Fimela.com, Jakarta Politik, satu kata tersebut memang tentunya sudah tidak asing lagi bagi banyak orang, termasuk para anak muda. Namun, berbeda dengan dunia musik atau dunia film yang banyak digemari oleh anak muda atau bahkan semua usia, dunia politik bisa dibilang lebih segmented. Ya, tidak semua orang menyukai politik, bahkan sebagian orang membenci dunia politik yang dinilai sangat ‘kotor’ itu.
Baca Juga
Tapi ternyata dunia politik yang terkenal kejam menarik Yunarto Wijaya untuk lebih mendalami dunia politik hingga akhirnya ia menjadi salah satu pengamat politik yang terkenal di Indonesia. “Ini tantangan, orang mengatakan politik itu jahat, politik itu kejam, ya bagaimana bisa membuktikan dalam dunia yang kejam ini kita bisa memberikan kontribusi walaupun sedikit sekali. Politik itu juga bisa memberikan pencerahan lho, politik juga bisa memberikan kontribusi, bukan hanya sekadar hal-hal negatif yang selama ini dipikirkan publik,” jelas pria kelahiran Jakarta, 27 Juni 1981 itu saat ditemui Bintang.com di kantornya, Charta Politika, Jakarta Selatan, Selasa (12/4/2016).
Sedikit mengingat masa lalu, sambil tersenyum pria yang dinobatkan sebagai lulusan terbaik Jurusan Hubungan Internasional di FISIP Universitas Katolik Parahyangan Bandung (2004) dan Magister Manajemen, Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (2009) mengatakan bahwa masuknya dia ke dunia politik berawal ketika wanita yang ia incar mengajaknya untuk kuliah di UNPAR. “Saya dulu dari zaman SMP sukanya Fisika, SMA-pun masuk IPA. Pengennya masuk ITB dan IPB, saat itu pede bisa masuk jurusan teknik ITB atau IPB, tapi nggak lulus. Kebetulan ada teman yang saya suka ngajakin masuk HI UNPAR, diterima di UNPAR. Akhirnya coba-coba, di semester satu langsung enjoy, nilai IPK langsung bagus,” terang ayah dari tiga orang anak ini.
Berbicara politik dengan bapak muda yang satu ini memang terasa menyenangkan, pembawaannya yang santai membuat obrolan soal politik, yang dianggap sebagai bahasan yang berat itu menjadi terasa ringan. Mengenakan baju batik, Yunarto menceritakan kepada Bintang.com bagaimana ia bisa masuk ke dunia politik dengan menjadi pengamat atau konsultan politik, lalu juga Direktur Eksekutif Charta Politika. Dan berikut ini adalah perbincangan Bintang.com dengan Yunarto Wijaya.
Cerita Soal Anak Muda dan Charta Politika
Setelah dewasa Yunarto baru menyadari bahwa keberadaannya di dunia politik juga tak lepas dari peran orang tuanya, terutama sang papah yang selalu ‘mencekokinya’ untuk membaca koran setiap pagi.
Bagaimana kehidupan masa kecil seorang Yunarto Wijaya? Apakah sudah terlihat bakat menasehati orangnya?
Waktu masih kecil termasuk bandel, suka bolos, tukang berantem, karena memang suka bela diri juga. Dari tiga bersaudara saya yang paling bandel. Kalau menasehati orang nggak, karena saya bandel malah suka dinasehatin. Tapi kalau pertanyaannya nyambung ke politik, secara nggak langsung dan baru saya sadar, dulu papah bekas aktivis mahasiswa zaman 77 atau 78, gerakan mahasiswa waktu zaman Soeharto. Dulu mungkin karena nggak kesampean kali ya, dari kelas satu SD dia ngajarin saya untuk baca koran. Nah, itu secara nggak langsung, tanpa saya sadari mungkin kebawa.
Selain jadi aktivis, saat masa kuliah Anda juga sempat berdagang. Bagaimana ceritanya?
