Fimela.com, Jakarta Membicarakan soal keuangan mungkin tak menjadi bahan yang menarik buat para anak muda, atau yang kini kerap disebut dengan milenials. Mungkin betul, topik ini terdengar membosankan. Tapi toh uang menjadi salah satu kebutuhan yang paling penting untuk hidup. Meski penting untuk kelangsungan hidup masing-masing, masih saja milenials tak tertarik untuk 'menimbun' pengetahuan, minimal soal keuangan pribadi.
Saya juga dulu ogah membicarakan hal ini. Sejak SMP hingga kuliah, saya anti dengan yang namanya pelajaran atau mata kuliah berbau ekonomi dan hitung-hitungan. Karena, sejak SD nilai hitung-hitungan saya jeblok. Tak pernah lebih dari 60! Persepsi saya soal uang dan hitung-menghitung lantas berubah ketika waktu itu kondisi ekonomi pribadi saya buruk, sekitar tahun 2012.
Saat itu, dunia hiburan yang kerap digandrungi ABG tak pernah membuat saya bersemangat. Mulai dari hang out hingga jalan-jalan dengan teman ke luar negeri, atau hanya sekadar ke luar kota cicipi masakan khas daerah. Saat itu, saya juga tidak tertarik untuk membeli buku-buku wajib di kampus.
Tapi rapor keuangan saya merah selama 1 tahun, hingga 2013. Saya belum punya kartu kredit waktu itu. Belum juga bisa pinjam ke bank untuk berfoya-foya. Tapi saya menyiksa diri saya sendiri demi ego dan keinginan yang sebetulnya bisa ditahan. Ya, saya waktu itu lebih pilih beli novel dari pada makan. Apa lagi jalan-jalan. bahkan, saya selalu bawa bekal dari rumah untuk makan siang di kampus. Jarang sekali saya jajan.
Boros, begitu mereka menyebut saya pada waktu itu. Tapi saya selalu menutup kedua telinga dan memasang kacamata kuda setiap kali mereka mengatakan hal itu kepada saya waktu itu. Hingga akhirnya, saya benar-benar kehabisan uang, tanpa bisa makan dan juga kehabisan ongkos pulang ke rumah dari kampus.
Tersadar karena tidak pernah menabung dan selalu menghabiskan uang untuk beli buku, akhirnya saya berusaha untuk menahan diri tidak membeli apa pun yang tidak dibutuhkan selama beberapa bulan. Saya akhirnya jadi lebih rajin menabung dan punya simpanan untuk berlibur atau sekedar membeli satu buku yang sangat saya inginkan. Saya bertekad hanya akan membeli 1 buku setiap bulan, mengingat sebelumnya bisa menghabiskan Rp 500 ribu hanya dalam sekali belanja buku.
Ibu saya bukan tipe yang marah menggelegar lantas memberikan uang tambahan. Tapi tipenya yang marah, lantas tidak juga memberikan saya uang tambahan. "Biar belajar susah," katanya. Meskipun saya sudah punya sedikit tabungan yang akhirnya juga habis untuk biaya cetak skripsi, saya merasa keuangan belum juga sehat.
Faktor Keuangan Tidak Sehat
Meskipun masih murka dan begitu sebal dengan kebiasaan saya yang boros saat itu, ibu saya kemudian dengan besar hati menceritakan semua hal soal keuangan yang dia tahu dari berbagai buku motivator keuangan dan investor asing. Ternyata, keuangan yang tidak sehat bukan hanya karena tidak pernah menabung.
Pertama, Keuangan yang tidak sehat bermula dari sifat dan kebiasaan kita. Ibu saya, tanpa bermaksud menggurui, bercerita tentang para taipan yang hartanya tak pernah habis. Ada satu hal penting yang jarang anak-anak muda tahu. Bahwa kesehatan keuangan bermula dari menahan diri untuk membeli barang-barang yang tidak kamu butuhkan.
Kedua, menabung saja tak akan bisa membuat kamu kaya. Well, kalau tidak mau kaya, paling tidak hidup berkecukupan, deh. Harus ada usaha lain untuk bisa 'menernakkan' uang yang kamu punya. Salah satunya dengan berinvestasi. Banyak anak muda yang ogah melakukan hal ini karena terkesan tua dan sama sekali tidak mengerti. Tapi, ini salah satu cara terbaik untuk meneyelamatkan keuangan.
Tapi investasi bukan sekadar investasi. Ada banyak orang, bahkan juga para babyboomers, yang juga kena tipu atau mengalami kerugian saat berinvestasi. Selain belajar apa saja investasi yang cocok dengan kebutuhan, saya juga harus belajar tentang bagaimana menyelamatkan diri dari keterpurukan ekonomi.
"Lahir miskin tak apa, tapi mati miskin adalah sebuah 'dosa' besar," kata ibu saya. Tapi tentu saja, tidak semua orang punya pemikiran yang sama dengan kami. Bahkan sebagian orang menganggap kekayaan akan mengubah sikap dan juga perilaku seseorang menjadi negatif. Karena persepsi orang tentang kaya muda tak jauh-jauh dari harta orangtua atau pebisnis muda yang sukses.
Kehidupan gemerlap dan lavish menjadi gambaran umum orang kaya di mata orang awam. Padahal, menjadi kaya di usia muda tak seseram yang orang-orang bayangkan. Kaya bukan berarti bermewah-mewah. Kaya adalah ketika kamu sanggup mengatur keuangan dan mempertahankan kesehatannya.
Karla Farhana
Editor Feed, Bintang.com