Fimela.com, Jakarta Pasangan Tontowi Ahmad dan Liliyana Natsir akhirnya menjadi pahlawan usai meraih medali emas untuk Indonesia lewat cabang olahraga bulutangkis. Pasangan ganda campuran ini menjadi satu-satunya atlet Indonesia yang berhasil merebut medali emas pada Olimpiade Rio 2016.
Pasangan yang akrab disapa Owi dan Butet ini sudah hampir 6 tahun berjuang bersama di dalam arena pertandingan bulutangkis. Yang membanggakan lagi, Owi dan Butet merebut medali emas tepat pada peringatan Hari Kemerdekaan Indonesia, Rabu (17/8/2016) lalu. Kita pun ikut menjadi saksi kemenangan mereka karena ditayangkan langsung oleh SCTV.
Setelah kembali dari Rio de Janiero, Brasil, keduanya mendapat kehormatan dengan diarak keliling Jakarta. Mereka disambut dengan sukacita bak pahlawan pulang dari peperangan. Sesuai janji pemerintah melalui Kemenpora (Kementrian Pemuda dan Olahraga), Tontowi Ahmad dan Liliyana Natsir mendapat bonus sebesar 5 miliar rupiah. Jadi masing-masing mendapatkan 5 miliar rupiah bersih tanpa dipotong pajak.
Tak hanya Owi dan Butet. Atlet angkat besi, Eko Yuli Irawan dan Sri Wahyuni yang meraih medali perak juga mendapatkan bonus. Mereka masing-masing mendapatkan bonus 2 miliar rupiah. Sayangnya tak ada atlet Indonesia lagi yang meraih, termasuk medali perunggu yang gagal diraih. Lalu, apakah bonus dan sambutan tersebut terasa berlebihan?
Rasanya tidak sama sekali. Mereka memang pantas mendapatkannya. Bagi saya, para peraih medali di ajang sebesar Olimpiade sangat pantas mendapatkan penghargaan yang tinggi. Ditambah lagi, di ajang Olimpiade sebelumnya yaitu Olimpiade London 2012, Indonesia gagal meraih medali emas. Kegagalan itu memutus tradisi medali emas yang sudah dimulai sejak Olimpiade 1992 di Barcelona, Spanyol.
Tapi setidaknya tradisi meraih medali masih tetap bertahan sejak negara kita meraih medali untuk pertama kalinya di Olimpiade 1988 di Seoul, Korea Selatan. Saat itu, Indonesia meraih medali perak melalui cabang olahraga panahan di nomor beregu putri. Karena itu, menurut saya sangat pantas perjuangan Nurfitriyana, Lilies Handayani dan Kusuma Wardhani dibuatkan film yang bertajuk 3 Srikandi.
Butuh waktu 36 bagi Indonesia untuk meraih di ajang Olimpiade. Negara kita baru mengikuti Olimpiade di tahun 1952 di Helsinki, Finlandia. Sedangkan Olimpiade atau Olimpiade Musim Panas mulai diadakan pada tahun 1896 di Athena, Yunani. Indonesia sempat absen di Olimpiade 1964 dan 1980 karena alasan politis.
Hal itu sempat disinggung di film 3 Srikandi saat Donald Pandiangan yang diperankan Reza Rahadian meradang karena gagal bertanding di Olimpiade 1980 yang berlangsung di Moskow, Rusia. Padahal saat itu Donald sedang dalam performa terbaik dan termasuk salah satu pemanah terbaik di Asia.
Mungkin banyak yang bertanya, kenapa Indonesia yang penduduknya lebih dari 200 juta begitu sulit meraih medali, apalagi emas, di ajang Olimpiade? Para pakar maupun mereka yang berkecimpung di dunia olahraga pasti lebih tahu jawabannya. Tapi sebagai orang awam yang cukup menyukai bidang olahraga, jawaban simpelnya adalah kita tak punya cukup banyak atlet handal di negeri ini.
What's On Fimela
powered by
1
Di ajang Sea Games saja yang hanya diikuti negara-negara Asia Tenggara saja kita bukan lagi yang terbaik. Sedangkan untuk bisa mengikuti Olimpiade hanya atlet-atlet terpilih yang bisa berlaga, apalagi kalau bisa menjadi juara. Di Olimpiade 2016 ini misalnya, ada 28 cabang olahraga (cabor) yang dilombakan dan dipertandingkan.