Pas S1 sebetulnya saya sudah fokus ke politik, tapi memang saat itu mulai menjelang skripsi saya mau cari duit. Saya punya obsesi mau cari uang, nggak mau bebanin orang tua dan saya pengen kasih uang ke orang tua. Saat itu saya kepikiran dagang kaki lima aja. Sempat jadi franchise nasi uduk Kebun Kacang dan pedagang kaki lima di Kelapa Gading. Sekarang si bisnis makanan sudang nggak, tapi ada bisnis lain, sedang belajar di pertambangan, di sekuritas juga bidang keuangan. Jadi bisnis yang lain tetap jalan, walaupun sehari-hari fokusnya tetap konsultan politik.
Menurut Anda apa yang paling menyenangkan dari dunia politik?
Dibandingkan dengan dunia lain, walaupun dunia lain mungkin lebih menghasilkan uang. Di politik kita bisa melihat titik ekstrem paling bawah, hingga titik ekstrem paling atas. Dalam dunia politik saya bisa melihat realita di daerah-daerah ketika saya menjadi konsultan politik, orang hanya untuk mendapatkan air harus berjalan berapa kilometer. Tapi di sisi lain kita juga bisa berkenalan dengan titik orang ekstrem lain, yakni orang yang mendapatkan uang dengan sangat mudah. Sebagai seorang pejabat, bermewah-mewah. Kita tahu bagaimana mereka kekayaannya bisa menumpuk dalam hitungan bulan. Saya bisa melihat realita dunia yang tidak akan pernah saya dapatkan di dunia bisnis.
Katanya Anda tidak tertarik sama sekali untuk menjadi politisi, kenapa?
Ketika masuk dalam dunia politik, tidak serta merta kita harus menjadi politisi, orang partai, petinggi partai. Saya bahkan sampai bersumpah dihadapan orang tua tidak mau menjadi orang partai. Kenapa? Bukan karena merasa bakalan jadi jorok, jadi pengamat juga bisa jadi jorok kok, lebih kepada setelah sekian banyak bergaul dengan orang-orang politisi saya malah makin merasa nggak cocok di dunia itu. Setiap hari harus ngobrol dengan sekian banyak orang politik, saya nggak betah hal-hal seperti itu. Kedua karena sistem kepartaian kita belum dewasa, jadinya saya nggak nyaman dengan gaya menjilat para politisi pada atasannya, walaupun mungkin hanya sebagian yang seperti itu.
Menurut Anda apakah saat ini anak-anak muda di Indonesia sudah banyak yang tertarik dengan dunia politik?
Pada zaman orde baru tentu saja mati. Semenjak reformasi mulai sedikit terbuka, tapi tidak banyak. Nah, ketika ada momentum baru kemenangan Jokowi tahun 2012, ada gaya kampanye baru, gaya kepemimpinan baru, memunculkan Risma, Ridwan Kamil, Ahok dan yang lainnya. Sekarang politik dipengaruhi dengan suara anak-anak muda. Akses teknologi infomasi sekarang ini memungkinkan mereka sekarang bisa berpolitik tidak harus menulis di harian cetak atau menjadi kolumnis, mereka cukup ng-tweet 140 karakter mereka sudah bisa bersikap. Memberikan masukan, mengkritik, jadi memang ada momentum kenapa pemuda menjadi tertarik dengan dunia politik.
Dukungan Keluarga dan Aksi Teror yang Tidak Pernah Usai
Bukan tanpa hambatan, perjalanan karier Yunarto Wijaya sebagai pengamat politik memang tidaklah mudah. Bahkan dia dan keluarganya sempat menerima ancaman mau dibunuh. Namun itu semua tidaklah menyurutkan niatnya untuk pergi dari dunia politik.
Bisa dijelaskan tentang Charta Politika dan bagaimana Anda bisa berada di dalamnya?
