Editor Says, Dengan Kekuatan Penonton Bangkitkan Film Indonesia

Puput Puji Lestari diperbarui 18 Sep 2016, 12:42 WIB

Fimela.com, Jakarta Euforia penonton film Indonesia sangat terasa tahun ini. Bioskop kembali dipadati penonton bukan karena penasaran film Hollywood namun untuk film produksi dalam negeri. Hingga saat ini sudah ada 8 film yang meraih jumlah penonton di atas satu juta bahkan tiga juta lebih yaitu AADC 2, My Stupid Boss, dan Warkop DKI Reborn.

Saya masih ingat beberapa tahun lalu Produser kembali mengeluh karena sepinya penonton. Mendapat jumlah penonton diatas 200.000 bukanlah pekerjaan mudah era tahun 2013-2015. Tahun 2013 hanya dua film yang mendapat jumlah penonton lebih dari satu juta yaitu Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck (1.724.110) dan 99 Cahaya di Langit Eropa (1.189.709).

Tahun 2014 dua judul film yang meraih penonton diatas satu juta Comic 8 (1.624.067) dan The Raid 2: Berandal (1.434.272). Tahun 2015 ada tiga film yang mendapat jumlah penonton di atas satu juta yaitu Surga yang Tak Dirindukan (1.523.617), Single (1.351.324), Comic 8: Casino Kings part 1 (1.211.820). Bagaimana nasib ratusan judul film selain tujuh film diatas? Ya, jumlah penontonnya dibawah satu juta.  

Apa yang salah? Tidak mungkin film Indonesia tidak ada yang berkualitas yang bisa memuaskan selera penonton. Mengapa mereka tidak tergerak untuk ke bioskop kala itu?

Jika jumlah penonton yang dihasilkan sedikit, maka produser akan kehilangan modal untuk kembali memproduksi film baru. Jumlah pendapatan yang mereka keluarkan ketika memproduksi film tak tertutup oleh pendapatan dari jumlah penonton. Otomatis mereka butuh modal tambahan atau memangkas biaya produksi untuk membuat film baru.

Mari berpikir rasional sebagai pengusaha. Modal tambahan berarti utang tambahan. Jika memangkas biaya produksi, film Indonesia akan turun kualitasnya. Yang sudah tayang dan berkualitas saja tidak menarik penonton, apa kabar jika penonton disuguhi film berbiaya rendah? Tentu semakin malas nonton film Indonesia. Jika terus berlanjut maka, era mati suri perfilman Indonesia terbayang di depan mata.

Lagi-lagi, Mira Lesmana menjadi pemecah kebuntuan. Diakui atau tidak jejak Mira sebagai sineas penggiat film begitu indah. Menghadirkan Petualangan Sherina saat  film Indonesia mati suri, tiba-tiba penonton sadar film Indonesia berkualitas masih ada. Meskipun belum mampu meraih banyak penonton tapi orang kembali percaya ada film Indonesia berkat Petualang Sherina.

Jejak kedua, Ada Apa dengan Cinta (2002). Film remaja ini menggairahkan kembali masyarakat untuk ke bioskop. Kisah cinta Rangga dan Cinta masuk ke ruang publik obrolan dari warung kopi hingga kafe-kafe. Dengan jumlah penonton 2.700.000 AADC menjadi legenda.

Jejak ketiga, Laskar Pelangi pada tahun 2008. Berkat film ini penonton Indonesia berbondong-bondong ke bioskop. Kembali terlihat antrian. Banyak yang penasaran. Hasilnya, jumlah penonton terbaik sepanjang masa dikantongi dengan 4.631.841 penonton.

Terbaru, jejak keempat. Saat sebagian besar produser tidak mendapatkan kepercayaan diri untuk memproduksi film Mira Lesmana menghadirkan AADC 2. Sekuel setelah 14 tahun ini begitu masive melakukan promosi. Media sosial dimanfaatkan sedemikian rupa. Formulanya, film yang berkualitas saja tak cukup masih butuh promosi untuk memperkenalkan film ke masyarakat. Hasilnya penonton film ini menembus 3.665.509.

What's On Fimela
2 dari 2 halaman

Promosi Tepat Sasaran

Semangat optimisme ini menular ke Falcon Pictures lewat dua karya fenomenal mereka tahun ini, My Stupid Boss dan Warkop DKI Reborn: Jangkrik Boss Part 1. Saya termasuk salah satu wartawan yang menjadi saksi awal produksi film ini. Dari pembelian hak kekayaan intelektual hingga film diproduksi dan ditayangkan.