Tiap cabor punya persyaratan sendiri bagi tiap atlet yang bisa tampil di Brasil. Ada yang melalui babak kualifikasi, peringkat dunia, catatan prestasi, waktu, jarak maupun yang lainnya. Sampai disini kita sudah bisa sedikit paham kenapa tak banyak atlet kita yang tampil di Olimpiade. Di Olimpiade Rio 2016, kita hanya mengirimkan 28 atlet yang sebagian besar mengikuti cabor bulutangkis.
Khusus untuk bulutangkis, hanya disediakan jatah 172 atlet di lima nomor yang dipertandingkan yaitu Tungga Putra dan Putri, Ganda Putra dan Putri serta Ganda Campuran. Barometer kelolosan adalah peringkat dunia yang dikeluarkan oleh BWF (Badminton World Federation/Federasi Bulutangkis Dunia).
Dalam situs resmi BWF disebutkan dari 172 kuota yang diperebutkan rinciannya, 38 pemain di nomor tunggal putra, 38 pemain di tunggal putri, 16 pasang ganda putra dan 16 pasang ganda putri, serta 16 pasang ganda campuran. Jadi kalau ada pasangan ganda campuran yang berada di peringkat 17 misalnya, maka ia tidak lolos ke Olimpiade. Begitu juga dengan di nomor tunggal. Mereka yang lolos harus menempati peringkat dunia antara 1 sampai 38. Untuk Olimpiade Rio 2016, perebutan poin dimulai dari Mei 2015 sampai Mei 2016.
Kejuaraan Dunia jadi salah satu ajang paling dinanti dalam perebutan poin Olimpiade karena menawarkan poin tertinggi di antara kejuaraan lainnya. Lalu ada Piala Thomas dan Uber serta Piala Sudirman menjadi turnamen yang jadi ajang perebutan poin. Selain itu, ada kejuaraan dunia, ajang-ajang super series, grand prix gold, grand prix, international challenge, internastional series, dan kejuaraan-kejuaraan lain yang memperebutkan poin internasional sesuai peraturan BWF.
Walaupun sebuah negara punya banyak pebulutangkis handal, tak semua dari mereka bisa lolos. Di nomor tunggal, sebuah negara bisa mengirimkan maksimal dua pemain asalkan mereka mempunyai dua pemain yang ada di urutan 16 besar. Kalau tak memenuhi syarat itu, sebuah negara hanya bisa mewakilkan satu pemain.
Peraturan ini sudah lebih ketat dibandingkan saat pertama kali bulutangkis dipertandingkan di Olimpiade 1992. Waktu itu, Indonesia yang masih merajai bullutangkis terutama di bagian putra, meloloskan tiga atlet yaitu Alan Budikusuma, Ardy B. Wiranata dan Hermawan Susanto. Hasilnya seperti kita tahu, sangat membanggakan. Hermawan meraih perunggu, Ardy meraih perak sedangkan Alan mendapatkan medali emas.
Di nomor ganda, dengan jumlah kuota yang lebih sedikit, batasannya sebuah negara untuk mengirimkan dua wakilnya juga makin kompetitif. Sebuah negara hanya bisa mengirimkan dua wakil, jika ada dua pasangan yang ada di peringkat delapan besar. Selain yang memenuhi persyaratan itu, sebuah negara hanya bisa mengirimkan satu wakil.
Para pemain yang berhak ambil bagian adalah mereka yang minimal pernah mengikuti tiga turnamen BWF terhitung mulai hari pertama perebutan poin. Tuan rumah secara otomatis akan mendapatkan satu jatah di nomor tunggal, putra dan putri. Dengan standar kelolosan yang tinggi itu kita setidaknya bisa paham kalau mereka yang berlaga di Olimpiade adalah yang terbaik. Apalagi kalau bisa menjadi juara dan meraih medali emas seperti pasangan Tontowi Ahmad/Liliyana Natsir.
Karena jelas sangat sulit untuk bisa meraih medali Olimpiade. Mereka adalah yang terbaik dari yang terbaik, sehingga pantas mendapat bonus, penghargaan atau semacamnya. Dengan begitu kita berharap akan lebih banyak lagi atlet Indonesia yang terpacu untuk berlaga di Olimpiade dan meraih medali seperti Tontowi Ahmad dan Liliyana Natsir.
Henry
Editor Kanal Film