Fimela.com, Jakarta Darah seni seakan sudah mendarah daging dalam diri Ria Irawan. Terlahir dari keluarga seniman, membuat putri sulung dari aktor senior Bambang Irawan dan Ade Irawan ini selalu menjadi sorotan publik sejak masih belia. Bahkan, di usianya yang masih empat tahun, Ria sudah berkecimpung di dunia hiburan Tanah Air dengan menjadi figuran dalam film Sopir Taxi (1973).
****
Seiring pertambahan usia, Ria terus menggali bakat aktingnya. Hingga pada usianya yang ke-17, Ria mendapat kehormatan menjadi salah satu nominator Festival Film Indonesia 1985 untuk kategori Aktris Pendukung Terbaik berkat film Kembang Kertas (1984). Meski harus pulang dengan tangan kosong, namun Ria tak patah arang.
Baca Juga
Tiga tahun berselang, Ria kembali berkesempatan untuk menjadi nominator di kategori yang sama. Kali ini untuk perannya di film Selamat Tinggal Jeanette (1987) yang juga dibintangi oleh Mathias Muchus dan Meriam Bellina. Dewi fortuna pun akhirnya berpihak pada wanita kelahiran Jakarta, 24 Juli 1969 tersebut. Ria berhasil memboyong Piala Citra pertamanya di tahun 1988.
Kemampuan akting Ria rupanya tak hanya diapresiasi oleh Indonesia, tapi juga oleh kacah internasional. Keterlibatannya di film Biola Tak Berdawai telah sukes menghantarkan Ria menjadi peraih gelar The Best Actress dalam ajang Festival Film Asia Pasific di Iran pada 2003.
Tak cuma akting, Ria juga memiliki bakat di bidang musik. Bersama dengan sembilan artis lainnya, pemilik nama lahir Chandra Ariati Dewi Irawan tersebut membuat kelompok musik bernama Japras dan mengeluarkan album yang sukses menjadi hits pada masanya. Aktor Rano Karno pun ternyata pernah digaet Ria untuk membuat beberapa album dangdut dan pop.
Sukses di musik dan akting, Ria mulai merambah bidang penyutradaraan. Anggun C. Sasmi adalah salah satu penyanyi yang video klipnya pernah digarap oleh mantan istri Yuma Wiranatakusumah ini. Barulah pada tahun 2014 silam, Ria terbesit untuk memproduksi dan menggarap sendiri sebuah film layar lebar.
Melalui proses yang cukup panjang, Ria akhirnya memberanikan diri memproduksi film Gila Jiwa. Di sini, wanita yang pernah mengidap kanker tersebut bertindak sebagai pemain, produser eksekutif, sutradara, penulis skenario dan desain produksi. Menggabungkan lima genre sekaligus, membuat film Gila Jiwa begitu menarik. Sementara itu, Ria juga memiliki 'misi' untuk memenuhi hasrat penonton lewat film garapannya.
"Inspirasinya (Gila Jiwa) dari melihat penonton Indonesia yang banyak maunya. Jadi ingin kasih film lima genre langsung. Konsepin ini sudah cukup lama, sekitar dua tahun. Terbesit dari ide sendiri ini, aku penulis skenario sendiri," ungkap Ria Irawan.
Lalu, seperti apakah perjalanan Ria dalam memproduksi film Gila Jiwa? Bagaimana pendapat Ria tentang aktor dan kondisi perfilman Indonesia saat ini? Bagaimana kisahnya berkarier di tengah penyakit kanker yang diidapnya? Simak hasil wawancara Regina Novanda dan Febio Hernanto dengan Ria Irawan saat berkunjung ke kantor Bintang.com, Gondangdia, Jakarta Pusat, 22 April 2016.
Antara Gila Jiwa dan Krisis Aktor di Indonesia
Dalam film Gila Jiwa, Ria Irawan tak lagi berperan ganda, tapi nyaris seluruh posisi penting ditanganinya sendiri. Ada alasan untuk Ria bekerjasama dengan nama-nama tenar seperti Afgan, Julia Perez, Aming serta Ade Paloh yang juga ambil bagian sebagai sutradara. Ria pun memberikan pendapatnya tentang aktor Indonesia era sekarang.
