Fimela.com, Jakarta Keramahan dan ketulusan Tantya dan Ratri,
ketika mereka menjamu Sangaji dan Salindri,
seperti keramahan kuntum bunga melati
yang kepada siapa saja membagi wangi,
seperti ketulusan rembulan dan matahari,
yang di kala malam bersinar menerangi bumi,
dan sepanjang siang terangnya menghidupi,
maka Sangaji dan Salindri merasa berat hati,
bahkan sampai tak bisa segera beranjak pergi
walau sudah bilang pamitan berkali-kali,
sehingga Tantya dan Ratri tersenyum geli,
kemudian bergantian berkata begini:
"Kami juga ingin Anda berdua tinggal di sini,
tapi yang ingin menjamu Anda bukan cuma kami,
bahkan di antara mereka ada pasangan suami istri,
yang sudah antre menunggu giliran sejak pagi hari,"
kata Tantya, yang segera disambung Ratri:
"Mereka juga baru menikah malam tadi,
hanya saja bukan pengantin baru seperti kami,
karena yang perjaka hanya pengantin lelaki,
sedang yang perempuan bukan perawan lagi,
melainkan janda yang ditinggal mati suami."
Entah kenapa Tantya terpancing memuji:
"Yang perempuan namanya Drupadmi,
walaupun janda, masih sintal padat berisi."
Baca Juga
Pujian itu disambar kecemburuan Ratri:
"Pengantin lelakinya bemama Rahagni,
perjaka asli, umurnya lebih muda dari Drupadmi,
tak mengherankan jika perempuan di benua ini,
termasuk saya sebelum terikat pernikahan suci,
menyesali perkawinan Rahagni dan Drupadmi,
lantaran kecewa, iri, sekaligus juga patah hati."
Mendengar itu Tantya tampak terpukul,
rasa cemburu bikin otaknya tiba-tiba jadi tumpul,
sedangkan Ratri pura-pura membetulkan sanggul,
sambil sesekali sengaja menggoyangkan pinggul
seakan ingin pamer bahwa dirinya lebih unggul,
lebih sintal, lebih padat, lebih pintar bergumul,
dan harapan Ratri ternyata langsung terkabul,
karena gairah birahi Tantya langsung saja timbul,
tergoda gerak pinggul Ratri yang sebesar bakul,
Tantya pun beringsang seperti sedang sakit bisul,
membuat Sangaji dan Salindri tersenyum simpul.
Setelah pamitan untuk yang kesekian kali,
lantaran tahu gairah Tantya makin di mabuk birahi,
Sangaji dan Salindri berkemas lalu bersiap pergi,
ketika Ratri berniat mengantar ke rumah Rahagni,
dengan sangat sopan langsung ditolak Salindri,
sedangkan Tantya yang tak biasa berbasa-basi,
tampak semakin gelisah tak lagi sabar menanti.
Menapaki halaman rumah yang asri itu,
yang dilindungi keteduhan serumpun bambu,
Salindri dan Sangaji tiba-tiba merasa terharu,
dan mereka berhenti melangkah, lalu termangu,
merenung dan menyelami kedalaman kalbu,
membasuh diri dari segala yang palsu dan semu,
dan setelah diuji rasa ragu, sama-sama setuju,
bahwa kebahagiaan dan hidup yang bermutu,
ternyata hanya butuh sebuah rumah kayu,
untuk mewadahi benih cinta dan api cemburu,
serta melindungi kenikmatan bercumbu.
Mereka berdua juga saling sepakat,
bahwa kebahagiaan dan hidup yang sehat
ternyata hanya memerlukan sebuah obat,
yakni ketulus-ikhlasan yang terus dirawat,
agar jiwa terbebas dari dendam kesumat,
supaya hati, rasa, dan juga akal sehat,
tetap bersih, jernih, dan tak berkarat.
Dan detik demi detik berdetak lamban,
Salindri dan Sangaji telah semakin jauh berjalan,
meninggalkan rumah kayu, istana kebahagiaan,
tempat di mana ketulusan, keramahan, kejujuran,
dan juga kerelaan serta ikatan kesetiakawanan,
dikekalkan menjadi pedoman sekaligus tujuan
menciptakan pergaulan hidup dan kehidupan
yang hangat, optimistis, dan toleran.
