Smaragama: Nikmat Maksiat

Gadis Abdul diperbarui 06 Feb 2016, 19:14 WIB

Fimela.com, Jakarta Syahdan di persimpangan itu,

Sangaji dan SaJindri bengong termangu,

tak tahu benua mana yang harus dituju,

karena setiap akan melangkah selalu ragu,

karena daya tarik dan pesona kedua benua itu,

dua benua itu sama memikat rasa ingin tahu,

bahkan mencoba mempengaruhi rasa rindu.

Sangaji dan Salindri saling pandang,

diam-diam saling mengukur dan menimbang,

sampai akhirnya Sangaji berkata lantang:

"Wahai Salindri, istriku tersayang,

kita berdua ini tak lebih dari sekadar wayang,

yang tidak bisa menolak kehendak dalang,

dan apapun yang akan kita lakukan sekarang,

mestinya kita jalani saja tanpa rasa bimbang,

dan biarlah menjadi bagian yang akan hilang

dari riwayat hidup kita yang gilang-gemilang."

Salindri mengangguk, lalu berkata:

"Wahai Sangaji, suamiku tercinta...,

ke manapun kau pergi, aku akan turut serta,

tapi bukan berarti kesetiaanku itu membuta,

pun bukan karena aku rela diperbudak cinta,

apalagi sampai mau mengikutimu ke neraka,

melainkan disebabkan kita mesti bersedia

untuk senantiasa berdua, selalu bersama,

dalam suka maupun dalam duka"

Mendengar jawaban Salindri,

Sangaji merasa lega dan berbesar hati,

sehingga keraguan pun dikalahkan nyali,

dan dengan penuh rasa percaya diri,

Sangaji meraih kedua tangan Salindri,

kemudian saling meremas jari-jemari.

Sambil bergandengan tangan,

Sangaji dan Salindri meniti jembatan,

dan sampai di mulut gerbang Benua Impian,

majikan seluruh kota metro dan megapolitan,

yang menganga lebar, langsung menelan

para pemburu dan penikmat kesenangan.

Benua Impian ibarat bunga sekuntum,

selalu bergoyang ritmis bak gerak pendulum,

lantaran dikutuk berjuta penyihir dan ahli nujum,

maka udara kotor dimanipulasi jadi bau harum,

buah busuk tersulap menjadi tampak ranum,

segala tipu daya tersembunyi di balik senyum,

kekejaman terbungkus kemasan peluk cium,

kebenaran dibungkam, keadilan dihukum,

dan segala sesuatu yang cabul dan mesum,

diolah jadi hidangan favorit khalayak umum,

yang menyantapnya sambil minum-minum,

diiringi musik berisik berdentum-dentum,

dan jerit penyanyi selantang singa mengaum.

Sementara itu di arena, tepat di titik sentrum,

Sangaji dan Salindri kaget bagai kesetrum,

ketakjubannya nyaris berubah jadi rasa kagum.

Segala yang tertihat di berbagai tempat,

sungguh menggambarkan kenyataan dahsyat

dan menghadirkan realitas faktual yang gawat,

maka Sangaji dan Salindri basah keringat,

tatkala digoda jaring-jaring pesona jerat maksiat,

yang setiap hari, bahkan pada tiap-tiap saat,

menggelar tontonan pemuas kuat syahwat,

dalam bermacam gaya, beragam akrobat,

dari posisi aneh hingga yang paling keparat.

Syahdan mantra Kitab Smaragama,

yang ditebar merata di delapan penjuru benua,

membuktikan kesaktian dan keampuhannya.

Maka Sangaji dan Salindri yang gamang,

bagai melongok ruang tembus pandang,

dan menyaksikan betapa berjuta-juta orang,

larut hanyut dalam kehidupan serba senang,

serba bebas, serba boleh, serba tak dilarang,

bahkan etika dan norma susila pun menghilang.

Di sana, di kamar remang-remang,

tampak seorang lelaki tua berhidung belang,

dan matanya yang jalang berkilat nyalang,

saat menatap perempuan muda telanjang,

yang jalan pertahan menghampiri ranjang,

dan jemari lelaki itu segera menggerayang,

tangan kiri menelusup ke tempat tertarang,

tangan kanannya melucuti celana panjang,

setelah sama-sama polos bugil telanjang,

lantas bercinta, meniru perilaku binatang,

yang perempuan tak henti mengerang,

sementara si lelaki tua sibuk berjuang,

minta dipegang, dielus, ditimang-timang,

agar belalai syahwatnya mengeras kencang,

tapi sayang seribu kali sayang tersayang,

meski telah dilakukan upaya malang melintang,

dari samping, atas, bawah, depan, dan belakang,

sang belalai tetap saja terkulai tak mau tegang,

maka bagai serdadu pecundang kalah perang,

lelaki berumur itu tersungkur di kasur ranjang,

dan si perempuan pun berhenti mengerang,

tangannya tengadah menagih uang.

Dan di sana, di kamar hotel berbintang,

seorang perempuan berumur dan banyak uang,

sedang bercumbu mesra, bersenang-senang,

dengan perjaka belia pedagang tampang,

yang tak henti merintih dan menggelinjang,

lantaran baru pertama kali ia bertualang,

langsung lumat dicumbu perempuan girang,

yang telah kenyang malang-melintang,

yang memiliki beribu-ribu jam terbang,

yang mempunyai pengalaman segudang,

yang patut disebut pakar seni merangsang,

maka kendati tulang pinggangnya kejang,

si perjaka minta diulang, dan diulang.

Pada saat yang sama juga terjadi,

adegan yang memanjakan kenikmatan birahi,

di panti pijat berembel-embel warisan tradisi,

yakni ketika jari-jemari pemijat menjelajahi

dan menelusuri wilayah rawan di tubuh lelaki

sambil sesekali senggol sana senggol sini,

dan dengan penanganan yang sangat ahli

benar-benar dikerjakan dengan tangan asli

jari-jari yang lentik itu menciptakan sensasi

hingga lelaki yang semula tengkurap menanti

perlahan mabuk kepayang fantasinya sendiri

kemudian menjadi lupa diri dan lepas kendali,

apabila negoisasi dan transaksi disepakati,

bisa langsung bercinta atas dasar jual beli.

Bagaikan tertelan telor busuk,

rasa mual membuat isi perut teraduk-aduk,

tapi Sangaji dan Salindri cuma bisa menunduk,

mencoba berpaling dari kenyataan buruk,

dan ketika beringsut pergi sambil membungkuk,

malah saling seruduk dan jatuh terpuruk.

Dan di dekat mereka terpuruk jatuh,

sejumlah suami dan sejumlah istri berselingkuh.

Di lain tempat, di lorong-lorong darurat,

bapak-bapak dan ibu-ibu saling berkhianat.

Di ruang kantor yang mentereng,

para oknum pejabat berlomba menyeleweng.

Di rumah kosong, di ruang kelas,

berpasang-pasang remaja terjerat seks bebas.

Di dalam kamar mandi, di pojok sepi,

sekian juta remaja terbuai nikmat masturbasi.

Di bangsal klinik yang muram dan sunyi,

berjuta-juta perempuan muda melakukan aborsi.

Di pelukan Sangaji, dalam kehangatan,

Salindri menggigil gemetar tercekam kengerian,

syukurlah keinginan pergi dari Benua Impian,

begitu mereka ucapkan langsung dikabulkan,

dan dalam sekejap sampai di Benua Harapan,

ibu kandung semua kampung halaman....