Fimela.com, Jakarta Selama beberapa tahun terakhir ini para komika atau stand up comedian semakin bertambah jumlahnya. Nama mereka pun semakin banyak dikenal, salah satunya adalah Ge Pamungkas.
Seperti beberapa komika lainnya, kiprah Ge tak hanya sebatas di panggung komedi tapi juga merambah ke bidang akting. Setidanya selama dua tahun belakangan, sudah banyak para komika yang juga angkat nama dan laris membintangi film, sinetron maupun sejumlah program televisi. Umumnya, para komika tersebut bermain di genre komedi sesuai dengan keahlian mereka di bidang tersebut.
***
Dengan bermain film maupun sinetron, mereka banyak mendapat pengalaman berakting dari para aktor yang mumpuni di bidangnya. Hal itu pun diakui oleh Ge. “Di lokasi syuting sitkom yang pernah saya ikut bermain, kan pemainnya banyak yang punya jam terbang tinggi, belum lagi kalau ada bintang tamu aktor dan aktris yang punya kemampuan akting sangat bagus. Saya jadi bisa belajar banyak dan menggali ilmu dari mereka terutama soal akting,” terang Ge.
Dengan berusaha untuk terus belajar, Ge mendapat kesempatan tak hanya bermain di film bergenre komedi. Sejumlah film yang lebih bernuansa drama pun pernah dibintanginya, seperti Negeri Van Oranje dan Aisyah, Biarkan Kami Bersaudara.
Tak menutup kemungkinan, di film-filmnya mendatang, pemilik nama lengkap Genrifinadi Pamungkas ini bisa saja mendapat peran yang lebih bernuansa dramatik. Padahal terjun di dunia film sama sekali tak pernah terbayangkan olehnya. Pria kelahiran Jakarta, 25 Januari 1989 ini mengawali karir sebagai komika dengan mengikuti ajang Stand Up Comedy Indonesia (SUCI) yang diadakan sebuah stasiun TV swasta.
Ge mengikuti SUCI season kedua di tahun 2012. Alumnus Universitas Parahyangan Bandung ini seangkatan dengan Gilang Bhaskara, Boris Bokir dan Randhika Jamil. Komika yang mampu memperagakan berbagai macam adegan dan menirukan berbagai karakter suara ini berhasil menjadi juara pertama.
Dua tahun kemudian, ia sudah melangkahkan kaki di dunia film. Debutnya adalah peran kecil di film Luntang Lantung, lalu cameo di Marmut Merah Jambu dan Comic 8 yang kemudian membuat namanya mulai dikenal. Selain itu, Ge tampil di beberapa program komedi, termasuk Malam Minggu Miko kreasi Raditya Dika.
Yang membuat nama Ge makin mengemuka adalah perannya sebagai Andika di serial komedi (sitcom) The East yang tayang di sebuah stasiun TV swasta. Ge bahkan mengakui banyak yang ia dapat selama membintangi serial tersebut. Pelajaran apa saja yang didapat oleh Ge? Apa juga yang membuatnya tertarik berkiprah di dunia akting?
Bagaimana dengan karirnya sebagai komika dan mengapa ia sempat mengira bermain film itu lebih mudah daripada tampil sebagai komika di atas panggung? Simak hasil wawancara Henry dengan Ge Pamungkas yang bertandang ke redaksi Bintang.com di kawasan Gondangdia Jakarta Pusat, Jumat (5/8/2016).
What's On Fimela
powered by
1
Ge Pamungkas termasuk komika yang cukup punya pengalaman di ranah akting. Tak hanya bermain di genre komedi, sejumlah film bergenre drama juga pernah dibintanginya. Bahkan tak sekedar sebagai pelengkap tapi juga sebagai salah seorang pemain utama.
Apa kesibukan sekarang ini?
Masih seperti biasa, tampil sebagai komika di acara televisi atau di acara off-air dan ikutan jadi juri di SUCA 2 di Indosiar.
Bagaimana dengan film terbaru?
Film baru sudah ada, tapi belum bisa diceritain sekarang, hehehe.
Terakhir main di film Aisyah: Biarkan Kami Bersaudara yang murni drama, gimana kesannya?
