Fimela.com, Jakarta Hatta makna yang disampaikan Kitab Smaragama,
seolah-olah tiada akan habis-habisnya,
bagaikan mata air jemih pengobat dahaga,
yang mengalir dari palung telaga,
dengan kedalaman tak terhingga.
Dengan seksama dan sepenuh hati,
Salindri dan Sangaji mencoba memahami,
pengalaman dan buah pikiran yang telah teruji,
selama berabad-abad dan dikekalkan tradisi,
yang menopang peradaban di seantero bumi,
dan diwariskan dari generasi ke generasi.
Maka berkatalah Kitab Smaragama,
melanjutkan wejangan ihwal seni bercinta,
dan membukakan rahasia keindahannya:
"Perkawinan bukanlah sebuah tujuan,
melainkan justru sebuah awal perjalanan,
bagi pengantin lelaki dan perempuan,
untuk sampai kepada inti pengetahuan,
tentang makna hidup dan kehidupan."
Dalam keheningan malam sunyi,
wejangan itu menjadi lebih mudah dipahami,
sekaligus bisa dihayati sebagai kesadaran diri,
dan menyatu dalam jatidiri Salindri dan Sangaji,
sehingga mencerahkan akal budi,
dan membasuh nalar dari debu emosi.
"Ketahuilah bahwa tujuan perkawinan,
bukan sekadar untuk mendapatkan keturunan,
melainkan justnJ demi memelihara kehidupan,
dari silang-sengkanJt riwayat ketunJnan,
seperti yang teljadi pada gerombolan hewan.
Baca Juga
Perkawinan adalah jalan dan peljalanan,
yang mesti ditempuh sepasang lelaki perempuan,
setelah keduanya menjalin kesepakatan,
untuk mempererat dan mengekalkan hubungan,
di dalam suatu ikatan benJpa tiga persyaratan,
yakni cinta, tanggungjawab, dan kewajiban.
Perkawinan bukan cuma sebuah lembaga,
untuk mensahkan hubungan kelamin antarmanusia,
melainkan justru sebuah perwujudan cita-cita,
yang memberi makna kepada hasrat bercinta,
sehingga hubungan seks suami istri,
tak cuma dipahami sebagai alat pemuas birahi,
tapi juga dapat dimengerti dan dihayati,
sebagai sebuah proses pendewasaan diri,
untuk menjadi ayah dan ibu si jabang bayi. "
Dalam hening malam yang terkepung sunyi,
tanpa sadar Sangaji mengusap perut sang istri,
dan usapan itu membuat Salindri tergial geli, dengan reflek ditepisnya lengan sang suami,
celakanya tepisan itu justru membuat jemari Sangaji, terpental ke bawah dan jatuh di celah tersembunyi, sehingga Salindri terpekik sambil merapatkan kaki,
tapi dasar lelaki mudah tersulut birahi,
maka Sangaji bahkan meliuk-liukkan ujung jari, menyentuh dan menyentil ke sana dan ke sini,
sampai Salindri mengaduh-aduh tanpa henti,
sambil menggelinjang ke kanan dan ke kiri,
pinggulnya bergoyang seakan sedang menari.
"Perkawinan adalah suatu kesepakatan,
antara pengantin lelaki dan pengantin perempuan,
untuk menjalani kehidupan dalam kebersamaan, sekaligus mengawali hidup dalam kemandirian,
lantaran perkawinan adalah juga kesepakatan,
untuk memperkokoh nyali dan keberanian,
agar tak mudah diguyahkan keraguan,
ketika harus menentukan pilihan,
terutama tatkala mengambil keputusan,
untuk menyudahi segala bentuk ketergantungan,
dengan orangtua yang senantiasa dermawan.
Hendaknya kalian pahami sepenuhnya,
bahwa perkawinan tak cuma menjanjikan bahagia,
tapi juga menuntut kesanggupan memikul derita,
demi menjaga, merawat, dan menghidupi keluarga,
dan itu sudah berlangsung sejak zaman dahulu kala, seperti dikisahkan Westermarck dalam bukunya,
yang berjudul "Sejarah Perkawinan Manusia”.
Di buku itu Westermarck mengungkapkan,
bahwa di zaman primitif pun telah ada ketentuan, bahwa suatu perkawinan hanya dapat dilaksanakan, apabila pengantin lelaki memenuhi persyaratan,
yakni memiliki kekuatan dan daya tahan,
serla mempunyai nyali dan kemampuan,
untuk melindungi anak istri dari segala ancaman,
bahkan di masa itu pribumi Amerika Latin menetapkan, bahwa suatu perkawinan hanya dapat dilangsungkan, setelah calon mempelai lelaki mampu membuktikan, kekuatannya membunuh singa jantan."
Syahdan rangkaian kata sarat makna,
yang mengalir dari kegaiban Kitab Smaragama, membuat birahi Sangaji dan Sangaji reda.
Padahal ketika itu jari-jemari Sangaji,
masih terselip di celah paling tersembunyi,
dan padahal pula ketika itu Salindri,
masih merasa terkili-kili.
Dan sebelum api birahi kembali menyala,
Kitab Smaragama melanjutkan wejangannya:
"Tapi hendaknya kalian camkan,
bahwa agar bisa mencapai kemandirian,
ada bemacam bentuk ketergantungan,
yang mesti dienyahkan dari diri kalian.
Seorang lelaki belum layak disebut mandiri,
hanya karena setelah menikah mampu mencukupi,
kebutuhan dan' kesejahteraan hidup anak istri,
dengan daya upaya dan jerih payahnya sendiri,
apabila temyata kemandiriannya di segi materi,
hanya sekadar untuk menutup-nutupi,
ketergantungan psikisnya yang amat tinggi,
yang membuat jiwanya terikat dalam kendali,
dan dilumpuhkan pengaruh ibunya sendiri,
sehingga rasa cinta kasihnya pada sang istri,
seringkali terabaikan atau bahkan diingkari,
lantaran jiwanya telah terjerat obsesi,
pada kemuliaan ikatan emosi yang suci,
antara dirinya yang seakan bayi abadi,
dengan Sang Ibu pemilik cinta sejati,
dan kepribadiannya yang terpiyuh regresi,
membuatnya kehilangan nyali.
Dan lelaki seperti itu niscaya selalu ragu,
tak berani membentuk ikatan emosi yang baru,
dengan perempuan lain selain Sang Ibu.
Maka sesungguhnya nyali lelaki,
bukan diukur dari keberaniannya berkelahi,
atau dari ketidaktakutannya untuk mati,
melainkan dari apakah ia mampu mengatasi,
duka yang mengucur dari luka hati,
saat ia harus menikah dan terusir pergi,
dari pangkuan Sang Ibu pemilik cinta sejati,
dan jatuh di dalam pelukan istri,
yang menawarkan gairah birahi,
sekaligus keharusan untuk mengabdi,
pada tanggungjawab dan kewajiban sebagai suami,
tempat bergantung anak dan istri "
Mendengar wejangan tentang nyali lelaki,
tiba-tiba saja Sangaji disergap rasa ngeri,
dan jemarinya yang terselip di celah tersembunyi,
tak lagi mampu meliuk-liuk ke sana dan ke sini,
bahkan kaku membeku bagai terbuat dari besi.