Fimela.com, Jakarta Istimewa. Mendengar kata tersebut, apa yang terlintas di pikiranmu? Beberapa orang mungkin akan mengingat slogan dari girlband bernama Cherrybelle, sedangkan beberapa lainnya akan mengingat pastel kenamaan di Jakarta, Mak Cik. Namun, lebih dari itu, bagi saya, istimewa bukanlah milik mereka berdua. Bagi saya, istimewa hanya milik Yogyakarta, sebuah kota kecil di selatan Pulau Jawa.
Jauh sebelum Jakarta dan hiruk pikuknya menyandang predikat sebagai ibu kota negeri ini, Jogja, sapaan beken Yogyakarta, telah lebih dulu menyandang status bergengsi tersebut. Meski tak seberapa lama, namun hal tersebut akan selalu terukir dalam barisan aksara di buku sejarah pendidikan Indonesia. Entah pada bab apa.
Tak hanya sebatas tenar dengan slogan "istimewa", Jogja juga kerap disebut-sebut sebagai Kota Berhati Nyaman. Sungguh personifikasi yang sangat brilian untuk seukuran slogan kota. Narsis memang, namun bagi saya itu adalah narsis yang elegan. Di mana bukan hanya sekadar janji untuk membuat seseorang jatuh hati, namun juga kenyamanan yang hakiki. Warbiyasak!
Pertama kali saya menginjakkan kaki di Jogja, pada 2012 silam, saya pribadi merasakan atmosfer yang berbeda dari kota-kota di luar Jakarta yang pernah saya sambangi sebelumnya, yang bisa jadi, perasaan saya saat itu juga diamini oleh tiap orang yang pernah berkunjung ke sana. Tanpa alasan yang jelas, saya ingin kembali lagi ke Jogja. Mungkin, saya telah jatuh cinta pada pijakan kaki pertama.
Benar saja, selepas 2012, di tahun-tahun berikutnya, saya bisa dua atau tiga kali untuk mengobati rindu dalam beberapa hari yang saya sisihkan. Bukan cuma soal hati saya telah terpaut oleh salah satu warga Jogja, tapi ya itu tadi, atmosfernya sukses merayu saya untuk kembali lagi, lagi, dan lagi. Keramahan para penduduk bukan satu-satunya hal yang membuat saya betah berada di sana, namun juga kemurahan dari setiap apa-apa yang dijajakan pedagang. Sebut saja makanan.
"Pulang ke kotamu, ada setangkup haru dalam rindu. Masih seperti dulu, tiap sudut menyapaku bersahabat penuh selaksa makna…"
Sastrawan kawakan Joko Pinurbo a.k.a Jokpin pernah mengatakan bahwa “Jogja itu terbuat dari rindu, pulang, dan angkringan.”. Saya pribadi, sejak 2012 hingga Juni tahun ini, ketika saya merasa rindu dan kemudian ‘pulang’ ke Jogja, saya hanya beberapa kali mengunjungi di angkringan untuk sekadar mengakrabkan diri dengan Tanah Mataram.
Bagi Jokpin dan beberapa orang lainnya, mungkin Jogja dan angkringan adalah satu kesatuan yang tak terpisahkan. Di mana angkringan adalah salah satu pengingat bahwa ada keistimewaan Yogyakarta di sana. Namun, tidak bagi saya. Sebagai ‘anak baru’ yang mencintai Kota Pelajar, kurang tepat rasanya jika saya sejajar dengan Generasi Angkringan. Tanpa mengurangi rasa hormat terhadap Tanah Mataram, saya mungkin lebih pantas jika disandingkan dengan Generasi Burjoan.
Jogja Berhati Nyam-nyam
Ya, yang saya tahu, satu dekade lebih belakangan ini, ketimbang dikuasai oleh gerobak-gerobak angkringan, Jogja lebih diramaikan oleh petak-petak warung burjo, akronim beken dari bubur kacang ijo. Seperti jamur, dalam kurun waktu yang tak tentu, warung burjo bisa berkembang biak menjajah daerah-daerah strategis, sebut saja sekitar kampus atau sudut jalan. Keberadaannya lebih banyak dari kedai makanan pendahulunya, bakul gudeg dan angkringan.
Sesuai dengan namanya, Anda pasti berpikir jika warung burjo akan menjual makanan yahud bernama bubur kacang ijo. Jika Anda berpikir demikian beberapa tahun silam mungkin halal-halal saja. Namun, jika pikiran tersebut terlintas hingga saat ini, hmmm Anda keliru jauh.
Warung burjo yang semestinya menjual produk sesuai dengan nama, kini justru melebarkan sayap ke makanan-makanan modern hingga melupakan 'kulit'nya. Kurang modern apa nasi sarden, nasi telor, nasi sayur, dan nasi dengan lauk pauk kekinian lainnya dibanding semangkuk bubur kacang ijo yang terlalu manis untuk dilupakan?
Lupakanlah warung burjo yang mulai kehilangan identitasnya.
Selain koloni warung burjo yang keberadaannya semakin mengkhawatirkan, kini banyak pula warung makan fancy yang outlet-nya mewarnai jalan-jalan di Yogyakarta. Sepemandangan saya sebagai anak baru pecinta Kota Gudeg, kini Gudeg tak lagi jadi primadona di sana. Melainkan deretan outlet makanan dengan berbagai bahan dasar, tema, dan variasi harga kini menjadi 'tuan rumah' bagi perut-perut yang butuh pemadam kelaparan.
Saya sendiri tak memiliki data pasti berapa banyak angkringan, warung burjo dan outlet makanan fancy yang ada di Kota Budaya itu. Tapi, jika dilihat dari akun-akun rekomendasi makanan di Jogja yang ada di Instagram, seperti @ceritamakan, @javafoodie, @jogjafood, @kulinerjogja, @foodgram_yk, @kulinerhore, @jogjafoodhunter, @jogjataste, @jogjaeaters, @brojajan, @kulineran_yk, dan kawan-kawannya, maka, Anda sendiri mungkin dapat menyimpulkan jika Jogja bukan hanya Kota Berhati Nyaman, tetapi juga Kota Berhati Nyam-nyam. Begitu slogan guyon yang pernah saya baca di media sosial.
Selamat 'pulang' ke Jogja, Kota Berhati Nyam-nyam. Tabik!
Febriyani Frisca
Editor Kanal Unique