Fimela.com, Jakarta Kiprah Abimana Aryasatya di dunia perfilman memang bukan hal baru lagi. Pasalnya, sejak remaja, ia telah menenggelamkan dirinya di dunia perfilman baik di belakang, maupun di depan layar. Tanpa riak kehidupan pribadi, Abimana membuktikan diri mampu bertahan untuk memberi karya terbaik.
***
Kisah sukses seorang Abimana berawal dari pelariannya dari rumah saat usia 14-15 tahun. Kala itu, ia terdampar di IKJ (Institut Kesenian Jakarta), kemudian ia bergaul dengan para sineas yang rupanya mampu mengantarkan sosok Abimana Aryasarya sebagai aktor seperti saat ini.
Pada pertengahan era 90-an, tepatnya pada 1995, pria kelahiran 24 Oktober 1982 ini sukses memerankan karakter Nuno dalam sinetron Lupus yang ditayangkan di Indosiar. Kemudian, namanya kian melambung melalui karakter dalam film-film yang ia bintangi. Ketimbang sinetron, bapak empat orang anak ini lebih sering membintangi film.
Baca Juga
Hal tersebut terbukti dari banyaknya film yang ia bintangi daripada sinetron. Tercatat, ada sekitar 15 film lebih yang ia bintangi, baik sebagai peran utama maupun peran pembantu. Apapun itu, ia tetap melakoni setiap peran dengan baik. Tak heran jika suami dari Inong Ayu ini kerap masuk nominasi penghargaan bergengsi.
Seperti misalnya di film Belenggu. Memerankan karakter Elang, pria berzodiak Scorpio ini berhasil masuk ke dalam jajaran empat nominasi, yakni Pemeran Utama Pria Terbaik di Festival Film Indonesia, Aktor Tebaik dalam Peran Utama di Maya Awards, serta Aktor Terbaik dan Aktor Terfavorit di Indonesian Movie Award.
Meski tak satu pun piala ia boyong pulang, namun Abi, begitu ia akrab disapa, tak berkecil hati. Ia terus melakoni apapun karakter yang ia lakoni dengan baik. Mungkin, kebesaran hatinya itu ia peroleh dari perjalanan hidup yang hingga saat ini ia lewati.
Aktor yang berperan sebagai Rangga di film Bulan Terbelah di Langit Amerika ini tak pernah punya target dalam hidup, termasuk karir. Bagi Abi, hidupnya berjalan begitu saja seperti air.
Abimana Aryasatya bahkan mengatakan tak pernah memiliki target dalam hidupnya. Apa yang membuatnya seperti demikian? Akankah Abimana berkiprah di belakang layar seperti yang selama ini berhembus? Simak hasil wawancara Febriyani Frisca Rahmania dan Andy Masela dengan Abimana Aryasatya saat sesi pemotretan Bintang 3 Generasi, SCTV Tower, Jakarta Pusat, 18 Februari 2016 lalu.
What's On Fimela
powered by
Memulai Karier dari Belakang Layar
Bergabung dalam pemotretan Bintang 3 Generasi, Abimana penasaran dengan para Bintang lintas generasi. Baginya ini adalah kesempatan untuk kembali merefleksi apa yang sudah dilakukannya di dunia perfilman.
Apa yang membuat seorang Abimana Aryasatya tertarik untuk mengikuti photoshoot Bintang.com Tiga Generasi?
Kenapa enggak? Rame-rame. Ada Acha Septriasa juga, tadi ada Om Slamet Rahardjo. Kayaknya bakal seru, sih. Penasaran. Tidur yang cukup aja, sama minum susu tadi untuk persiapan. Biar segar.
Bagaimana awal mula terjun ke dunia film?
Pertama itu, umur saya 14-15 tahun kabur dari rumah, terus saya tidur di TIM (Taman Ismail Marzuki), orang-orang tahunya IKJ (Institut Kesenian Jakarta). Terus, di situ saya ketemu temen-temen saya dari dulu sampai sekarang, mereka kebetulan ada yang mahasiswa, ada yang pekerja televisi.
Sekitar tahun berapa kejadian itu?
Saya lupa. Sekitar tahun 1999. Eh, nggak. Sebelum kerusuhan, tahun 1997-an. Saat kerusuhan, sempat break nggak ada kegiatan syuting dulu. Itu pertama kali saya kerja, saya bantuin jadi crew lighting. Terus itu pertama kali saya masuk frame juga karena kami setiap dua minggu sekali juga rolling act jadi ekstrak karena lumayan dapat tambahan gaji. Itu, sih, awal-awalnya.