Hatta sampailah mereka di rumah Rahagni,
sebuah rumah mungil yang indah dan terawat rapi,
berdinding bilik bambu, beratap sirap kayu besi,
di dalamnya menyala api cinta dan gairah birahi,
yang setia dijaga dan dikobarkan oleh Drupadmi,
dengan pengalaman pernah sekali bersuami-istri,
seni bercinta yang dikuasainya sungguh telah teruji,
dan dengan pemahamannya atas urat naluri suami,
lelaki siapa yang tak dapat ditaklukkan Drupadmi?
Dan di halaman depan rumah mungil itu,
Sangaji dan Salindri berhenti tak jauh dari pintu,
sunyi yang mengepung dari seluruh penjuru,
membuat mereka merasa heran dan ragu-ragu,
benarkah Rahagni dan Drupadmi sedang menunggu,
ataukah justru sedang tidak ingin diganggu?
"Mungkin kita datang di saat yang tak tepat,
atau bisa jadi kita sampai setelah sangat terlambat,
sehingga pintu dan jendela terlanjur ditutup rapat,"
kata Sangaji dengan suara tercekat.
Salindri tak bereaksi, cuma diam membisu,
pandangnya berkelana di pucuk-pucuk daun randu,
berlari-Iarian mengikuti desir angin yang berlalu,
menyapa burung-burung yang asyik bercumbu,
terpikat bunga-bunga, laba-laba, kupu-kupu,
dan tiba-tiba dari dalam rumah yang mungil itu
terdengar suara lelaki yang merintih ngilu,
memecah kesunyian yang hampir membeku.
Dan rintihan ngilu itu terdengar lagi,
sepertinya rintihan lelaki yang terbakar birahi,
atau rintihan Rahagni yang dilumat Drupadmi?
Dan Sangaji saling pandang dengan Salindri,
sebelah mata Sangaji mengedip penuh arti,
lalu tangannya menggamit lengan sang istri,
dan sebelum Salindri sadar apa yang terjadi,
langkahnya sudah terayun mengikuti Sangaji
dan sampai di samping rumah yang sepi
Di bawah jendela kamar utama itu,
Salindri dan Sangaji duduk diam membisu,
dan debar jantung mereka seperti terpacu
ketika dari balik dinding anyaman bambu
kembali terdengar suara lelaki merintih ngilu,
memohon Drupadmi berhenti mencumbu,
dan segera membuka pintu gerbang rindu.
Tiba-tiba sunyi, tiba-tiba tak ada suara,
Sangaji dan Salindri bagai terjebak ruang hampa,
birahi membakar relung dada dan rongga kepala,
ketika sayup terdengar Drupadmi berbisik mesra:
"Jagoanku. .., kenapa terburu-buru?
Belajarlah mengendali dan menguasai birahimu,
bila nyaris mencapai puncak, belokkan pikiranmu,
pusatkan hasrat hanya untuk menjinakkan nafsu
dan dapatkan kebanggaan mengalahkan waktu,
nikmati seni bercinta, resapkan dalam kalbu,
saat aku kembali mencumbu dengan cara baru"
Tiba-tiba Rahagni kembali merintih ngilu,
Sangaji dan Salindri ibarat telor bertemu madu,
saling teraduk tapi tak bisa langsung menyatu,
sampai Sangaji melihat ada lubang bekas paku
yang menembus lurus dinding anyaman bambu,
secepat kilat lubang kecil itu disayat ujung kuku
sambil gemetar ia mengintip dengan mata satu,
tapi baru sedetik matanya langsung melotot kaku,
bibinya komat-kamit, berbisik merintih ngilu,
dan detik berikutnya tubuh Sangaji terkulai layu.
Salindri yang tak mengira Sangaji pingsan,
bukannya menolong malah merasa dapat giliran
langsung mengintip... , dan langsung pingsan.