Editor Says: 2016 Jadi Tahun Darurat Kejahatan Seksual

Gadis Abdul diperbarui 23 Mei 2016, 13:14 WIB

Fimela.com, Jakarta Masih segar diingatan beberapa waktu lalu kita mendengar berita soal kematian Yuyun (14), gadis asal Kabupaten Rejang Lebong, Bengkulu yang diperkosa oleh 14 ABG. Sungguh sangat tragis, dan tentunya yang lebih mengejutkan lagi adalah karena beberapa pelaku ternyata juga masih di bawah umur. Tak lama setelah Yuyun, sebuah berita mengejutkan datang dari Kediri, Jawa Timur. Seorang pengusaha bernama Sony Sandra (SS) alias Koko diduga telah melakukan pencabulan terhadap 58 anak-anak.

Dan yang terbaru adalah kasus pemerkosaan dan pembunuhan dengan korban Enno Parihah (18). Jasad Enno yang ditemukan di mes PT Polyta Global Mandiri, Tangerang, Banten, pada 13 Mei itu dalam kondisi yang sangat mengenaskan, ada cangkul yang terlihat menancap di bagian tubuhnya. Dan lagi-lagi, satu dari tiga orang tersangka pembunuhan yakni RAL alias RAH alias Alim masih di bawah umur.

Perasaan was was campur takut kini mungkin tengah menghantui para orangtua di Tanah Air, sebuah pertanyaan pun muncul,”Ada apa ini? Kenapa hampir setiap hari kita mendengar soal kasus pemerkosaan atau pencabulan dengan korban atau pelaku masih anak-anak?”

“Saat ini Indonesia sudah berada dalam keadaan darurat kejahatan seksual. Oleh karena itu, hukuman atau aturan yang jelas untuk para pelaku kejahatan seksual harus segera diberlakukan supaya predator anak-anak mendapatkan hukuman yang setimpal, dan juga tidak ada lagi kasus serupa,” jelas Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak, Arist Merdeka Sirait saat dihubungi Bintang.com.

Bersyukur karena Presiden Joko Widodo (Jokowi) akhirnya menyetujui penerbitan Peraturan pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu) tentang hukuman kebiri untuk pelaku kejahatan seksual terhadap anak.

Lalu apakah hukuman kebiri sudah cukup untuk menghukum para pelaku kejahatan seksual? Beberapa waktu lalu, tepatnya 12 Mei 2016, Bintang.com sempat membuat polling tentang hukuman yang sesuai untuk pelaku kejahatan seksual. Dari hasil polling tersebut didapat bahwa 49 persen para pembaca lebih setuju jika pelaku kejahatan seksual diberi hukuman mati, sedangkan 43 persen lainnya setuju dengan hukuman kebiri dan sisanya, delapan persen pembaca lebih memilih hukuman penjara seumur hidup.

What's On Fimela
2 dari 2 halaman

Hukuman Harus Setimpal

Rasanya hukuman kebiri memang belum cukup membayar semua kerugian yang telah diperbuat oleh para pelaku. Karena persoalannya lebih dari sekadar sebuah barang yang dicuri, tapi ini juga menyangkut harga diri dan kehidupan para korban kedepannya. Kenapa tidak memberikan hukuman mati bagi para pelaku supaya tidak akan ada lagi orang-orang yang melakukan kejahatan serupa? Bahkan di Yaman seorang pelaku kejahatan, termasuk perzinahan dan murtad langsung dieksekusi mati dengan disaksikan oleh banyak orang.

Terlalu sadis kah hukuman mati yang diberikan untuk para pelaku kejahatan seksual? Coba bayangkan, sebelum mati diperkosa lalu dibuang ke jurang sedalam lima meter, Yuyun, bocah yang duduk di kelas II SMP itu rela berjalan sejauh 1,5 kilometer dan melewati kebun karet hanya untuk sekolah. Ya, cita-cita Yuyun memang tinggi, sama seperti keberaniannya yang besar.

Namun, semua mimpinya berhenti ketika 14 ABG, satu persatu melucuti pakaiannya, saling membantu mendekap mulutnya, dan secara bergantian memperkosanya. Puluhan atau bahkan ratusan kali ia berteriak, namun tidak ada satupun orang yang mendengar, hingga akhirnya Tuhan pun tak tega melihatnya menahan sakit. Yuyun tewas dengan cara yang kejam! Masih berpikir bahwa hukuman mati untuk para pelaku kejahatan seksual terlalu sadis?

Korban kejahatan seksual yang berhasil selamat dan bisa bertahan hidup pun tentunya tidak lebih beruntung dari Yuyun. Banyak yang akhirnya malah lebih memilih mati bunuh diri, lantaran setiap harinya harus dibayangi dengan peristiwa keji yang menimpa dirinya. Tak hanya itu, mereka juga harus menghadapi cibiran orang-orang yang memandang rendah dirinya, belum lagi jika setelah diperkosa lalu hamil dan melahirkan, maka si anak ‘haram’ akan menanggung penderitaan yang sama.

Ya, tentunya tidak hanya rasa sakit, mereka para korban, khususnya anak-anak akan mengalami trauma yang berkepanjangan.

“Seorang anak yang telah menjadi korban kekerasan akan mengalami trauma yang mendalam. Hal ini terutama jika ia berasal dari keluarga yang menjunjung tinggi nilai tertentu seperti ‘menjaga keperawanan/keperjakaan’. Ini berlaku bagi anak perempuan atau pun laki-laki,” jelas Psikolog, Terapis Perkawinan dan Keluarga dra. Catherine Martosudarmo, M.Sc, kepada Bintang.com.

Mengapa demikian? Karena yang tidak dapat menerima situasi itu bukan hanya anak, tetapi juga orangtua. Tidak dimungkiri bahwa seringkali peristiwa di masa kecil mempengaruhi seseorang di masa dewasa, sehingga penyembuhan segera setelah mengalami peristiwa kekerasan seksual sangatlah penting. Dan pada akhirnya, mau atau tidak mau kita memang harus berani melawan kejahatan seksual, jangan hanya berdiam diri saja karena bersembunyi dibalik ketakutan bukanlah solusi yang tepat.

 


Gadis Abdul,

Redaktur Kanal Feed Bintang.com