Itu awalnya sampai saat ini?
Ya sempat vakum, sempat break, sempat coba lagi lalu gagal. Tapi memang karena balik lagi, seumur hidup saya, temen-temen saya kerjaannya di sini, akhirnya balik lagi ke sini.
Lantas, arti film buat Abimana Aryasatya sendiri apa?
Arti film bagi saya adalah hidup saya, darah saya sekarang. Sudah menjadi bagian dari hidup saya. Jadi, mau atau tidak mau, ya film sudah jadi bagian dari hidup saya.
Apakah seorang Abimana termasuk aktor yang pemilih dalam memilih peran?
Sebetulnya kalau dibilang nggak, bohong. Pasti memilih. Tapi, saya yang penting tidak mengandung unsur pornografi ya saya terima. Sebetulnya itu.
Hal tersulit yang pernah di alami selama berkarir dalam film?
Permasalahan yang paling sering terjadi saat syuting adalah komunikasi, karena kita tim. Kita bukan kerja sendiri. Selalu problemnya adalah komunikasi. Kedua adalah waktu. Kita nggak pernah waktu cukup untuk syuting. Mau cukup nggak cukup, selalu kurang. Karena memang mau dikasih waktu seminggu atau sebulan tetap saja kurang. Kalau kerja kreatif tuh emang kan selalu kita pengin lebih, lebih, dan lebih. Nggak pernah cukup.
Berarti soal kepuasan juga Abimana nggak pernah puas?
Nggak pernah. Saya nggak pernah puas. Saya bukan orang yang narsis lihat karya saya sendiri. “Wah saya keren banget..”. Selalu merasa kurang dan kurang. Makanya saya nggak pernah nonton film saya sendiri.
Kenapa begitu?
Kalau saya nonton, pasti saya nggak bisa tidur. Nanti saya mikirin akting saya ada yang kurang. Saya tahu soalnya kalau akting saya ada yang kurang. Orang lain mungkin nggak tahu, tapi saya tahu. Karena saya kan bisa melihat kekurangan-kekurangan saya atau saya tahu kejadian syutingnya. Jadi saya tahu.
Dari sekian banyak film yang pernah Abimana jalani, karakter di film apa yang paling sulit dilakoni?
Semua punya tingkat kesulitan masing-masing. Orang berpikir bahwa karakter yang sulit adalah karakter yang beda banget. Sebetulnya, untuk menjadi seperti orang sehari-hari juga sulit. Mungkin karakter di film Belenggu dua tahun lalu, itu yang paling sulit.
Kenapa film Belenggu?
Karena di film itu, saya memerankan karakter schizophrenia, penyakit mental yang tidak bisa membedakan realita dan khayalan. Terus, udah gitu kita memang bercerita beberapa point of view. Point of view dia (Elang) sebagai orang schizophrenia, point of view penonton yang kelihatan normal. Itu susah. Gonta-ganti.
Tak Pernah Punya Target
Sepanjang karirnya, Abimana Aryastya tak ingin terbebani oleh target baik jumlah penonton maupun prestasi dari penghargaan festival film. Abimana punya alasan sendiri untuk membebaskan pikirannya dari target ketika berakting.
Film paling berkesan yang pernah dibintangi oleh Abimana?
Semua pasti ada kesannya. Pasti ada. Dapat teman baru, dapat pelajaran baru, bikin film bareng-bareng, semua pasti ada kesannya. Nggak mungkin nggak.
Siapa lawan main dalam film paling berkesan?
Saya nggak bisa nyebutin. Nanti dipikir saya pilih kasih. Ya semua pasti berkesan.
Target apa yang paling ingin dicapai di film?
Nah itu anehnya, saya nggak pernah punya target dalam hidup. Serius. Saya nggak pernah punya target. Karena kita nggak tahu nih abis ini pulang, tidur, bisa aja kita meninggal. F*ck with target. Saya nggak terlalu mikirin. Ngalir aja. Jalan aja.
Lebih pilih film dapat penghargaan banyak atau jadi box office?
