Smaragama: Perumpamaan Perempuan

Gadis Abdul diperbarui 17 Mar 2016, 19:14 WIB

Fimela.com, Jakarta Hatta di balik selimut yang lembut dan hangat

dengan tubuh yang basah berlumur keringat,

dan tanpa selembar benang pun yang melekat,

Sangaji dan Salindri berpelukan erat-erat,

terkadang napas keduanya bagaikan tersumbat,

sampai megap-megap seperti orang sekarat,

lantaran kedua wajah mereka terlalu merapat,

dan sebelum keadaan bertambah gawat,

Kitab Smaragama kembali bicara nada lebih kuat:

"Payudara hanyalah salah satu daya tarik, sebagaimana halnya bulu mata yang lentik,

atau telinga yang dihias anting penuh pernik,

yang membuat perempuan merasa dirinya cantik,

tapi hendaknya kalian berdua tidak berpikiran picik, dengan memuliakan hal-hal yang bersifat fisik,

atau menggunakannya sebagai suatu taktik,

agar seseorang tergoda untuk melirik,

karena suatu keindahan yang asyik dan romantik,

yang semata-mata tercipta hanya dari daya tarik fisik, sesungguhnya teramat rapuh dan mudah tercabik. "

Cahaya matahari senja menembus kaca jendela, sehingga ruangan itu terbias warna jingga tembaga,

dan ketika ketika gairah Sangaji yang menggelora, terbakar kelembutan tubuh istrinya yang membara,

Kitab Smaragama segera melanjutkan wejangannya:

"Di masa silam, di zaman nenek moyang kalian, kecantikan dan juga kepribadian perempuan idaman, digambarkan berupa lambang atau perumpamaan,

dan disampaikan sebagai suatu keniscayaan,

secara lisan atau dalam bentuk tulisan.

Dan salah satu karya tulis terkemuka,

disusun tiga pujangga bersaudara dan ternama,

yakni pujangga Ngabei Ranggasutrasna,

Ngabei Yasadipura II, dan Ngabei Sastradipura,

demi memenuhi kehendak Paku Buwana V,

yang semasa masih menjadi Putra Mahkota, berkeinginan melestarikan peradaban manusia,

yang tersebar di penjuru Bumi Nusantara.

Berbekal keikhlasan dan kesediaan mengabdi, kepada raja dan juga pada makna hidupnya sendiri, ketiga puja ngga itu berpencar menjelajahi

guna mencatat peradaban yang mereka temui,

dan merangkumnya di dalam Serat Centhini."

Salindri dan Sangaji saling memeluk erat,

dan ketika gairah semakin dahsyat menggeliat,

mereka masih mampu menguasai gelora syahwat, lantaran keduanya tetap berpegang pada akal sehat.

Dan Kitab Smaragama kembali menyampaikan,

wejangan yang tentang Perumpamaan Perempuan:

"Serat Centhini dengan cermat mencatat,
segala tata cara dan seluk-beluk adat-istiadat,

dari yang sepele sampai yang dianggap keramat,

berikut segenap nilai dan norma hidup masyarakat,

di Bumi Nusantara belahan timur, tengah dan barat.

Di dalam Serat Centhini juga diungkapkan,

lima tokoh wayang sebagai simbol perumpamaan,

yang melambangkan watak dan kepribadian

perempuan yang mampu menjadi istri idaman,

sehingga lelaki dapat menentukan pilihan,

sesuai dengan apa yang mereka dambakan.

Yang pertama adalah Sumbadra,

putri seorang raja yang kaya lagi cantik jelita,

meskipun akal pikirannya kurang cendekia,

wataknya ramah tamah dan lembut tutur katanya,

murah hati, jujur, pemaaf, pendiam dan setia,

bahkan rela berbagi cinta dengan madunya,

asalkan hal itu membuat suaminya bahagia.

Yang kedua adalah Manuhara,

putri seorang pertapa sakti mandraguna,

kecantikan wajahnya tiada bandingannya,

manis pula tutur kata dan tingkah lakunya,

rendah hati serta bersedia hidup menderita,

lantaran sebagai anak gadis seorang pertapa,

telah terbiasa menempuh jalan sengsara.

Yang ketiga adalah Dewi Ulupi,

putri Empu Kanwa yang juga sangat sakti,

wajah yang cantik selalu cerah berseri-seri,

bibimya yang mungil bagaikan bibir gadis peri, senantiasa tersungging senyum manis sekali,

juga pandai dan tahu bagaimana melayani suami, bahkan pintar menciptakan fantasi penuh sensasi, sehingga pasangannya serasa hidup dalam mimpi.

Yang keempat adalah Gandawati,

putri seorang raja yang kaya tapi rendah hati, kecantikannya hanya bisa ditandingi bidadari,

tubuhnya semampai bagaikan tubuh peragawati,

patuh dan telaten meladeni kemauan suami,

sehingga sangat layak dicintai sepenuh hati.

Yang kelima adalah Wara Srikandi,

putri Raja Cempala yang sangat dihormarti,

wataknya tegas, tegar, dan keras hati,

di balik sikapnya yang kokoh dan berani,

dan mencerminkan gelora gairah api birahi,

terdapat kelembutan kasih sayang seorang istri,

beserta kerelaan mengabdikan diri,

demi kebahagiaan sang suami. "

Mendengar itu Salindri langsung cemberut,

dengan kesal jemarinya meremas-remas selimut,

dan Sangaji dengan sengaja manggut-manggut,

tapi sedetik kemudian Sangaji menjerit kalangkabut, lantaran jemari Salindri remasan benda serupa buntut, yang mendongak tegak di hamparan padang rumput, untung wejangan Kitab Smaragama cepat berlanjut, sehingga suasana semrawut tidak bertarut-Iarut:

"Namun lima tokoh wayang yang diibaratkan,

dapat mencerminkan watak dan kepribadian,

perempuan yang layak dijadikan istri idaman,

tak dapat dijadikan pedoman sepanjang zaman.

Seperti halnya rembulan dan matahari,

yang mempunyai cahaya sendiri-sendiri,

maka kurun waktu dari generasi ke generasi,

masing-masing juga mempunyai akal budi,

untuk merumuskan pilihannya sendiri,

dan di zaman modern yang dikutuk sihir teknologi,

seperti yang sekarang ini sedang kalian jalani,

nilai-nilai lama sudah dinyatakan mati,

dan nilai-nilai baru dengan cepat bersemi,

bahkan untuk hidup sebagai suami istri,

seakan tak perlu lagi lewat pernikahan suci.

Seperti halnya siang disinari cahaya,

dan malam diselimuti gelap gulita,

maka setiap zaman juga punya cerita,

tentang manusia yang mencari makna hidupnya,

melalui labirin nilai, cinta dan kriteria,

yang diciptakan akal budi dan imajinasinya."

Semenjak Salindri salah remas,

gelora birahi semakin menggelombang ganas,

dan ketika gairah mereka kian mengganas,

kendali akal sehat akhirnya terpaksa dilepas,

dan Kitab Smaragama rupanya tak mau bersikeras,

juga tahu bahwa daya tahan mereka sudah terkuras,

apabila dipaksa malah akan bertambah panas,

bahkan bisa bablas dan amblas.

Maka diam-diam Kitab Smaragama undur diri, bersimpuh di pojok kamar bersama sepi,

sementara Salindri dan Sangaji,

larut hanyut dalam sungai api birahi,