Smaragama: Nyanyian Cinta

Gadis Abdul diperbarui 02 Apr 2016, 19:14 WIB

Fimela.com, Jakarta Tatkala Sangaji dan Salindri terpana

terjerat pesona kenangan rahasia cinta

maka Kitab Smaragama menebar mantra

dan dengan kuasa mukjizatnya

sosok Suksmakelana dan Mayakemala

perlahan mengabur laksana senja

tersedot malam yang sekelam jelaga

dan ketika hanya tinggal mereka berdua

Kitab Smaragama pun menjelma

dalam wujud seorang pertapa renta

yang tersenyum ramah sambil menyapa:

“Kalian baru saja menyaksikan,

perkawinan yang dilimpahi kebahagiaan,

yang barangkali juga kalian idam-idamkan,

sehingga apapun kalian coba upayakan,

demi mendapatkan yang kalian impikan."

Sangaji dan Salindri mengangguk,

keduanya terlihat ragu-ragu dan kikuk,

dan setelah beberapa kali terbatuk-batuk,

pertapa tua kembali bicara sambil duduk:

"Tapi hidup ini sungguh mengherankan,

karena kita laksana ditempatkan pada pilihan,

untuk senantiasa terkepung berbagai ancaman, peristiwa-peristiwa yang amat mengejutkan,

kejadian-kejadian yang menggembirakan,

tapi juga sekaligus menakutkan,

atau setidaknya bikin kita kebingungan,

seperti apa yang tadi baru kalian saksikan,

sebuah kenyataan yang seakan menegaskan, bahwasanya keindahan kebahagiaan

yang memahkotai sebuah perkawinan,

sama sekali bukanlah suatu jaminan,

yang membuat kedua pasangan

terbebas dari jerat perselingkuhan."

Salindri dan Sangaji saling melirik,

cinta dan kesetiaan mereka rasa terusik.

"Cinta dan percintaan tidaklah sama,

tapi tak banyak yang dapat membedakannya,

bahwa kerinduan jiwa yang dahaga bahagia,

hanya dapat tercukupi oleh kemurnian cinta,

yang kendati terluka tetap kekal adanya,

sedangkan keinginan mereguk nikmat dunia,

bisa terpuaskan dengan percintaan yang fana,

dan ketika hasrat mereguk nikmat dunia menggila, percintaan tanpa cinta bisa berakhir tiba-tiba,

selekas ketika tergoda percintaan berikutnya,

sampai akhimya segalanya menghampa,

kosong, bolong, sia-sia tanpa makna,

tak lagi mampu mengenali kemurnian cinta,

dan apalagi sanggup memahaminya."

Sangaji menarik napas dalam-dalam,

sambil melirik Salindri yang menunduk diam.

Bermandikan sinar bulan purnama,

sunyi bersijingkat meniti serpihan cahaya,

yang berserak di ranting dan helai daun cemara, membangkitkan suasana yang menggetarkan jiwa,

dan sang pertapa, jelmaan Kitab Smaragama,

tak tahan untuk menahankan keinginannya, menyenandungkan nyanyian cinta asmara,

yang melodinya mengikuti notasi lagu lama,

yakni lagu Release Me yang sederhana,

tapi sekitar tahun GO-an pernah be~aya di dunia,

akan halnya syairnya terucap begitu saja,

semata-mata mengikuti kehendak hatinya,

dan demikianlah jadinya:

"Cinta dan kesetiaan,

janganlah sampai terpisahkan.

Nikmatnya percintaan,

janganlah sampai membosankan.

Tulusnya kasih sayang,

jangan sampai hilang melayang.

Indahnya kejujuran,

jangan ternoda kebohongan.

Pintu maaf yang lebar,

kan membuat dirimu lebih sabar. "

Perlahan, Salindri dan Sangaji tengadah,

menatap sang pertapa yang tersenyum ramah,

dan dengan jiwa yang penuh gairah,

sang pertapa bersenandung lagi,

kali ini senada notasi lagu Let it Be Me,

sementara syairnya digubah sesuka hati,

sehingga jadinya seperti berikut ini:

"Setiap perkawinan, kan slalu membutUhkan,

rasa saling mencinta dan percaya

Setiap pemikahan, kan slalu mengajarkan

untuk memaafkan kesalahan

Pejamkan mata, biar hati merasa

Biarkan cinta membelai mesra

Hati yang tergetar cinta, kan mencipta bahagia

rebahkan hatimu dalam rindu "

Serasa melayang terbang di awang-awang,

Salindri dan Sangaji laksana sepasang kunang-kunang, mengarungi batas angan-angan yang rebah memanjang, dan menukik di masa silam yang membentang:

Maka terbayang kembali malam pertama,

tatkala Sangaji mendengar Salindri, istrinya tercinta, mengaduh kecil sambil memagut, menggigit lehernya,

dan kedua lengannya yang licin berpeluh mirip belalai gurita, melilit dalam pelukan sepenuh daya yang tersisa.

Sesaat tubuh Salindri kejang meregang dan meronta, demi menahan kan rasa ngilu perih terluka,

saat kesuciannya diserahkan kepada suami tercinta,

dan ketika menyadari dirinya bukan lagi perawan dara, perasaannya terharu-biru, bola matanya berkaca-kaca, dan perlahan, di pipinya yang merana jingga,

bergulir butiran bening air mata,

mata air bahagia cinta.

Hatta pada saat yang hampir berbarengan,

Sangaji yang juga sampai pada puncak kenikmatan, membalas pelukan Salindri dengan dekapan

sambil perlahan menekankan badan,

dan be~uta-juta benih kehidupan,

memancar deras di lorong kerinduan,

meluncur dalam nikmat surgawi percintaan,

dijemput takdir yang telah disuratkan.

Dan kenikmatan surgawi yang maya dan fana,

selalu bergegas pergi, senantiasa berlalu segera,

bahkan ingatanpun tak sanggup merekam getar rasanya, yang memudar bersama meluruhnya daya tenaga, hingga melemah lemas melunglai sekujur raga, sedangkan jiwa beroleh pencerahan yang nyata,

lantaran beban yang mendera akal pikiran telah sirna tersapu rasa puas dan bahagia.

Maka laksana sehelai sutra bermandi hujan,

Sangaji tengkurap menindih Salindri dalam dekapan,

dan perlahan-lahan beringsut turun, lepaskan pelukan,

lalu menelungkup diam, badannya menggigil gemetaran, mirip tentara saat pertama kali diterjunkan

di garis depan medan pertempuran,

langsung tiarap rata dengan rerumputan,

sambil membabi buta melepas tembakan

tanpa membidik ke arah sasaran,

sampai terpicu peluru penghabisan,

dikalahkan kebodohan.

Namun bukankah dalam semua kenangan,

setidaknya di dalam masa kecil yang tak terlupakan, selalu ada kejadian dungu atau suatu kebodohan,

yang tak perlu dibayar dengan penyesalan?

Bukankah yang terekam dalam kenangan

sesungguhnya juga percikan pengalaman,

yang mengilhami daya penalaran,

membuahi permenungan,

dan meneteskan pengetahuan?

What's On Fimela