HB Naveen adalah sosok Produser Eksekutif yang jeli melihat ruang-ruang yang diminati penonton. My Stupid Boss adalah novel fenomenal yang berasal dari blog. Sebelum dibuat film saya sudah membaca novelnya dan paham penggemar novel ini loyal. Warkop DKI, jangan ditanyakan lagi. Siapa yang tak tahu sosok ini?

Menemukan ide dari hal yang dekat dari calon penonton adalah lagkah awal kesuksesan. Selanjutnya, hasil film berkualitas dibantu dengan promosi. AADC 2 menggunakan lini masa sebagai media promosi andalan. Sejak awal Mira mengumumkan awal langkah AADC 2 lewat unggahan foto teaser poster di twitter. Publik heboh karenanya dan  Miles Film menata ruang penasaran itu dengan terus memberikan bocoran foto-foto adegan atau di belakang layar lewat sosial media.

Falcon melakukan promo yang tidak pernah dilakukan oleh rumah produksi lain. Menutup gerbong kereta dengan poster film bahkan menutup gedung tinggi dengan poster filmpun dilakukan. Bagaimana membuat film itu menjadi dekat dengan penonton melalui promosi dilakukan benar oleh Falcon Pictures.

Setelah tayang, Falcon Pictures tak melepas filmnya begitu saja. Roadshow dilakukan ke berbagai kota. Ini seperti janji Naveen yang dilontarkan kepada kami, teman media, ketika Pak Naveen mengajak berbincang santai di sore hari usai membeli hak kekayaan intelektual empat film Warkop DKI. "Saya akan total untuk film ini. Saya akan lakukan promosi yang tidak pernah dilakukan oleh film-film lain," janjinya.

Saat itu tim produksi baru menggodok skenario, belum memilih pemain. Saya sendiri belum bisa membayangkan seperti apa promo yang dijanjikan. Usai perbincangan sore itu, kami hanya berbincang dengan Produser Frederica.

Namun, saat pembajakan terjadi, Naveen kembali hadir di Polda. Melaporkan pembajak dengan wajah geram. Saya melihat aura marah di wajahnya, lelah dikhianati oleh oknum tak bertanggungjawab. Setelah laporan belum ada perkembangan lagi bagaimana kelanjutan kasus ini.  

Saat itulah saya sadar, hidup mati film Indonesia tidak bergantung pada pemerintah. Tapi pada penonton Indonesia. Mereka yang menentukan film layak ditonton atau tidak. Apakah uang mereka pantas dikeluarkan untuk menonton film? Mereka juga perlu diedukasi tentang pembajakan yang merugikan sineas.

Percuma berkoar-koar dengan pemerintah saya rasa. Karena ketika film nyaris mati suri kembali, pemerintah tidak melakukan apa-apa. Film hanya ramai ditingkat perundang-undangan, tak pernah menyentuh akar masalah sebenarnya. Kebutuhan layar untuk bioskop ke daerah kembali ke pengusaha. Perizinan yang berbelit tidak pernah selesai masalahnya. Bagaimana bisa mengangkat budaya sedangkan syuting di tempat berbudaya ditarik biaya tinggi dan tentu saja membenani produksi.

Hal ini diakui oleh produser Max Film, Ody Mulya Hidayat. Pilihan syuting ke luar negeri bukan semata-mata karena ingin memberikan penampilan berbeda. Tetapi rupanya perizinan yang sulit dan mahal di negeri sendiri terasa menyesakkan.

Sineas yang mencari jalan keluar sendiri. Sineas yang mencari-cari formula bertahan hidup. Karena itu saya angkat topi pada mereka yang memilih untuk tidak menurunkan kualitas produksi demi film Indonesia.

Karena yang punya kekuatan untuk membangkitkan film Indonesia adalah penonton, sudah selayaknya sineas memuja mereka. Seperti kata Produser MD Pictures, Manoj Punjabi, "Dewa saya penonton dan pemirsa."

Jika penonton adalah Dewa, bentuk doa sineas kepada penonton adalah memberi yang terbaik. Merayu penonton dengan film berkualitas yang dekat dengan  hidup mereka. Terimakasih penonton Indonesia karena kembali percaya pada film Indonesia. Salam dari saya yang mencintai buku bukan sekedar perlu, mencintai film bukan sekedar hiburan.

 

Salam,

Puput Puji Lestari, Redaktur Kanal Film Bintang.com