Editor Says: Generasi Kaset dan Walkman di Era Streaming Musik

Nizar Zulmi diperbarui 29 Agu 2016, 14:07 WIB

Fimela.com, Jakarta Ada zamannya ketika hanya orang-orang tertentu yang bisa mendengar karya-karya musik dari para musisi ternama. Ada juga masa-masa ketika pulang sekolah menyambangi toko kaset dan membeli karya musisi idola terasa sangat menyenangkan. 

Industri musik selalu berkembang sesuai perubahan zaman. Jika era 60an piringan hitam dan gramophone jadi tandem yang familiar, generasi 90an tak kalah keren dengan kaset dan walkman yang jadi gadget wajib.

Di masa-masa itu rilisan fisik masih dapat diandalkan sebagai penyumbang kesejahteraan para musisi selain off air dan pemasukan lainnya. Piringan hitam dan kaset menjadi penyokong berdirinya toko-toko musik yang saat ini tergerus teknologi. 

Teknologi menjadi pedang bermata dua yang bisa berdampak baik ataupun buruk. Perkembangannya membawa pengaruh besar terhadap berbagai aspek, termasuk di industri musik yang sedang kita bahas saat ini. 

Saya sependapat dengan tujuan orang mengembangkan teknologi untuk membuat segala hal menjadi lebih mudah. Dalam ranah produksi musik misalnya, teknologi membuat proses rekaman semakin praktis, efisien, dan 'tanpa cela' berkat software editing yang mungkin bisa diunduh secara ilegal (thanks to teknologi dan internet). 

Tapi memang tak ada salahnya memanfaatkan teknologi yang ada untuk memaksimalkan sebuah karya. Namun sejumlah musisi lebih memilih 'cara lama' untuk tetap memunculkan sisi manusia dalam karyanya. Sebut saja Foo Fighters dengan album Wasting Light yang dirilis tahun 2011.

Apalagi di era sekarang sedang trend adalah aplikasi streaming musik online. Kalian, termasuk saya sendiri, tentu sudah familiar dengan penyedia musik semacam ini. Tak perlu jalan ke toko CD untuk mendengar lagu terkini. Cukup sediakan gadget, koneksi internet, dan boom, semua sudah langsung tersedia.

Hadirnya aplikasi streaming dan membeli musik cukup bermanfaat bagi para produsen dan musisi itu sendiri. Mereka tetap mendapatkan royalti setiap kali lagu mereka diputar, kedengarannya cukup efektif untuk menekan angka pembajakan yang jadi musuh utama seniman.

Namun canggihnya teknologi secara langsung atau tidak langsung turut merobohkan toko CD dan kaset yang dulu pernah jadi tujuan utama setiap tanggal muda. Setidak efektif itukah rilisan fisik di era sekarang? Apakah generasi kaset dan CD harus move on dan menyesuaikan dengan masa kini?

2 dari 2 halaman

Rilisan Fisik Era Dulu dan Kini

Flanella, Dewa 19 dan Sheila On 7 adalah tiga kaset pertama yang saya koleksi waktu itu. Dengan usaha menabung yang tidak sebentar tentunya, meski harga kaset terbilang tak terlalu mahal, tetap saja butuh usaha ekstra untuk anak sekolah yang uang sakunya pas-pasan.

Mungkin karena butuh perjuangan, setiap lagu dari kaset-kaset yang saya beli itu benar-benar saya resapi dan hapalkan, atau otomatis hapal karena tak ada pilihan lain. Tapi melihat sisi baiknya, kita jadi lebih menghargai karya musisi yang kita idolakan tersebut.

Tak dapat dipungkiri rilisan fisik berupa CD kini tak lagi diandalkan dari segi penjualan. Istilah 'terjual ratusan ribu keping' saat ini mungkin sudah bukan lagi jadi tolak ukur. Kini takaran kesuksesan cenderung dilihat dari berapa juta views di YouTube atau sekian ribu download di iTunes.

Namun bukan berarti rilisan fisik dalam bentuk CD, vinyl, atau bahkan kaset 'derajatnya' sudah turun. Justru barang-barang dalam format tersebut dicari sebagai collectible items, yang baisa dikemas dalam bentuk boxset atau merchandise.

Memorabilia yang tertangkap dalam bentuk fisik entah mengapa lebih terasa ketimbang membeli secara online. Seperti saya yang merindukan pinjam meminjam kaset dengan teman, yang kadang kembali dengan kondisi yang tidak semestinya, atau malah tidak kembali sama sekali. 

Generasi kaset mungkin harus move on dari hal-hal mengasyikkan itu. Kini zaman sudah berubah, walkman yang tergantung di celana sudah tak lagi ngetrend. Toko kaset dan CD pun sudah gulung tikar. 

Tapi jangan khawatir, kamu masih bisa membeli CD dari artis favoritmu, di restoran cepat saji. Entah ini menjadi bentuk keputusasaan, atau jalan terakhir untuk menyelamatkan CD dan artisnya, tapi setidaknya orang masih tahu kemana jika ingin membeli karya musik. Ya, kita hidup di era dimana kita pergi ke restoran untuk membeli musik.

Tak mengapa, penyesuaian dalam hidup harus berjalan untuk bisa survive. Kini (sebagian) rilisan fisik justru dibanderol lebih bernilai mahal jika dijadikan boxset atau merchandise, jadi fans sejati pasti membelinya. Suatu saat nanti? Mungkin saja CD dan kaset akan menjadi barang langka yang diburu kolektor yang berani membayar dengan harga jutaan.

Apapun yang terjadi, musisi Indonesia harus sejahtera dengan karyanya. Karya yang bagus dan original akan menyelamatkan mereka, terlepas dari fisik atau digital.

 

Nizar Zulmi

Redaktur Musik Bintang.com