontarkannya pun bisa dengan ragam cara dan lewat lebih dari satu media, termasuk bertutur secara langsung dan meninggalkan komentar di satu-dua unggahan di media sosial. Sah-sah saja memang, namun mengapa buah tangan ini lama-kelamaan seakan bergeser jadi kewajiban?

Ketika beberapa tak menganggapnya sebagai permintaan serius, sebagian orang bisa ngambek lantaran tak kedapatan oleh-oleh. Saya sendiri pernah tak ditegur selama hampir dua minggu penuh lantaran buah tangan untuk seorang teman hilang di salah satu bandar udara.

Kala itu saya berpikir, bukankah satu-satunya orang yang berhak merajuk itu saya? Yang sudah sulit-sulit menyusuri Chinatown sampai dibantu menawar (hampir setengah mati) oleh teman lokal, kemudian hilang tanpa ada campur tangan kekeliruan saya di sana.

Time flies, persoalan buah tangan ini singgah beberapa kali ketika saya kembali traveling. Sederet kasus itu membuat saya memikirkan esensi dan makna buah tangan ini, baik bagi sang penitip dan dititip.

Setidaknya dua pihak itu yang saya pikirkan di langkah awal. Apakah benar untuk selalu membudayakan menitip satu-dua-lima barang ketika ada seorang kerabat bepergian? Mengapa juga harus selalu melakukan hal demikian?

2 dari 2 halaman

Yang Lebih Bermakna dari Titipan Oleh-oleh

Melbourne Night Market, Melbourne, Australia. (stayinnercity.com.au)

Saya pribadi kurang setuju dengan budaya menitip oleh-oleh yang kemudian bertransformasi jadi kewajiban ini. Saya, yang akan pergi jauh dan kadang tak terlalu jauh ini, lebih merasa dihargai jika lantunan 'semoga' yang terucap atau tertulis. Tak perlu panjang. Cukup 'have a safe trip!' atau 'flight safely!'.

Misi utamanya memang hampir selalu tentang memperoleh waktu menyenangkan, namun perjalanan nyatanya tak melulu soal suka. Ada kalanya harus menghadapi 'drama' dengan petugas birokrasi atau yang paling buruk, yakni sakit selama berada di destinasi traveling.

Mengingat fakta demikian, saya pikir barisan 'doa' tadi akan jauh (sangat jauh) lebih bermakna ketimbang 'oleh-oleh ya!'. Bukan bermaksud menggiring persepsi ke sederet kejadian buruk, namun siap untuk sejumlah 'scene' buruk rupa masih perlu ditanamkan. Pasalnya, bukan saya atau kamu yang menulis skenario hidup.

Bukan berati saya tak pernah menitip oleh-oleh. Sekali lagi, m-e-n-i-t-i-p. Jika tahu seorang teman akan pergi ke suatu tempat dan saya menginginkan sedikit buah tangan dari sana (biasanya sudah jadi incaran lama), saya akan menanyakan jadwal perjalanannya. Jika memungkinkan, maka baru lah saya akan menitip.

Karena berlabel menitip, maka uang yang dikeluarkan untuk membelinya itu pun akan berasal dari saya. Kalaupun tidak, biasanya saya dan orang itu sudah menerapkan 'sistem tukar'. Kalau saya pergi, maka ia akan menerima buah tangan dan begitu pula sebaliknya.

Tulisan ini tentu bukan upaya saya untuk mengurangi penghargaan dan penghormatan kepada warga lokal yang mengandalkan oleh-oleh sebagai mata pencaharian. Namun sekiranya akan lebih baik jika oleh-oleh (yang tak ada uang ganti) merupakan kesadaran bagi mereka yang tengah traveling.

Jangan berbicara soal usaha, mulai dari mencari, membawa dan menjaganya tetap utuh tentu bukan pekerjaan ringan. Apalagi kalau yang menitip adalah 'teman sambil lalu' yang tetap dibelikan karena dasar tak enak. Karena sesungguhnya, tanpa ditagih pun, membawa pulang satu-dua buah tangan selalu menyenangkan selepas bepergian.

 

Asnida Riani,

Editor Kanal Style Bintang.com