Iya, di film Aisyah aku sebagai Pedro, teman lamanya Asiyah (Laudya Cynthia Bella). Dia naksir sama Aisyah, jadi saya harus bisa memerankan orang yang benar-benar suka sama Aisyah. Padahal saya aja baru kenalan sama Bella pas mau syuting.
Jadi bagaimana cara menghayati peran tersebut?
Syuting nya kan di Atambua dan saya datan lebih dulu dari Bella. Pas Bella datang, saya langsung ketemua dia dan kita berusaha intens jalan bareng dan banyak ngobrol. Terus, saya juga harus bisa logat Sunda, padahal saya nggak bisa yang pas gitu logat Sunda nya meski lama kuliah di Bandung, hahaha. Yang jelas, saya berusaha sebaik mungkin bermain di film Aisyah, karena ini memang drama banget dan saya nggak harus melucu di sini.
Bagaimana dengan Negeri Van Oranje yang juga bergenre drama?
Itu juga genre drama tapi beda karena perannya lebih ceria dan ceritanya juga beda, lebih ke perhasabatan. Di film itu juga menarik, karena ceritanya tentang lima sahabat yang dekat banget. Padahal saya, Abimana (Aryasatya), Chicco (Jerikho), Arifin (Putra) dan Tatjana (Saphira) baru saling kenal pas persiapan syuting Negeri van Oranje di Jakarta.
Lalu bagaimana membangun chemistry supaya meyakinkan sebagai sahabat?
Kita kan ada coach akting. Kita memang harus reading lebih dulu, tapi bagi coach kita reading itu bukan yang utama. Dia justru ngajak kita ngelakuin berbagai game dan permainan yang seru. Ternyata bener aja, kita jadi lebih deket dan bisa nge-blend cuma dalam waktu beberapa hari. Film itu berkesan banget buat saya.
Apa yang paling berkesan?
Kita masih sahabatan sampai sekarang. Malahan kita lebih suka manggil nama peran kita di Negeri Van Oranje. Kita memang nggak intens ketemuan, tapi ada waktu tertentu kita kumpul bareng. Saya sendiri paling deket sama Chicco, orangnya asik dan rock ‘n roll banget. Temen-temen saya bilang saya jadi beda kalau ketemuan sama mereka berempat. Nggak tahu kenapa saya jadi kebawa sama karakter mereka masing-masing. Misalnya kalau ngobrol sama Abimana saya jadi lebih serius, karena dia kan suka hal-hal filosofis.
Selama syuting film apakah sering melakukan improvisasi?
Kalau untuk film komedi, biasanya sekitar 80 persen harus sesuai naskah dan sisanya 20 persen improvisasi di lapangan. Soalnya kalau komedi biasanya baru terasa lucu atau nggak pas di lokasi syuting. Atau biasanya ada ide-ide baru di lokasi yang terasa lebih lucu. Tapi tetap harus sesuai sama alur cerita dan nggak merusak cerita utamanya.
Bagaimana dengan improvisasi di film drama?
Di film yang bukan komedi juga ada improvisasi, tapi materinya pasti beda. Biasanya lebih pada suasana. Kadang ada adegan yang kurang sesuai sama suasana atau lokasi tempat kita syuting. Misalnya ada dialog soal cuaca yang dingin padahal di lokasi lagi panas-panasnya, itu kan bisa saja diubah atau diganti.
Bagaimana kesan berakting di serial televisi?
Kalau di The East kebetulan saya sudah nggak ikutan lagi, ya karena itu mau fokus sama Stand Up dan mengisi program SUCA 2 di Indosiar. Selama bermain di sitkom rasanya seru dan banyak pengalaman yang didapat.
Apa saja pengalaman yang didapat?
Yang pasti pengalaman dalam hal akting. Saya senang banget karena bisa main bareng aktor-aktor yang sudah dikenal kualitas aktingnya. Ada Lukman Sardi, Tara Basro, Tanta Ginting, Julie Estelle, Ayushita, Gista si Miss Mega Kuningan, mereka ini kan pengalaman aktingnya dan jam terbangnya sudah banyak banget. Meski begitu mereka tetap humble, rendah hati jadi enak diajak ngobrol dan diskusi. Makanya saya banyak dapat pengalaman dan pelajaran dari mereka-mereka ini.
