Fimela.com, Jakarta Sudah 71 tahun naskah prokmasi dikumandangkan. Kata 'Merdeka' yang selama berabad-abad diidamkan rakyat Indonesia akhirnya dengan lantang bergemuruh pada 17 Agustus 1945 silam. Kini, kita yang hidup sebagai generasi penerus sudah tak lagi harus merasakan sakitnya berkorban di medan perang, hanya dituntut untuk terus melanjutkan kemerdekaan yang selama ini diimpikan.
Kemerdekaan tak melulu soal bebas dari penjajahan perang satu kubu dengan kubu lain. Contohnya di era globalisasi sekarang ini, masih banyak orang yang mengaku terjajah atas hasil karya intelektualnya. Berharap akan apresiasi, mereka justru mendapati pembajakan dari apa yang telah dibuat sepenuh hati.
Entah sudah berapa banyak kasus pembajakan sukses menjadi headline berita di Indonesia. Di mulai dari karya yang jelas-jelas dicatut, hingga saling tuding karya pribadi. Tak cuma di industri hiburan, tapi nyaris semua segmen tersentuh oleh pembajakan.
Mari kita mulai dari hal yang dekat dengan kehidupan sehari-hari. Lihat barang di sekitarmu, apakah kamu membeli produk dari produsen yang memang benar-benar membuatnya dari hasil karya sendiri? Atau malah tiruan alias KW?
Saya di sini tidak berniat untuk menghakimi atau menjustifikasikan atas pilihan seseorang. Tapi disadari atau tidak, kita sudah masuk dalam generasi yang 'mendewakan' gaya hidup. Mungkin bukan Anda pelakunya, mungkin sekitar Anda. Gaya hidup seakan bukan lagi masuk dalam kategori kebutuhan tersier. Yang tadinya hanya jadi pelengkap, kini banyak orang yang 'menggeser' gaya hidup ke dalam kategori sekunder, bahkan primer.
'Diakui oleh masyarakat' seakan jadi goal dari pelakunya. Mereka rela melakukan beragam cara untuk bisa dianggap 'sama', meski kantong terbilang pas-pasan. Parahnya lagi, sejumlah dari mereka tak sadar telah melakukan aksi pembajakan demi tuntutan menjadi pelaku 'modern'.
Dari dunia fashion, kita bisa tarik contoh. Harus diakui banyak kaum Hawa yang rela merogoh kocek dalam untuk memiliki barang dari suatu brand. Namun, tak sedikit yang masih mempertimbangkan price tag dan lebih memilih produk yang 'nyaris' sama saja seperti yang ia ingin.
Selama hampir satu dekade terakhir, kemunculan barang-barang tiruan alias KW semakian merjalela. Dimulai dari KW biasa hingga KW super. Menurut penjual yang pernah saya temui, perbedaan keduanya terletak dari kualitas barang dan harga. Sesuai julukannya, barang-barang KW biasa memiliki kualitas yang biasa-biasa saja, hanya rupanya saja yang mirip seperti asli. Pun dengan harga tak akan menguras kantong. Berbeda halnya dengan KW super yang menawarkan kualitas barang yang lebih baik dengan harga yang sudah masuk lumayan. Tapi, tetap saja keduanya bukan barang asli.
"Uang-uang gue, ya suka-suka gue lah!" Yap, semua keputusan memang kembali pada Anda. Pun dengan tulisan ini hadir sekali lagi bukan untuk menghakimi. Tapi mari sama-sama membuka mata akan 'nasib' mereka yang hasil karyanya dicatut. Mungkin untuk brand-brand dunia mereka tak terkena dampak langsung. Tapi bagaimana jika hasil karya Anda dibajak?
Ketimbang mengejar prestige memiliki tas brand ternama dunia, ada baiknya kita membuka mata akan brand-brand lokal. Para pengrajin lokal Indonesia juga memiliki produk yang tak kalah baik kualitasnya, tentu dengan model yang khas. Selain bisa membantu pendapatan daerah, kita juga tidak ikut membuat negara rugi. Ya, pada dasarnya, kegiatan perdagangan ilegal dilakukan untuk menghindari pajak negara.