Berdiri awal 2008, saya dengan Bima Arya, dan beberapa mahasiswa lulusan terbaik dari kampusnya masing-masing, kita ingin membuat sebuah pusat riset data dari politik yang terlengkap, karena saat itu menurut kita politik masih primitif, tidak ada perspektif keilmuan yang terbangun secara akademis. Kita ingin bergabung dengan energi besar keilmuan yang kita miliki, dan idealisme juga masih terjaga. Tapi saat itu kita sadar bagaimana kita bisa hidup tanpa donasi, jadi kita juga membangun konsultan politik. Jadi kita pisahkan ada divisi konsultan dan divisi riset. Divisi konsultan bagaimana kita bisa menghidupi diri sendiri dari klien-klien yang kita dapat, selain itu sebagian dari keuntungan itu kita pindahkan ke divisi riset untuk memberikan kontribusi ke masyarakat lewat riset-riset yang kita biayai sendiri.
Bisa dijelaskan soal tugas atau fungsi seorang konsultan politik?
Tugasnya macam-macam, tapi kalau Charta Politika itu kita bagi dalam tiga hal. Konsultan politik itu melakukan 3M, satu melakukan proses mapping, riset dengan memetakan seseorang yang ingin maju menjadi caleg, kira-kira dia kuat nggak, kompetitornya lebih kuat nggak, lemahnya di mana, karakter pemilih di daerahnya gimana. Kedua itu monitoring, fungsi pendampingan kita tetap mendampingi mereka melakukan monitoring, monitoring media, lapangan. Ketiga, mobilizing, melakukan tugas pemenangan, bagaimana kita mobilisasi massa, pemilih, diskusi supaya bisa mobilisasi orang, kampanye monologis di daerah yang membuat mobilisasi massa itu terjadi dan kemudian orang itu bisa menang.
Pernah mengalami hal buruk, aksi teror misalnya?
Pastiya pernah di teror, waktu Pilpres dapet teror. Teror ke saya sendiri, karena dulu fungsi saya sebagai pengamat. Pilkada di Sumsel saya pernah mendapatkan teror, lewat SMS, Twitter, Facebook. Ngancem keluarga, ngancem saya sendiri. Bahasanya kamu akan kenapa-kenapa, pakai bahasa membunuh juga. Kalau ditanya takut ya ini bukan zaman Soeharto ya, bukan tiba-tiba diculik dan hilang, sekarang ada transparansi, masyarakat sudah berani mengkritik pimpinannya dalam media sosial. Tapi, kalau sudah berkaitan dengan keluarga was was itu ada, kalau buat saya sendiri, saya nggak takut sama sekali.
Meskipun sering diteror keluarga tetap mendukung?
Tetap mendukung, ya kadang-kadang istri bilang hati-hati, orang tua bilang jangan terlalu berani. Tapi, pada akhirnya mereka lama-lama melihat kalau yang saya perjuangkan itu benar dan saya yakini akhirnya mereka mendukung. Mereka bilang ada sisi lain dari politik seperti yang saya percaya bukan hanya sekadar mencari uang, go for it. Karena mati meninggalkan nama buruk, apalagi dalam dunia politik yang efeknya besar kepada banyak orang itu juga akan membuat nama keluarga juga yang jelek, itu yang saya pikirin dan mungkin keluarga saya juga pikirin. Logikanya seperti itu aja si.
Dari sekian banyak kegiatan, masihkah Anda memiliki waktu untuk menyempatkan diri melakukan hobi Anda?
Hobi memang baca buku. Tapi dulu memang punya hobi yang sekarang sudah tidak bisa disalurkan, yaitu bela diri. Saya demen banget, dari SD saya belajar bela diri. Gila bela diri. Saya pernah karate, kungfu. Mungkin berani di dunia politik juga karena itu ya, karena saya dari kecil suka bela diri. Kadang-kadang kangen nyalurin hobi yang nggak harus mikirin duit, nggak harus mikirin koneksi, nggak harus mikirin karier. Tapi kalau meluangkan waktu untuk keluarga itu pasti, Sabtu-Minggu. Dulu sepertinya nggak ada waktu, tapi sekarang Sabtu-Minggu saya menolak jadi pembicara atau apapun, karena biar gimana udah punya anak.