Editor Says: Garis Batas dan Krisis Identitas

Asnida Riani diperbarui 21 Jul 2016, 12:14 WIB

Fimela.com, Jakarta Rupanya boleh saja hanya berupa simbol putus-putus di peta, namun perbatasan merupakan harga diri, identitas, dan (tentu saja) rumah. Saya, kamu, dan banyak orang yang lahir sekaligus tumbuh di kota besar mungkin hampir mengacuhkan mereka yang ternyata jadi 'wajah pertama' suatu negara.

Bukan dari tayangan National Geographic yang dengan tekun saya tonton sedari kecil, pun tak karena film karya Rudy Soedjarwo berjudul Batas, perkenalan sesungguhnya antara saya dengan border malah dihantarkan lembaran buku karya Agustinus Wibowo.

Ya, bait demi bait aksara milik lelaki asal Lumajang itu sukses menambat hati saya sejadi-jadinya. Bukan karena telah menjejak 'tanah surga' di negeri atap dunia, namun dalam perspektif saya, ia berhasil memaknai perjalanan untuk akhirnya membuat kandungan pesan dalam kisah tersebut tak menyublim.

Lewat 'mata' Agustinus, saya melihat garis batas bukan sekedar pemisah dua atau lebih negara. Namun juga hukum saklek antara kita dan mereka. Pembatas yang toh pada beberapa kasus hanya berupa patok atau cetakan putih di legam aspal itu nyatanya jadi penentu pribumi dan asing.

Sekarang mari kita bayangkan. Dengan ragam cara, bahkan tak ayal hanya dengan perbincangan belasan menit, batas negara ditentukan. Kemudian muncul birokrasi, mata uang, pemerintah, dan tetek bengek lainnya. Menciptakan dinding semu teman sebangsa dan bukan, juga tak jarang jadi pemisah antar pribadi yang menitip rindu pada pagar atau bentangan jembatan.

Ketika Agustinus mengisahkan salah satu 'scene' di Koridor Wakhan, saya seperti bisa merasakan atmosfer suka bercampur haru di 'leher kurus' Afghanistan. Bagaimana tidak, ketika Soviet dengan seenak jidat memetakan negeri stan, banyak anggota keluarga yang terpisah.

Ayah jadi Tajik, ibu tetap Afghan. Maka keberadaan pasar internasional yang hanya berlaku sepekan sekali, yakni di hari Sabtu, kala orang Afghan bisa bersinggungan langsung dengan para penghuni seberang sungai, jadi satu-satunya cara untuk berkumpul keluarga. Dengan demikian, masihkah garis batas jadi sekedar pemisah hukum?

2 dari 2 halaman

Momok Stateless

Warga Papua Nugini. (Daily Mail)

Lampaui lakon sebagai pembeda 'punyaku dan punyamu', garis batas juga sedikit-banyak bertanggung jawab akan deraan krisis identitas. Meski tak harus terjadi di 'tanah pangkal', namun sejumlah kasus menunjukkan mereka yang berada di border jadi pengidap paling rentan.

Terlepas dari, misalnya ruang tamu di Indonesia dan dapur di Malaysia, krisis ini mungkin lebih merefleksikan pada pejuang Papua merdeka yang sekarang berdiam di Papua Nugini. Berada di kamp berstatus stateless, kata 'mata-mata' jadi yang paling diwaspadai di sini.

Jangan tanyakan soal seberapa bahaya pergi ke tempat-tempat macam Iowara dan Kiunga. Salah-salah, pendatang bisa pulang dalam peti jenazah. Fenomena itu menunjukkan garis batas sungguh jadi 'senjata' ampuh untuk memupuk curiga yang berujung pada menghilangkan nyawa.

Entah mengapa saya jadi berpikir, ungkapan 'it is okay to do such things. His heart is broken', begitu tepat dinobatkan pada anggota Organisasi Papua Merdeka (OPM). Hati dan jiwa mereka sangat mungkin porak poranda karena tak bisa pulang ke 'rumah' yang hingga kini masih jadi bagian 'negara tak diinginkan'.

Jutaan sel tubuh mereka memanggil Papua sebagai rumah, namun secara konkrit tak bisa menjejak dan meminum air dari 'tanah impian'. Angan untuk bisa berwarga negara Papua lebur dan akhirnya hanya tersisa asa jauh di pedalaman Papua Nugini. Kemudian, bagaimana bisa krisis identitas tak melanda?

“Kami tinggal di border ini untuk pertahankan sebagai badan perjuangan. Apabila kami pindah dan border kosong, maka perjuangan habis, dan orang Papua tidak akan merdeka. Untuk itulah kami terus bertahan,” ungkap salah satu pengungsi di Kaiunga, Eduardus, dalam bahasa Melayu yang sangat fasih kepada Agustinus Wibowo.

Satu-dua petikan kisah tentang perbatasan ini membuat saya berpikir. Sebenarnya untuk apa kotak-kotak wilayah di Bumi? Bukankah kita bisa menjelajah tanpa celah (secara harfiah) dan tak perlu repot berurusan dengan imigrasi dan mengantre di ruang kecil apak demi visa? Coba kamu ingat kembali, perempatan jalan dengan hanya lampu kuning jadi jauh lebih tertata, bukan?

 

Asnida Riani,

Editor Kanal Style Bintang.com