Fimela.com, Jakarta Belum lama menggantikan Anies Baswedan, sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Muhadjir Effendy mngusulkan sebuah rencana perubahan sistem pendidikan di Indonesia. Intinya, dia ingin sekolah-sekolah setingkat dasar dan menengah menggunakan sistem full day school. Artinya, para murid akan masuk seperti biasa, tapi pulang pulang pukul 17.00.
Sontak saja, ide ini menuai pro dan kontra. Hasilnya, banyak orang yang mengutarakan sikap negatifnya terhadap sistem ini. Seperti yang diwartakan Liputan6, Ketua KPAI Asrorun Ni'am Sholeh berpendapat sistem ini justru akan mengganggu interaksi anak dengan orangtua mereka. Sementara itu, alasan Muhadjir ingin menggunakan sistem ini agar anak-anak tak keluyuran usai pulang dari sekolah masing-masing.
Melihat kedua belah pihak, baik yang pro dan kontra, saya kembali berpikir mengenai ide sistem pendidikan ini. Kebetulan, saya pernah merasakan sistem yang mirip seperti pada waktu saya duduk di bangku sekolah dulu. Sejak kelas 3 hingga 12, saya masuk sekolah pukul 7.15 WIB dan pulang pukul 16.00 WIB.
Selama berada di sekolah, saya bukan hanya belajar di kelas, tapi juga bermain dan menjalani sebuah proyek mingguan. Sekolah yang terletak di kawasan Cibubur, Jakarta Timur itu, memang memiliki cara pengajaran dan aturan-aturan yang berbeda. Sehingga, program 7.15-16.00 itu bisa dilaksanakan.
Setelah seharian berada di sekolah, saya memang memiliki waktu yang sangat sedikit dengan orangtua pada hari-hari biasanya. Tapi, pada hari Sabtu dan Minggu, sekolah diliburkan. Di akhir pekan inilah saya dan kedua orangtua berusaha untuk menghabiskan waktu bersama. "Sabtu dan Minggu menjadi harinya anak-anak," begitu kata ibu saya dulu.
Mungkin belum bisa dikatakan full day school seperti yang diinginkan Muhadjir. Tapi, kurang lebih sekolah tersebut menerapkan sistem yang hampir sama dengan sistem full day school. Saya yang sempat merasakan sistem ini mulai berpikir tentang ide Muhadjir yang mengundang berbagai pendapat. Ada beberapa poin yang menarik untuk dipikirkan ulang.
Salah satunya alasan Muhadjir mencanangkan gagasan ini agar anak-anak tidak keluyuran usai sekolah. Sementara, inti dari sistem full day school versi sekolah saya dulu lebih menekankan kepada pendidikan di sekolah yang menyeluruh dan efisien. Sekolah sudah sepatutnya memberikan pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan anak.
Esensi Sistem Sekolah Sehari Penuh
Dengan mengamati kegiatan anak di sekolah selama hampir satu hari, guru bisa memerhatikan anak satu persatu. Bukan hanya kemampuannya dalam menghitung dan membaca. Tapi juga memerhatikan kecerdasan emosi dan sosial. Untuk bisa memahami anak, perlu adanya perhatian dan pengawasan dalam satu hari. Lagi pula, menyisir pengetahuan guru dan pendidik mengenai anak-anak didiknya tak hanya bisa dengan melihat nilai-nilai mereka di kelas.
Justru, pendidikan hidup yang terpenting adalah saat mereka berada di luar kelas. Dan membangun kecerdasan emosi serta sosial ini tidak mudah. Lebih repot lagi, ketika para guru harus membantu para anak didiknya menyeimbangkan tiga kecerdasan sekaligus. Ini hanya bisa dilakukan dengan mengamati dan juga mendidik satu harian penuh, seiring dengan anak-anak didik melakukan aktivitas kesehariannya.
Namun rasanya cukup sulit dilakukan di beberapa sekolah di Indonesia. karena poin selanjutnya yang harus dikaji ulang adalah kesiapan pendidik di tiap-tiap sekolah. Jangan dulu berbicara tentang kualitas dan juga sertifikasi guru. Jumlah guru yang nungguin anak-anak di sekolah seharian rasanya tidak cukup. Karena, demi menjalankan sistem ini dengan baik, guru harus terus mendampingi anak-anaknya dalam setiap kegiatan di sekolah. Ada berapa jumlah murid dalam satu kelas? Ada berapa guru di satu sekolah?
Belum lagi program-program pengajaran yang tak bisa hanya belajar-istirahat-belajar lagi. Anak juga perlu bermain dan bekerja. Artinya, demi menjalani sistem full day school ini, sekolah harus punya program pendidikan baru. Juga jadwal baru. Ada begitu banyak yang harus dipersiapkan sebelum menjalani sistem ini untuk seluruh sekolah di Indonesia.
Tapi, bukan berarti full day school itu tidak baik. Saya merasa anak tetap mendapat waktu untuk dihabiskan bersama keluarga dan teman-teman di luar satu sekolahnya. Ini hanya persoalan kerja sama antara orangtua dan juga pihak sekolah. Karena sebaik apa pun sistem pendidikan di sekolah tersebut, tak akan menelurkan anak didik yang cerdas secara akademis, emosional, dan sosial, kalau tak ada andil dari orangtua.
Anak didik mungkin bisa saja tak pulang ke rumah usai bersekolah dari pagi hingga siang hari. Tapi, tak menutup kemungkinan juga anak didik akan langsung pulang ke rumah usai menjalani aktivitas di sekolah hingga pukul 17.00 WIB. Mendidik anak rasanya akan menjadi semakin sulit ketika tak ada ikut serta dari pihak keluarga.
Karena itu, saya berpikir, mungkin ada hal lain selain mencegah anak keluyuran usai sekolah untuk menguatkan alasan full day school harus diimplementasikan. Sehingga, rencana diadakannya sistem ini akan menjadi lebih masuk akal dan nyata. Selain itu, jika memang program ini memiliki harapan yang besar untuk mencerdaskan bangsa, saya harap Muhadjir tak buru-buru mencabut rencananya hanya karena banyak orang yang kontra dengan ide ini. Penekanan pada pendidikan Indonesia bukan lagi pada kepintaran sebatas hitung dan membaca. Bukan juga sekadar nilai di atas kertas. Tapi bagaimana menyeimbangkan serangkaian kecerdasan anak.
Karla Farhana,
Editor Feed, Bintang.com