"Every day is a fashion show and the world is the runway" - Choco Chanel.
Kemerdekaan di Mata Sineas
Kasus pembajakan lainnya yang kerap jadi headline yaitu berasal dunia seni. Sudah tak terhitung lagi musisi yang merasakan kekecewaan atas pembajakan lagu ciptaannya. Bukan hanya secara fisik, pembajakan berbasis online dan menjamurnya situs-situs download ilegal menjadi musuh nyata yang tak terbantahkan.
Aksi pembajakan memang seakan sudah sangat mengakar. Meski begitu, para musisi tak tinggal diam. Mereka melakukan segala macam upaya agar rantai dari siklus pembajakan terputus. Peran serta pemerintah memang mutlak dibutuhkan, namun kunci terakhir untuk memberantas penggandaan karya tersebut justru terletak pada masyarakat itu sendiri.
Budaya membeli kaset atau CD harus diakui sudah kian terkikis. Penikmat musik lebih senang mendengarkan alunan lagu hanya dalam genggaman. Mengunduh di situs-situs download pun sudah lazim dilakukan. Demi memerangi maraknya situs ilegal, para pemerhati musik pun merilis sejumlah situs legal untuk mengunduh lagu-lagu karya anak bangsa dan mancanegara.
Dari dunia musik mari bergeser ke seni peran. Seperti halnya lagu, film yang memakan durasi rata-rata di atas satu jam itu juga sudah jadi korban pembajakan oleh sejumlah pihak. Film yang seharusnya dinikmati di bioskop, malah jadi tontonan bebas di jagat maya. Hanya bermodalkan internet, Anda sudah dapat mengakses film berdurasi panjang. Atau pergi membeli DVD bajakan yang dibandrol hanya dengan Rp 15.000, Anda sudah bisa menikmati film yang diinginkan.
Baru-baru ini, film Rudy Habibie mengalami nasib pembajakan. Bahkan, aksi tersebut dilakukan pelaku saat film garapan sutradara Hanung Bramantyo ini belum genap sepekan tayang di bioskop. Tak tanggung-tanggung, rekaman pembajakan berdurasi sekitar 2 jam, yang artinya sebagian besar jalan cerita film Rudy Habibie yang secara total berdurasi sekitar 150 menit.
Hanung berserta tim produksi memang sangat menyayangkan kejadian ini. Suami dari Zaskia Adya Mecca itu pun mengimbau masyarat agar lebih cerdas dalam menggunakan kecanggihan teknologi seperti ponsel. Pun dengan pihak bioskop untuk mengetatkan peraturan untuk penonton selama berada di bioskop agar kejadian semacam ini tidak terulang lagi.
Mau tak mau, suka tak suka, aksi pembajakan memang telah merugikan pendapatan dari sang pemilik hak cipta. Bukan hanya dari segi meteril saja, tapi juga segi moril. Kini semua keputusan berada di tangan Anda, maukah ikut memerdekakan 'mereka' dari penjajahan? Atau malah asyik menjadi bagian dari pelakon siklus pembajakan?
Pemerintah Indonesia sendiri sudah mengatur sanksi bagi para pembajak yang tertuang pada Pasal 72 Undang-undang No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta.
(1) Barang siapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (1) atau pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing masing paling singkat satu (1) bulan penjara dan denda paling sedikit Rp. 1.000.000,- (satu juta rupiah) atau pidana penjara paling lama tujuh tahun penjara dan denda paling banyak Rp.5.000.000.000,- (lima milyar rupiah).
(2) Barang siapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran hak cipta atau hak terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan pidana penjara 5 tahun dan denda sampai lima ratus juta rupiah.
Perlu diingat, pembajakan merupakan salah satu tindakan pencurian. Membeli secara legal adalah cara terbaik untuk mengapresiasi hasil karya orang lain. Karakter suatu bangsa tentu akan tercermin dari sikap rakyatnya sendiri. Mari terus berpartisipasi membangun negeri lewat sikap dan karya yang mampu dibanggakan.
Regina Novanda,
Editor kanal Film Bintang.com