Siapa yang paling sering berbagi pengalaman?
Semuanya berbagi pengalaman, terutama mas Lukman Sardi yang paling senior. Dia sering kasih masukan dan ceritain pengalamannya. Contohnya waktu dia berperan jadi pejuang kemerdekaan yang bersetting di era 45. Katanya dia sama sekali nggak nonton televisi dan nggak pegang gagdet selama syuting biar lebih menghayati perannya. Karir akting saya bisa dibilang karena pengaruh mas Lukman dan pemain The East lainnya, karena mereka udah matang dan udah makan asam garam dalam bidang akting, hahaha. Apalagi kalau ada bintang tamu seperti Mathias Muchus. Dia welcome banget dan berbagi pengalamannya di dunia akting.
2
Menjadi pemain film dan bermain di sejumlah program televisi memang tak pernah dibayangkan sebelumnya oleh Ge Pamungkas. Kekasih Anggie Ang ini bahkan pernah menilai menjadi seorang aktor tak lebih sulit dari seorang komika yang harus mencari bahan sendiri dan membawakannya di hadapan banyak orang. Namun dugaan Ge ternyata kurang tepat.
Bagaimana kalau ada tawaran main serial atau sinetron?
Kayaknya nggak dulu. Kalau untuk main serial komedi atau sitcom ya mungkin nanti bisa aja ikut main, tapi kalau untuk sinetron kayaknya nggak lah. Mau fokus di film aja.
Bagaimana awalnya terjun ke dunia film?
Saya ini sebenarnya orang yang fokus sama satu bidang . Kalau satu bidang ini sudah mantap baru mencoba di bidang lain jadi nggak mau aji mumpung. Tapi tiba-tiba waktu baru merintis karir sebagai komika, diajak sama Fajar Nugros buat main film. Saya dapat peran kecil, tokoh antagonis di film Luntang Lantung. Saya langsung dapat peran tanpa proses kasting. Mungkin mereka pernah melihat saya tampil di SUCI atau di panggung Stand Up lain dan tertarik buat ngajak main film.
Di film selanjutnya juga tanpa proses kasting?
Di film Comic 8 yang pertama saya juga diajak sama Anggy (Umbara). Sebenarnya pemeran utama Comic 8 sudah dapat semua, tapi Ernest (Prakasa) nanya ke Anggy, kenapa nggak ngajak Ge? Dari situ Anggy ngeliat saya tampil di panggung Stand Up. Ternyata dia tertarik dan ngajak saya jadi cameo di Comic 8. Setelah itu, saya jadi salah satu pemeran utama di sekuel Comic 8.
Bagaimana kesannya setelah menjadi aktor, apakah akting hal yang sulit?
Tadinya saya pikir jadi aktor itu nggak lebih sulit daripada melawak atau jadi komika. Kalau Stand Up kan lebih susah karena harus ngumpulin bahan dan membawakan materi itu supaya orang-orang bisa suka dan ketawa. Kalau aktor atau pemain film kan tinggal menghapal naskah dan akting sesuai peran yang mereka dapat. Tapi ternyata nggak seperti itu juga. Karena seorang aktor itu harus punya rasa. Dia harus bisa membawakan perannya dengan baik dan meyakinkan penonton, nggak hanya lewat dialog tapi juga lewat bahasa tubuh sampai tatapan mata. Aktor juga nggak harus teriak-teriak dalam menyalurkan emosi, tapi cukup lewat bahasa tubuh.
Apa lagi perbedaan yang paling terasa antara aktor dan komika?
Kalau jadi aktor yang baik itu nggak boleh egois, karena film itu kan milik bersama jadi butuh kerjasama yang baik. Beda sama Stand Up atau komika. Kalau saya tampil Stand Up, materinya ya terserah saya mau seperti apa, mau pakai gaya bahasa seperti apa dan bahannya diambil dari mana aja. Yang penting menurut saya itu bagus dan bisa disukai penonton. Kalau gaya seperti itu diterapkan dalam posisi seorang aktor, ya nggak bakalan bisa.
Bakal lebih fokus di akting atau Stand Up Comedy?
