Smaragama: Nama Rahasia

Gadis Abdul diperbarui 08 Feb 2016, 19:14 WIB

Fimela.com, Jakarta Sangaji dan Salindri saling berpandangan,

keduanya tampak masih terheran-heran,

karena dalam sekejap doa mereka dikabulkan

dan pada detik berikutnya sudah dipindahkan

dari Benua Impian ke Benua Harapan.

Lantaran belum sepenuhnya percaya,

Salindri bertanya kepada suaminya:

"Wahai Sangaji, suamiku tercinta...,

apakah segala yang ada di depan mata kita

memang sesuatu yang benar-benar nyata,

bukan cuma sekadar tipu daya ilusi maya

yang sengaja direkayasa sedemikian rupa

untuk mengecoh dan mencelakakan kita?"

Sangaji senyum, lalu menyahut:

"Salindri sayang, kau jangan takut...,

dari ujung jari kakimu sampai ujung rambut

takkan kubiarkan diganggu, apalagi direnggut,

maka tersenyumlah, jangan lagi cemberut,

bersamaku kau bahkan tak perlu takut maut... ."

Salindri tersenyum, merasa tersanjung,

merasa bangga, merasa aman, tak lagi bingung,

walau pada siapapun ia tak pernah bergantung,

tapi Salindri mensyukuri dan merasa beruntung,

punya suami sekaligus seorang pelindung.

Sedetik setelah terbebas dari keraguan,

hilang pula segala yang membebani akal pikiran,

dan tatkala Sangaji merentangkan kedua tangan,

Salindri segera menghambur dalam pelukan,

badannya merapat, dadanya padat menekan,

dan bibir Sangaji dipagutnya dengan ciuman,

sambil jemarinya menyelinap di sela lipatan,

dan yang tertangkap dalam genggaman tangan

diremas lembut dan diusap dengan belaian,

sehingga Sangaji kalang-kabut kelabakan,

jantungnya berdetak cepat tak beraturan,

sekujur tubuhnya menggigil gemetaran,

namun ketika Sangaji nyaris lupa daratan,

Salindri tiba-tiba melepaskan genggaman,

lalu meloloskan diri dari dalam pelukan,

membuat Sangaji bengong kebingungan,

dadanya sesak, napasnya ngos-ngosan,

berdiri linglung melongo kelimpungan,

menatap Salindri yang be~alan perlahan

menuju pintu gerbang Benua Harapan,

lbu kandung semua kampung halaman.

Dan tepat di mulut pintu gerbang,

Salindri berhenti dan menoleh ke belakang,

bibirnya merekah, senyumnya mengembang,

sorot matanya yang sayu seakan mengundang,

membuat gairah Sangaji kian menggelinjang,

dan mendorong Sangaji bergegas datang.

Ketika Sangaji mengulurkan tangan

Salindri gesit berkelit dan luput dari jangkauan,

lalu berbalik dan lari masuk ke Benua Harapan,

dikejar Sangaji yang semakin penasaran.

Namun setelah menjejak Bumi Harapan,

maka gairah yang memuncak di ketinggian,

tiba-tiba saja padam dan lantas terlupakan,

lantaran Sangaji dan Salindri menyaksikan

suatu kehidupan yang penuh kegembiraan,

sebuah contoh konkret realitas pergaulan

yang hangat, optimistis, dan toleran.

Dan mereka berdiri diam tertegun,

sementara dari kejauhan sayup mengalun,

lagu cinta yang dinyanyikan sepanjang tahun,

menemani kesunyian rumpun ilalang gurun,

menyegarkan ingatan yang telah pikun,

menawarkan pergaulan hidup yang santun,

dan menjanjikan kebersamaan yang rukun.

Sangaji dan Salindri makin terkesan

ketika penghuni Bumi Impian berdatangan,

bergantian menjabat tangan dan berkenalan,

sambil menyebut nama dalam senyuman,

yang mencerminkan suasana kegembiraan

dan mengungkapkan keramah-tamahan,

yang wajar, tulus, serta tidak berlebihan,

maka dalam sekejap terjalinlah keakraban,

yang dilandasi rasa hormat dan kejujuran,

sehingga berbagai macam jenis pertanyaan

selalu terjawab secara memuaskan.

Maka terbukalah semua pintu rumah,

berharap Sangaji dan Salindri akan singgah.

Ketika akhimya Salindri dan Sangaji

memilih singgah di rumah Tantya dan Ratri,

suami istri sebaya yang dikenal pertama kali,

maka yang lain tak lantas kecewa ataupun iri

tapi menerima dengan rela dan lapang hati.

Ketika tiba di rumah Tantya dan Ratri,

rumah bersahaja yang berkelimpahan rejeki,

jamuan makan dan minum sudah menanti,

dan setelah menyantap hidangan yang tersaji,

mereka terlibat percakapan dari hati ke hati,

ditemani lagu cinta yang seakan telah berjanji

mengalun sepanjang tahun, sepanjang sunyi.

Perbincangan semakin bertambah seru,

ketika Sangaji, Tantya, dan Ratri juga setuju

bahwa diskusi soal bercinta dan bercumbu

bukanlah hal terlarang, pamali, atau tabu,

melainkan justru sangat penting dan perlu

dipelajari, dibahas, dan dikaji sebagai ilmu,

sedangkan Salindri yang jengah dan malu,

hanya bisa menunduk kelu dan membisu.

Ratri terharu, berkata dalam nada iba:

"Di Bumi Harapan ini, Salindri tercinta,

soal membicarakan seni bercumbu itu biasa,

semua suami istri di sini pasti melakukannya"

Sangaji dan Salindri saling pandang,

dan kian terguncang saat Tantya juga bilang:

"Memang betul apa yang dibilang Ratri,

soal seks memang menjadi obrolan sehari-hari,

bahkan tiap-tiap suami dan juga tiap-tiap istri,

masing-masing pasti punya nama sandi

untuk menamai organ seks pasangannya sendiri,

organ lain, dan hubungan intim suami istri

juga dibuatkan nama dan istilah sendiri"

Sangaji dan Salindri saling pandang,

dan Tantya kembali bilang terus terang:

"Misalnya penis dinamai Lontongpanjang,

vagina diberi nama kesayangan Bikang,

clitoris dinamai Permen, G-spot disebut Utang,

sedang istilah hubungan intim diganti Terbang,

sehingga di mana saja mereka bisa berbincang

atau merancang temuan variasi-variasi Terbang,

dan semuanya dibicarakan secara terus terang,

misalnya: nanti malam sebelum kita Terbang,

sarapan Lontongpanjang dulu sampai kenyang,

cuci mulutnya Permen atau Bikang,

tentu saja jangan lupa bayar Utang... ."

Sangaji dan Salindri nyaris tertawa,

namun Ratri langsung menyambung selekasnya:

"Punya saya dan kepunyaan Tantya

masing-masing juga punya nama rahasia,

dan yang tahu namanya hanya kami berdua,

dengan begitu kami bisa bicara terbuka, .

tapi yang kami bicarakan tetap rahasia"

Sangaji dan Salindri saling melirik,

kerongkongan mereka serasa tercekik,

lantaran menahan rasa geli yang menggelitik,

dan mereka benar-benar tak dapat berkutik,

saat Tantya yang tampan dan Ratri yang cantik,

berkata lirih alias berbisik:

“Asyiik....”