Fimela.com, Jakarta Internet sehat. Karena hal tersebut, beberapa situs yang memuat konten pornografi tak bisa diakses. Dari turunnya peraturan tersebut hingga sekarang masih saja ada pro dan kontra dari banyak pihak. Sebagian berpikir bahwa pornografi merupakan sebuah hal yang merusak moral, sementara sebagian lagi menganggap hal itu adalah sebuah tontonan yang biasa.
***
Saya sendiri bukanlah seorang penikmat pornografi. Pasalnya, saya tidak menyukai ketika melihat perempuan dieksploitasi, menyaksikan mereka orgasme dan dipertontonkan dari berbagai angle. Hal seperti bukanlah sesuatu yang ingin saya saksikan.
Dahulu, saya merasa marah ketika seorang teman berbicara mengenai pornografi. Bukannya karena saya jijik. Tidak. Bukan. Sama sekali tidak dan juga bukan. Namun ketidaksukaan saya dikarenakan industri tersebut seakan menghina perempuan. Mereka digambarkan sebagai sosok penggoda, pemuas, dan juga lemah.
Pernahkah kamu mengikuti tahap demi tahap sebuah perlombaan? Bukan mengikuti sebagai peserta, namun sebagai penonton yang selalu menanti kontestan kesukaan agar menang. Kamu mengamati hal-hal yang dikatakan oleh juri, terikut mengamati performa sang idola hingga kamu paham betul apa yang ia kerjakan itu bukanlah hal yang mudah.
Akhir-akhir ini saya mengamati sebuah kontes ajang pencarian bakat ini untuk menjadi bintang porno dunia. Mungkin kamu sudah tidak asing dengan nama Asa Akira. Ya, bintang porno yang menjadi salah satu juri tersebut memberikan pandangan baru terhadap saya.
Jika dahulu saya berpikir bahwa pornografi merupakan sebuah bentuk eksploitasi, kini di sudut otak saya punya cara pandang yang lain. Bintang porno adalah aktor. Entah perempuan atau laki-laki, yang mereka lakukan di depan kamera hanyalah akting belaka. Siapa yang percaya bahwa perempuan bisa mendesah sedemikian rupa selama satu jam?
Menonton Sex Factor membuat saya mengerti bahwa bagi industri pornografi seks pastilah hanyalah sebuah bisnis. Bagi mereka, itu sama seperti para pemain film atau drama yang harus berakting di depan kamera. Mereka dituntut untuk mengenal setiap detil tubuh, pencarian angle yang tepat agar terlihat menggoda di kamera. Mereka 'melacurkan' diri pada kamera.
Setelah kejadian ini, saya pun menyadari bahwa kita semua adalah para pelacur. Para penjual. Para pedagang. Namun sayang, mungkin tidak banyak yang menyadari. Tidak banyak yang tahu bahwa kita semua merupakan para penjual di 'pasar'.
What's On Fimela
powered by
Kita Semua adalah 'Pelacur'
Seperti yang sudah saya katakan. Saya dan kamu. Kita semua adalah 'pelacur'. Hanya saja, barang dagangan yang kita jual berbeda. Ada yang menjual kenikmatan di ranjang, menjual ide, menjual otot, menjual otak dan lain sebagainya.
"Ketika kita balikkan cara pandang kita, maka kenyataan pun berubah: ternyata pelacuran terjadi di mana-mana. Hampir semua orang melacurkan waktu, jati diri, pikiran, bahkan jiwanya. Dan bagaimana kalau itu pelacuran yang paling hina?" -- Kalimat tersebut terlontar dari mulut Dimas saat berdialog bersama Reuben. Dua tokoh Dewi 'Dee' Lestari dalam bukunya 'Ksatria, Puteri dan Bintang Jatuh'
Ya, saya adalah penggemar Dee. Karya 'liar' ibu suri seakan membangkitkan saya dari tidur panjang. 'Menampar' dan membuat saya mengerti bahwa hidup tak hanya bisa dilihat dari satu sisi. Menyatu dengan bumi, mengerti apa yang diinginkannya, membahagiakan sekitar, membuat perdamaian dengan mengenyahkan konflik antar manusia, sementara yang saya tahu, manusia merupakan makhluk yang paling kompleks.
Memanusiakan manusia merupakan sesuatu yang mudah untuk disampaikan namun paling sulit untuk dilakukan. Segala egoisme dan ideologi yang seakan menjadi pembenaran dari segala perbedaan pemikiran yang dimiliki.
Disadari atau tidak, kita sudah terjebak dalam 'pasar kehidupan'. Tertawan dalam situasi jual beli yang berujung pada mata uang untuk menyambung hidup. Dari situ saya menyadari tentang 'barang dagangan' yang berbeda namun tetap dalam maksud yang sama. Ya, hal tersebut harus tetap hidup dan mengejar apa yang masing-masing dari kita inginkan di dunia ini.
Saya sama sekali tidak berbicara tentang agama. apalagi Tuhan. Tidak pantas rasanya saya seakan mengetahui dan menerjemahkan ajarannya yang berada dalam lingkaran agama. Tapi saya menyadari bahwa kita semua sama. Menjual jiwa, menjadi zombie dalam rutinitas sehari-hari yang sudah kita hapal di luar kepala.
Yang kita butuhkan adalah jatuh cinta sejatuh-jatuhnya. Meski manusia yang kita cintai datang serupa kabut, antara ada dan tiada. Seperti cinta Gio pada Diva di novel Akar yang lagi-lagi karya Dewi 'Dee Lestari'. Namun, ketika dengan ikhlasnya kita mencintai hidup, senista apapun, seburuk apapun, kita akan maklum. Manusia akan memperbaiki. Tanpa syarat dan akan terus mencinta.
Floria Zulvi,
Editor kanal Style, Bintang.com