Fimela.com, Jakarta Pertemuan ustaz Wijayanto dengan Ulaya Ahdiani terjadi dari perkenalan Djauhar Muhsin, ayah Ulaya, yang saat itu menjabat Ketua Badan Wakaf Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta. Mereka sudah saling mengenal karena Wijayanto menjadi dosen tidak tetap di UII.
"Saya belum mengenal secara detil, meski saya dosennya sementara istri saya sebagai mahasiswa," kenang lelaki kelahiran Solo, 27 Desember 1968 itu saat dihubungi Bintang.com, Kamis (16/6/2016).
Baca Juga
Sebagai sosok yang cerdas, Wijayanto melanjutkan kuliahnya di Islamabad, Pakistan. Hubungan mereka yang telah terjalin terus berlanjut, meski terpisah negara. Surat menjadi andalan mereka menjalin komunikasi.
"Saat itu masih beum ada telepon, e-mail pun masih mahal dan harus pergi ke warnet. Handphone pun masih belum ada saat itu," kata Pengasuh Utama Pesantren Bina Anak Sholeh, Yogyakarta.
Sebelum berangkat ke Pakistan, Wijayanto memang sudah berniat untuk memperistri Ulaya. Saat Wijayanto lulus dari Islamabad, Ulaya pun lulus dari Sastra Inggris dari Universitas Gadjah Mada. Setelah di Indonesia, hubungan mereka kembali terjalin kembali.
"Saya tak melewati proses pacaran, tapi ta'aruf. Kalau saya berkunjung ke rumahnya, waktu saya hanya sampai jam 9 malam. Setelah itu, lampu rumahnya akan dimatikan. Mertua saya sangat disiplin. Mereka tidur jam 9 malam, mereka kemudian bangun jam 2 pagi untuk menjalankan salat tahajud. Begitu setiap hari,' papar Wijayanto.
Menikah dan Aktivitas
Setelah merasa cocok dengan Ulaya, Wijayanto kemudian melamarnya. Selain berasal dari keluarga yang baik, ia juga sudah diingatkan oleh keluarganya agar tak menikah di atas umur 30-an. Setelah lamaran, pembicaraan pun dilanjutkan dengan pernikahannya.
"Kami rencana menikah pada 1998, tapi Mas Wijayanto meminta untuk dipercepat saja. Akhirnya, kami pun sepakat dengan usulan tesebut,' kenang Ulaya saat dihubungi Jumat (17/6/2016).
Tanggal yang dinantikan pun akhirnya tiba. Wijayanto dan Ulaya menikah di Yogyakarta pada 18 Oktober 1997. Acara pernikahan tersebut dilakukan secara sederhana karena kebetulan ibunda Ulaya sedang sakit. Akad nikah itu hanya dihadiri pihak keluarga laki-laki dan perempuan.
"Kami juga kurang suka dengan yang ramai-ramai. Malamnya kami mengundang para tetangga untuk hadir ke pengajian di sebelah rumah saya," kata Ulaya.
Meski telah resmi sebagai pasangan pengantin, Wijayanto dan Ulaya tak melewatkan malam pertama. Besoknya, sang suami harus mengisi pengajian di sebuah tempat. Pihak panitia meminta agar ia harus datang.
"Sampai sekarang, kami belum merayakan resepsi. Hanya acara akad nikah dan pengajian di masjid saja," kata Wijayanto.
Aktivitas Wijayanto makin lama makin sibuk. Ia harus diundang sebagai narasumber di sejumlah televisi. Kesibukan itu yang membuat salah satu faktor istrinya belum juga hamil.
"Alhamdulillah, istri saya akhirnya hamil juga. Kami sangat bersyukur karena kami memang berharap bisa dikaruniai keturunan," kata alumnus Fakultas Tarbiyah, Institut Agama Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta 1992 itu.
Keluarga dan Anak
Wiyanto dan Ulaya menyambut anak pertama mereka penuh dengan kebahagiaan. Anak mereka akhirnya lahir pada 6 Oktober 1998. Mereka menyematkan nama Dzikrina Iffa Yohanida. Setelah itu, lahir anak kedua mereka yang diberi nama Muhammad Nufail Naisaburi, dan lima tahun kemudian mereka dikarunia anak ketiga, Muhammad Naja El-Ghifari.
"Saat awal mereka protes juga dengan kesibukan suami saya. Mereka seperti lebih mementingkan orang lain ketimbang anak sendiri. Tapi sekarang sudah tidak lagi," jelas perempuan yang kini menjabat Wakil Dekan di Universitas Achmad Dahlan Yogyakarta.
Wijayanto menyadari paling banyak aktivitasnya dalam bidang Training, Teaching, dan Shooting, (TTS). Training memberikan sumber pemasukan ekonomi terbesar. Materi training yang disampaikan berkisar mengenai pengembangan kepribadian, manajemen stres, dan post power syndrom.
“Rezeki saya memang banyak di bidang trainer," kata dia.
Wijayanto mempunyai kebiasaan yang menarik untuk ditirui. Jika sedang berada di rumah, ia selalu membaca bersama Alquran dan Hadis selama 15 menit. Ia berusaha mengajak mereka, bukan memerintah. Dari situ ia mendengarkan anaknya membaca Alquran dan maupun Hadis. Ia berusaha untuk menerima nasihat dari anak-anaknya.
"Kelemahan ustaz itu sulit untuk dinasihati, sedangkan kelemahan istri itu dinasihati suami, sedangkan kelemahan istri sulit dinasihati anak,' ujarnya.
Selain itu, untuk lebih mendekatkan diri kepada keluarga, ustaz Wijayanto berusaha untuk tak menerima pekerjaan di hari libur bersama keluarga. Kalau pun terima, itu pun istri dan anak-anaknya harus ikut. Jika tak memenuhi persyaratan itu, maka ia akan tolak.