Jalanin dua-duanya aja. Tapi Stand Up Comedy tetap yang utama bagi saya. Malahan dengan bermain film, saya jadi banyak dapat bahan untuk Stand Up. Main di film komedi, drama atau genre lain, bisa jadi masukan bagi saya untuk materi lawakan yang menarik. Bahan Stand Up yang paling bagus dan enak itu dari pengalaman kita sendiri. Itu terasa lebih jujur dan lebih disukai penonton.
Apa tanggapannya dengan banyaknya komika bermain film dan sinetron?
Bagus-bagus aja, asalkan nggak aji mumpung aja. Tapi saya rasa mereka nggak akan seperti itu, karena ini sebuah kemajuan. Di luar negeri seperti di Hollywod, banyak aktor bagus yang berasal dari Stand Up Comedy seperti Robin Williams misalnya. Di sini sudah mulai terjadi dan mudah-mudahan ke depannya akan lebih bagus lagi.
Siapa aktor dan komedian favorit?
Banyak sih, apalagi komedian favorit. Yang saya paling ingat aja. Pastinya Robin Williams, dia aktor sekaligus komedian jempolan. Terus saya juga suka Jim Carrey, Jackie Chan, Stephen Chow. Terus ada komedian lawas, Michael Winslow. Dia yang main film Police Academy dan bisa niruin berbagai macam suara, keren banget. Kalau di Indonesia, paling suka Reza Rahadian pastinya. Saya juga suka Chicco Jerikho, suka ngelihat cara dia bermain, bahasa tubuhnya dan cara ngomongnya asik banget. Arifin Putra juga bagus. Saya lebih suka mengamati akting para aktor karena dari mereka ada yang bisa saya ambil sebagai referensi dan pelajaran. Kalau aktris saya lebih nikmati aktingnya aja, nggak mungkin juga saya mengambil gaya akting mereka kan.
Kalau komedian atau komika Indonesia?
Banyak juga dong. Ada Ernest Prakasa sama Pandji Pragiwaksono, mereka berdua ini etos kerjanya luar biasa seolah-olah hari ini adalah hari terakhir hidup mereka. Raditya Dika juga, dia punya konsep paling bagus, karena dia memang mempelajari itu. Mo Sidik dan Ricky Hasibuan juga, terutama dalam hal Stand Up memakai bahasa Inggris. Gaya Stand Up dengan memakai bahasa Inggris itu beda banget dan mereka berdua itu jagonya. Tapi yang paling saya segani itu Arie Kriting. Kalau di panggung Stand Up saya nggak mau dia tampil sebelum saya. Materi lawakan dia itu lebih komplit terutama soal referensi. Cuma dia yang menguasai materi lawakan khas Indonesia Timur, tapi dia juga menguasai budaya lain termasuk gaya Srimulat. Nah, kalau saya dan komika lainnya mana bisa seperti itu, apalagi materi dari Indonesia Timur.
Tanggapan tentang banyaknya acara Stand Up Comedy di televisi?
Sebenarnya banyak sih lomba-lomba Stand Up Comedy di panggung lain. Malahan acara orang-orang kantoran sekarang banyak yang ngadain lomba Stand Up Comedy. Kalau di televisi tentunya bagus dan sangat mendukung, apalagi saya juga ikutan di SUCA 2. Tadinya banyak yang mengira ini hanya sekadar tren. Tapi ternyata sudah empat tahun lebih justru makin berkembang, bahkan banyak komika yang sudah merambah ke banyak bidang.
Apa rencana ke depannya?
Yang terdekat, mau menggelar special show yang sudah tertunda dari tahun lalu. Mudah-mudahan bulan Oktober nanti bisa terlaksana, rencananya di Jakarta. Untuk film ada beberapa proyek, mudah-mudahan juga bisa berjalan lancar.
Pengalaman memang membuat Ge Pamungkas mendapat banyak masukan dan tambahan ilmu serta wawasan. Tak hanya bermain film, sejumlah program dan serial televisi pernah dijalani olehnya. Ge juga termasuk beruntung bisa mendapat pengalaman dan pelajaran dari sejumlah aktor terbaik di negeri ini. Hal itu membuat Ge semakin lengkap sebagai komika maupun aktor.