Mengapa tertarik buat ikut jadi pemain juga di film Gila Jiwa?
Karena nggak ada pemain lain. Pada bentrok semua schedule-nya. Aku main di bagian film yang disutradarai Afgan. Ya, karena kita juga produsernya sendiri, argo nanti jalan mulu, langsung inisiatif saja main.
Rasanya bekerjasama dengan 4 sutradara baru di film Gila Jiwa? Mengapa tertarik melibatkan mereka?
Kita melalui workshop terlebih dahulu. Memilih mereka karena ingin melibatkan orang-orang yang pernah di film box office. Afgan di film Refrain (2013) itu box office, lalu Ade Paloh dari Sore di film Janji Joni, Quickie Express, Berbagi Suami.
Apa yang bikin tertarik untuk berkecimpung di balik layar?
Pengen menggali jiwa entrepreneur. Ada orang yang tertarik buat bikin butik, jualan online, bikin restoran, tapi kalau aku mampunya bikin film.
Ingin fokus di depan atau balik layar?
Apa saja, narik kabel ayok. Pindahin tripod juga nggak apa-apa. Di depan dan di balik layar itu beda dari segi kepuasannya. Untuk nyaman, kedua-duanya nyaman selama masih film.
Akting buat hidup Ria Irawan?
Akting buat hidupku adalah profesi yang harus ada produksinya dan skenarionya. Mau produksi panggung atau pun alat rekam. Itulah yang membedakan akting. Akting itu bukan berbohong, kalau berbohong itu berbuat dosa. Tapi akting itu menjalani pekerjaan yang profesional, ada bayarannya dengan media yang jelas.
Seberapa penting akting buat hidup Ria Irwan?
Selama masih bisa produksi, ya tandanya perut aman. Karena Ibu dan Bapak juga dari film. Nggak pernah punya cita-cita kayak anak sekarang. Cukup di-like, dikomen, di red carpet dan diundang di Awards itu sebuah prestasi.
Kenapa tertarik buat bikin sekolah akting?
Karena gatel melihat orang-orang yang bikin ajang acting search atau telent search yang ada biayanya buat karantina segala macem. Dalam arti, lo punya kompetisi apa bisa berani milih orang punya bakat akting atau nggak. Cuma daripada langsung kritik, lebih baik dirangkul. Aku sponsorin, aku kasih voucher beasiswa. Rata-rata yang ikut ajang seperti itu cuma pengen tenar, bukan pengen bisa.
Aktor muda zaman sekarang?
Aku suka sama Chicco Jerikho. Dia aktor. Belum bisa nyebut nama yang lain, karena mereka cuma pemain. Karena aktor itu adalah ketika kita melakukan sesuatu dengan kepentingan skenario di dalam sebuah produksi. Kata aktor diberikan oleh orang, bukan oleh diri sendiri. Sampai dia dapet kata 'wow' dari orang, kalau belum ya belum disebut aktor.
Aktor Indonesia sekarang seperti apa?
Nggak banyak, kita krisis banget. Karena sebetulnya, yang dibutuhkan itu mereka yang berproses, bukan dipoles.
Cara mengubahnya?
Gimana caranya, lo bilang ke keluarga buat nggak sering-sering nonton infotaiment yang settingan. Jangan terlalu banyak nonton TV. Makin banyak lo nonton TV, makin kurang lo menghargai diri sendiri, yang berguna buat diri sendiri lah.
Kanker Tak Menghalangi Karier
Pada tahun 2009, Ria Irawan didiagnosis mengidap kanker. Serangkaian proses pengobatan pun dilakukannya hingga dinyatakan sembuh sejak satu tahun terakhir. Selama kurun waktu tersebut, Ria terus berkarya dan tak pernah membatasi diri karena sel-sel ganas kanker yang menggerogoti tubuhnya.
Bisa ceritakan tentang perjuangan melawan kanker?
