Fimela.com, Jakarta Persepsi 'some stories stay with us forever' memang benar adanya. Dan bagi saya, tak memasukkan Harry Potter ke dalam daftar singkat itu terasa seperti sebuah dosa. Bagaimana tidak, saya, yang notabene lahir di pertengahan tahun 90-an, dan mungkin miliaran anak lain di dunia dibuat jatuh hati, hingga akhirnya membiarkan sang tokoh fiksi Harry James Potter ikut serta dalam guliran waktu.
Nada pembuka yang hingga kini masih sukses membuat mata saya berkaca-kaca, karena berserakan segudang memori dan nostalgia di dalamnya, aksen Britania Raya yang timbulkan pikiran 'keep talking i'm listening' akibat begitu indahnya, sampai sejumlah mantra yang masih lekat di pikiran saya yang biasa-biasa ini, semua berpadu membentuk definisi Harry Potter.
Sebelum berbicara lebih jauh, Harry Potter yang saya maksud di sini merupakan kombinasi buku dengan film. Karena Harry Potter and The Philosopher's Stone (saya lebih nyaman menyematkan HP1 dengan Philosopher daripada Sorcerer) adalah buku berbahasa asing pertama yang saya baca, sekaligus film perdana yang saya tonton di layar lebar.
Tetap saya ingat betul sensasinya ketika kali pertama menekuni lembar demi lembar buku karya Joanne Kathleen Rowling tersebut. Sedikit tersendat memang, maklum itu adalah upaya perdana saya membaca buku dengan tak menggunakan 'bahasa ibu', namun setidaknya plot menarik dari keseharian murid Hogwarts, yang jauh dari kata normal, selalu saya tunggu setiap hari selepas pulang sekolah.
Di samping itu, tak berlebihan sepertinya jika menyebut Harry Potter sebagai gerbang kecintaan saya akan mitologi Yunani. Saya yang kala itu tak tahu di mana letak Negeri Para Dewa ditarik sejadi-jadinya untuk menyelami ragam perihal kuno. Alhasil, berkenalan lah saya dengan sederet nama seperti Hecate, Scathach dan Perenelle berkat The Secrets of The Immortal Nicholas Flamel.
Bak diserang sindrom nagih, saya makin sering menghabiskan waktu dengan goresan aksara atau dialog-dialog film Harry Potter. Tak lain tak bukan, maksudnya adalah untuk mencari persepsi baru, juga sederet pengetahuan 'anonim'. Karena berwujud dalam 'wajah' buku dan film, saya memutuskan untuk setia mengikuti keduanya.
Dengan pengemasan berbeda, saya pikir saya harus tetap membuka diri untuk tak jadi follower dari salah satunya saja. Sehingga ketika 'adegan' di film tak ada namun di buku ada, lantas saya tak terlalu kepalang berkecil hati. Namun demikian, ambyarkah imaji akan Harry Potter karena selisih paras tersebut?
What's On Fimela
powered by
Beda Puzzle Film dan Buku Harry Potter
Berkenaan dengan beda kemasan itu, jujur saya menyayangkan di satu-dua poin. Meski telah berusaha menanamkan pikiran kalau film dan buku merupakan media berbeda walau ada adaptasi di satu sama lain, namun tetap saja, saya otomatis kecewa karena telah membentuk ekspektasi visual dari novel yang sebelumnya telah 'dilahap'.
Tak harus persis, namun setidaknya jangan sejauh, ambil saja contohnya Harry Potter and The Half Blood Prince. Selagi membaca buku keenam itu, saya sudah penasaran tentang bagaimana digambarkan rumah masa kecil Tom Riddle atau lebih beken dengan nama Lord Voldemort, lengkap dengan ular besar yang dipaku tepat di muka pintu.
Juga tentang wajah ibu sang tokoh antagonis yang merupakan keturunan Salazar Slytherin. Namun setelah keluar bioskop, saya kehilangan perbendaharaan kata. "Salah memang telah berekspektasi," pikir saya di tahun 2009 itu. Namun syukur lah, akting Tom Felton sebagai Draco Malfoy, karakter kesukaan saya sejak HP1, bisa jadi pelipur lara.
Selebihnya, perbedaan puzzle yang menyusun, baik film atau buku, masih bisa diterima dengan lapang dada. Satu yang benar-benar membuat saya selalu luluh adalah alur twist dengan banyak clue di depan untuk menggiring opini, namun berakhir dengan konklusi tak terduga. Severus Snape yang hingga kini nama tengahnya tak juga saya tahu bisa jadi contoh paling mudah untuk 'teori' tersebut.
Dari buku atau film pertama hingga ke keenam, lelaki sebatang kara itu konstan digambarkan sebagai musuh Harry Potter. Namun siapa sangka, Snape malah menyayangi Lilly Potter, ibu Harry, dengan cara yang mungkin tak pernah orang lain lakukan. Haru biru bercampur tak percaya sekiranya bisa jadi deskripsi tepat untuk scene singkat di penghujung Harry Potter and The Deathly Hallows.
Terlepas dari berbagai gegap gempita, euforia, dan pil pahit yang bersumber dari Harry Potter, saya tetap bersyukur untuk setiap lengseran ekspektasi atau kejutan manis dari JK Rowling atau sineas genuis di balik film bergenre fiksi fantasi tersebut. Kisah khayal yang mungkin tak seabsurd itu lah yang menemani saya tumbuh besar, walau belum tentu dewasa ini.
Harry Potter tak semata berisikan gabungan scene dengan pesan moral biasa, melainkan dikemas dalam rupa yang sangat-sangat menarik, di mana terdapat kreatifitas, kerja keras, konsistensi, dan tentu saja harapan di dalamnya. Akhir kata, saya bisa berkata, saya adalah satu dari sekian anak yang tumbuh besar bersama Harry Potter. Apakah kita di tim yang sama?
Asnida Riani,
Editor Kanal Style Bintang.com