Fimela.com, Jakarta Harus diakui, kondisi perfilman Indonesia baru mulai mengalami peningkatan yang cukup signifikan dari segi penonton di tahun 2016. Sebelumnya, selama satu dekade terakhir banyak penonton yang merasa ragu untuk bertandang ke bioskop dan menyaksikan film karya anak bangsa. Kondisi 'krisis' semacam ini bermula dari kualitas cerita dari film Indonesia yang dianggap sebagian besar penonton masih kurang.
Sebut saja film-film horor yang hampir tak pernah absen menyelipkan adegan panas di durasi satu hingga dua jam penayangannya. Lalu, kisah cinta percintaan dua insan manusia yang dianggap kurang logis terjadi di kehidupan nyata. Bukan karena penonton tidak menyukai cerita drama, tapi lebih ke keinginan disuguhkan oleh cerita yang mengedukasi dan tentu relevan dengan kehidupan sehari-hari.
Bicara masalah data, laman filmindonesia.or.id memuat, dalam rentang tahun 2007 hingga 2015, hanya ada enam film Indonesia yang berhasil menembus angka dua juta penonton. Bahkan, di tahun 2011, tidak ada satu film pun karya anak negeri yang meraih angka satu juta penonton. Saat itu jumlah penonton tertinggi didapatkan oleh film Surat Kecil untuk Tuhan dengan perolehan 748.842 penonton.
Meski begitu, rekor jumlah penonton tertinggi di film Indonesia tercipta di tahun 2007 hingga 2015. Setidaknya, ada dua film Indonesia yang sukses merengkuh angka empat juta penonton. Yakni, Laskar Pelangi (2008) dengan 4.631.841 penonton dan Habibie & Ainun (2012) dengan 4.529.633 penonton. Lalu disusul dengan film Ayat-ayat Cinta (2008) dengan 3.581.947 penonton dan sekaligus menjadi satu-satu film yang berada di kisaran tiga juta penonton dalam rentang waktu tersebut.
Ada yang unik dari fenomena tiga film paling laris di tahun 2007 hingga 2015, yaitu ketiganya sama-sama diangkat dari novel. Bahkan, tokoh inspirasi dari Laskar Pelangi dan Habibie & Ainun benar adanya, bukan fiktif belaka. Tema biografi dan adaptasi novel pun sukses menjadi tren tersendiri di kalangan sineas Indonesia selama beberapa tahun terakhir.
Bagi saya, fenomena tersebut sangat menarik untuk ditelaah. Mengapa penonton cenderung lebih 'percaya' menyisihkan uangnya untuk menonton film Indonesia tentang biografi dan adaptasi novel? Sebegitu kurangkah kepercayaan masyarakat terhadap cerita fiktif karangan penulis skenario sebuah film? Atau memang terlalu besarnya keingintahuan penonton yang notabene penggemar novel dan seorang tokoh untuk menyaksikannya dalam 'wujud' film?
Serunya perfilman Indonesia di 2016
Seiring berjalannya waktu, tren film biografi dan adaptasi novel pun mulai bergeser. Beberapa film yang murni karangan penulis berhasil menduduki peringkat atas daftar film Indonesia terlaris di tiap tahunnya, bahkan menyentuh angka lebih dari satu juta penonton. Sebut saja film Ada Apa dengan Cinta 2 (2016), Single (2015), Comic 8: Casino Kings (2015), Comic 8 (2014), The Raid (2014), dan beberapa film lainnya.
Film Ada Apa dengan Cinta 2 yang menduduki posisi pertama Film Indonesia Terlaris 2016 itu sukses mengantongi lebih dari 3,6 juta penonton. Lalu disusul dengan film My Stupid Boss di posisi kedua dengan 3.048.437 penonton dan Comic 8: Casino Kings Part 2 dengan 1.835.644 penonton. Dua dari tiga film tersebut tercatat bukan adaptasi novel dan kisah biografi seseorang.
Terlepas dari fenomena 'pergeseran tren', menurut saya kondisi perfilman Indonesia di 2016 ini tengah seru. Mengapa? Dalam kurun waktu enam bulan pertama saja, sudah ada tujuh film yang menembus angka lebih dari satu juta penonton. Jelas, ini merupakan momen terindah sekaligus sejarah baru sepanjang perfilman Indonesia.
Munculnya beragam genre dan cerita ini membuat perfilman Indonesia semakin menarik. Penonton memiliki banyak alternatif untuk film yang ingin mereka tonton di bioskop. Terlebih lagi, kualitas efek visual dari film Indonesia yang semakin baik. Bahkan, disebut-sebut sudah mulai menyusul kecanggihan film produksi Hollywood. Pun para sineas kini tak hanya melihat film dari segi cerita dan kualitas saja, mereka sudah mulai mementingkan segi promosi.
Acara nonton bareng (nobar) mulai menjadi agenda rutin dari pemain dan kru saat film mereka tengah tayang di bioskop. Berbagai 'keistimewaan' pun ditawarkan untuk penonton yang ikut nobar, salah satunya dapat bertemu serta berfoto langsung dengan pemain. Bicara data, jumlah penonton dan popularitas dari sebuah film sukses meningkat berkat acara nobar.
Di sisi lain, selama beberapa tahun terakhir, sudah mulai banyak film Indonesia berkualitas yang maju di kancah internasional. Sebut saja A Copy of My Mind (2016) yang berhasil melenggang di tiga ajang bergengsi perfilman dunia seperti Venice Film Festival, Toronto International Film Festival dan Busan International Film Festival, serta beberapa film karya anak bangsa lainnya seperti Filosofi Kopi dan Aach Aku Jatuh Cinta.
Pun dari keseruan yang terjadi di 2016 ini diharapkan bakal terus berlanjut hingga ke tahun-tahun ke depan. Kembalinya kepercayaan penonton akan film-film Indonesia sudah sepatutnya dijaga dengan terus memproduksi film yang baik, mengedukasi, serta relevan dengan kehidupan bermasyarakat. Bagi para penikmat film, mulailah membuka mata akan pentingnya mendukung dan menonton film Indonesia. Sebab, karakter suatu bangsa tercermin dari sikap rakyatnya sendiri. Sekarang bukan lagi saatnya giat mengkritik, tanpa tindakan perubahan. Teruslah berpartisipasi membangun negeri lewat karya yang mampu dibanggakan. Maju terus perfilman Indonesia.
Regina Novanda,
Editor kanal Film Bintang.com