Fimela.com, Jakarta Rabu (17/8/2016) kembali diperingati sebagai HUT RI ke-71. Ibarat manusia, negeri ini sudah mulai memasuki usia senja. Alih-alih semangat untuk berlari, orang yang memasuki usia ini seharusnya mulai menghadapi fase introspeksi dan persiapan menuju perjalanan abadi. Lalu bagaimana dengan Indonesia?
Layaknya manusia, Indonesia telah melalui fase perjuangan dari rahim penjajahan menuju dunia luar bernama kemerdekaan. Sebagai bayi pun, berbagai trial and error telah dijalani untuk menemukan jati diri. Dibesarkan dalam buaian orde baru, akhirnya jiwa muda itu berontak mencari jalan hidup. Perjalanan demi perjalanan telah dilalui demi mencapai kondisi yang dianggap lebih baik.
Namun negara seharusnya tidak berjalan layaknya manusia. Tidak ada istilah berhenti untuk sebuah negeri. Manusia di dalamnya bertindak layaknya sel yang terus melakukan regenerasi, dan membuatnya terus berlari membuat perubahan. Perubahan berarti evolusi, yang berarti kita sedang berada di posisi yang jauh berbeda dengan generasi tahun '45. Namun apakah kita bisa dikatakan jauh lebih baik dari mereka?
Secara fisik, jawabannya tentu saja iya. Kehadiran teknologi telah mengubah hidup banyak orang menjadi semakin mudah. Hampir tak ada lagi kelaparan, rasa takut akan peperangan, bahkan berbagai hiburan pun semakin menambah indah kehidupan kita. Kita bahkan bisa bepergian dengan cepat dengan fasilitas sarana transportasi yang sangat canggih.
Meski demikian, kita tak bisa menyangkal bahwa ada beberapa ketimpangan yang terjadi di masa modern ini. Zona nyaman rupanya membuat banyak generasi muda mulai terbuai dalam tidur panjang. Sejak kecil mereka diperkenalkan dengan gadget dan games yang mengubah mereka jadi anak gaul, namun di satu sisi menciptakan sikap individualis. Para remaja lihai menyapa dunia maya, namun justru kikuk saat berhadapan dengan orang-orang di dunia nyata.
Padahal, 71 tahun lalu kemerdekaan justru terjadi karena inisiatif para pemuda. Kegilaan mereka menculik Soekarno dan membawanya ke Rengasdengklok membuat kita memiliki tanggal 17 Agustus sebagai hari kemerdekaan. Tidak salah jika Soekarno sempat melontarkan pernyataan luar biasa berbunyi 'Beri aku 10 pemuda, niscaya akan kuguncangkan dunia." Namun mungkinkah hal itu terwujud dengan kondisi generasi sekarang?
What's On Fimela
powered by
Fenomena Generasi Muda
Bicara soal generasi muda, penulis jadi teringat dengan kehebohan Awkarin yang patah hati ditinggalkan kekasihnya, Gaga Muhammad. Mungkin semua orang sepakat bahwa cinta adalah keindahan dan anugerah dari Tuhan. Namun drama yang ditampilkan Awkarin di media sosial justru menuai pro dan kontra. Ada beberapa orang yang terkesan pada kegigihan cinta Karin Novilda, namun tak sedikit pula yang menganggapnya berlebihan.
Hal ini tidak lepas dari kisah yang mengawali tragedi Karin dan Gaga. Keduanya memang dikenal terlalu vulgar saat mengekspos hubungan asmara mereka, baik di media sosial maupun di dunia nyata. Terlebih lagi, banyak sikap dan perilaku Karin yang dianggap kurang sopan dan melanggar norma, salah satunya adalah seringnya di mengeluarkan kata-kata kotor, dan mengunggahnya lewat media sosial.
Nyatanya, drama Awkarin bukan hal baru yang merajai kehidupan remaja saat ini. Fakta membuktikan bahwa hiburan yang mengandung unsur drama lebih banyak dinikmati orang. Tidak heran jika kemudian banyak musisi, sineas, dan pelaku dunia hiburan yang lebih suka menyuguhkan tema-tema yang menguras air mata. Padahal disadari atau tidak, hal ini semakin membuat mental kita lemah, enggan berjuang, dan semakin lelap dalam tidur.
Kondisi macam inilah yang juga dialami oleh kebanyakan orang yang sudah mencapai usia 71 tahun. Sebagaimana dibahas di atas, manusia yang berada di usia ini telah melewati fase produktif. Artinya, kini dia sedang berada pada fase istirahat, introspeksi, dan persiapan untuk perjalanan abadi. Namun bedanya dengan Indonesia usia ini menjadi fase istirahat yang tidak dibarengi dengan instrospeksi.
Fenomena ini jelas sangat menakutkan. Generasi-generasi muda yang tidak produktif ibarat sel-sel tubuh yang terus lahir namun telah terpengaruh mutasi genetik, dan tumbuh dalam kondisi cacat. Ketimpangan di berbagai sisi pada akhirnya membuat Indonesia semakin digerogoti penyakit. Jika dibiarkan, kehancuran mungkin akan menanti kita di depan.
Pada akhirnya, angka 71 pun kembali menjadi sebuah pertanyaan untuk bangsa kita di perayaan kemerdekaan kita. Apakah perayaan HUT RI ke-71 kali ini adalah wujud semangat bangsa pada negara, atau hanya sekedar lagu nina bobo yang akan membuat tidur kita semakin dalam? Jawabannya ada dalam diri kita masing-masing.