Saya cuma bikin film. Itu kan efek samping dari sebuah film. Dapat penghargaan atau laku. Saya cuma mau bikin film. Jadi saya nggak pernah mikirin itu. Mikirin itu cuma bikin sakit hati. Bikin lo jadi nggak bisa kreatif dan nggak bisa berkarya. Lo berharap menang, tapi lo nggak menang, lo jadi sakit hati. Akhirnya karya lo makin jelek karena lo tertekan. Disuruh bikin sesuatu, berharap laku banget ternyata nggak laku. Nggak usah pikirin itu, aktor nggak harus pikirin itu. Aktor bikin karyanya aja. Pasti ada yang jelek, pasti ada yang bagus.
Beberapa waktu lalu sempat ada wancana Abimana akan pensiun dari dunia film, bagaimana?
Kalau pensiun kayaknya nggak mungkin. Satu, saya masih punya kontrak beberapa film sama PH (Production House), itu udah nggak mungkin tuh. Tapi, rencana saya dari dulu, saya orang belakang layar, saya pasti akan balik bekerja ke belakang layar. Kapannya saya belum tahu, tapi untuk memulai, saya sudah memulai.
Sudah memulai bekerja di belakang layar sebagai?
Produser kreatif. Salah satu film yang sudah launch saja sebetulnya saya salah satu produsernya, tapi saya nggak mau menaruh nama saya. Nanti kesannya orang-orang berpikir kalau saya cuma mau taruh nama. Biar produknya aja yang bicara. Nggak usah saya harus eksis. Yang penting karyanya, bukan kitanya.
Hingga saat ini, apa yang belum dilakukan Abimana dalam karir perfilman?
Nggak ada target saya mau melakukan apa. Saya simpel banget sekarang. Sekarang aja saya cuma mau kopi dan rokok. Target saya nggak jauh-jauh banget.
Siapa aktris atau aktor panutan?
Kalau dari Indonesia, Slamet Rahardjo. Itu salah satu. Ada beberapa film beliau yang saya tonton dan saya suka banget. Kemudian almarhum Didi Petet, beliau salah satu orang yang berjasa. Saya pertama kali mengerti akting itu apa dari beliau. Terus kalau luar negeri banyak, lah. Ada beberapa orang.
Kalau ada tawaran untuk main film luar negeri bakal diterima?
Kita kan juga sudah pasar terbuka, sebentar lagi film kita juga bakal jadi film internasional juga.
Pendapat tentang revisi DNI (Daftar Negatif Investasi) di industri film?
Saya males jawab ini karena saya akan berantem dengan teman saya sendiri kalau jawab. Sejujurnya, saya nggak peduli. Saya cuma mau bikin film. Mau ada atau nggak ada mereka, kita tetap bikin film. Mau ada atau nggak ada bioskop atau industri film, kita tetap bikin film. Karena saya inget banget dulu, cuma modal kamera minjem pun, kita masih bikin film. Jadi, yang penting adalah bukan berapa banyak uang yang kita dapat, bukan berapa seterkenal kita. Kita tetap bikin film. Itu yang penting.
Apa yang sudah didapat dari film selain materi?
Saya saat ini. Jadi, pembentukan karakter saya banyak yang dari film. Yang jadi saya sekarang, yang orang-orang liat sekarang itu banyak yang saya ambil dari karakter saya. Jadi saya terbalik kadang-kadang. Orang membuat karakter, saya kadang-kadang dapat karakter. Suka bingung saya.
Siapa yang paling berperan dalam karir?
Tuh, di belakang lo yang maksa (sambil menunjuk istrinya, Inong Ayu). Saya udah nggak mau, tapi yang percaya bahwa ini adalah dunianya saya, bahwa saya harus kerja di sini ya dia.
Apa pesan-pesan untuk para pendatang baru?
Latihan. Latihan. Latihan. Latihan terus. Belajar. Rajin. Berusaha untuk jadi lebih baik.
Harapan untuk film Indonesia?
Balik lagi, sih tadi nggak ada target. Nggak berharap banyak-banyak. Perbaiki kesalahan yang pernah kita buat. Bikin film yang lebih baik lagi. Sesederhana itu. Kalau bikin film bagus, patokannya susah, beda-beda.
Abimana Aryasatya tak punya target karena ia tak ingin kreativitasnya menjadi terbatas. Ia tak jadi sakit hati dan tertekan karena target-target yang membelenggu. Meski tak punya target, namun Abimana selalu melakukan yang terbaik. Salah satunya yaitu dengan beraksi di belakang layar sebagai produser kreatif di salah satu film.