Berjuang dengan memanfaatkan BPJS, tanpa keluar duit. Karena sudah ngerasain nggak enaknya selama pengobatan, ngapain harus keluar duit. Jadi ditengok sama BPJS, akhirnya jadi ikon. Lumayan jadi rezeki juga. Jadi di 2016 ini, kanker nggak jadi mati. Jadi siapa pun bisa berobat. Melewatinya dengan operasi angkat rahim. Artinya, udah menopose, buat hidup jadi lebih damai karena sudah nggak ada hormon tercipta. Emosi lebih stabil. Buat perempuan di luar sana, yang nggak butuh alat reproduksi mending buang aja. Jangan mikirin keluarga, atau siapa pun. Karena lo yang merasakan yang bagus buat diri lo sendiri.
Saat sedang menderita kanker, berpengaruh nggak sih buat karier?
Nggak, setiap hari dipanggil syuting. Waktu pegobatan juga naik berat badan 10 kilogram. Risikonya baru kerasa pas kemoterapi, ngerasa nggak enak kalau kecapekan. Jadi biar kuat ya makan saja. Apa saja. Itu obatnya.
Pesan untuk perempuan yang menderita kanker?
Jangan lebay. Kita harus ikhlas dan percaya sama Tuhan. Kalau sampai ada yang bilang bisa nyembuhin, kita istighfar-in aja. Tandanya mereka bagian dari orang musyrik. Kita harus percaya doa kita yang dikabulin Tuhan, itu yang paling benar. Karena aku pernah di bagian itu, masih penuh nafsu nggak sabar diberikan kesembuhan. Kalau bisa besok sembuh, itu seperti lari dari kenyataan. Nggak siap, nggak sabar, nggak ikhlas.
Kondisi perfilman Indonesia di mata Ria Irawan?
Kita perlu alternatif. Kita semua tahu, semua media ada di genggaman tangan kita. Jadi kalau ngomongin perfilman, buat gue, itu adalah ritual sosial budaya, di mana gue harus ke bioskop. Sudahkan kamu ke bioskop untuk menonton film Indonesia?
Kondisi penonton Indonesia?
Dulu waktu kecil, karena orangtua punya waktu banyak, atau kita punya teman main, kita memutuskan ke bioskop untuk main. TV juga di rumah cuma satu dan warnanya hitam putih. Orangtua juga sering merasa berdosa karena nggak sering 100 persen bersama, quality time diisi dengan nonton film ke bioskop. Gadget yang ada di tangan kita sekarang buat kita jadi hedonis.
Pesan untuk penonton film Indonesia?
Terus kejar film Indonesia di bioskop, karena film Indonesia yang diputar di bioskop ya memang harus dinikmati di bioskop. Bukan hanya nanya, kapan diputar di televisi.
Resep bisa eksis seperti sekarang?
Resep khususnya adalah empati terhadap kenapa lo ada di dunia keartisan sekarang. Bahwa aku adalah orang yang sangat peduli dengan tukang kabel yang dateng paling pagi.
Hal terpenting yang harus dimiliki sineas?
Harus sadar kalau kita adalah teamwork. Film itu hasil karya bersama, bukan cuma punya aktor, produser atau sutradara saja.
Sudah punya project ke depan? Pengen main sinetron?
Ada, bakal produksi film lagi. Jadi apa pun. Saya pernah main sinetron striping. Sudah bisa beli rumah baru. Yang terbaru nggak ada, saya nggak perlu bilang Ria Irawan main di sinetron apa. Cuma income tiap hari dari sinetron itu ada. Setiap satu judul itu, satu unit properti. Harus ada konsep.
Harapan untuk karier ke depan?
Semoga bisa terus punya tenaga, semangat untuk lebih sharing dan kerjasama dengan banyak orang. Menghasilkan banyak hal dan berguna untuk banyak orang. Punya tenaga dan semangat, harapannya itu. Dijauhkan dari penyakit.
Ria Irawan adalah salah satu sineas Indonesia yang sudah mengabdikan hampir seluruh hidupnya untuk seni. Ria tak pernah membatasi dirinya dalam berkarya. Bahkan, penyakit ganas sekelas kanker pun tak pernah mampu menghalangi keinginan kuatnya dalam berkesenian. Sukses selalu, Ria Irawan.