Fimela.com, Jakarta Malam semakin tua, sunyi dan larut,
tak lama lagi fajar 'kan bersinar meretas kabut,
maka hologram Adam dan Eva pun berlutut,
dengan diam mereka ucapkan maksud
kembali menggaib di alam tanpa wujud,
karena tugas menjelmakan secara runtut
perihal seni bercinta yang halus dan patut,
bukan percintaan yang kalut dan kalangkabut,
pun bukan percintaan yang dicekam rasa takut
dan membuat suami istri terbelenggu kemelut,
t'lah genap dijelaskan dari awal sampai buntut.
Baca Juga
Dengan keajaiban dan kegaibannya,
Kitab Smaragama menggumamkan mantra,
dan dalam sekejap, secepat laju cahaya,
sosok sepasang hologram Adam dan Eva
meluruh lenyap dari pandangan mata,
membuat Sangaji dan Salindri terpana,
saling pandang, takjub, dan tak percaya,
bahwa semuanya itu benar-benar nyata,
bukan ilusi atau mimpi yang sia-sia.
Sangaji meraih jemari Salindri,
diusap, dibelai, diremas, dan diciumi,
sambil berbisik minta maaf berkali-kali,
atas caranya memetik kesucian Salindri,
sehingga ia telah menyakiti sang istri.
Maka bergetaranlah keharuan,
menyaksikan mereka saling memaafkan,
dengan ikhlas dan sepenuh kerelaan,
sambil beringsut merapatkan badan,
dan perlahan-lahan berpelukan.
Tapi sebelum terucap penyesalan,
Kitab Smaragama bergegas menjelaskan:
"Tak perlu ada penyesalan,
karena bagi suami istri yang mengutamakan
kesetiaan berpasangan sepanjang zaman,
selalu ada waktu dan berjuta-juta kesempatan
untuk mengulangi langkah-langkah percintaan,
memulainya dari sentuhan mesra pemanasan,
meningkat pada belaian penuh kelembutan,
berlanjut dengan usapan dan pemijatan,
dan berikutnya tersedia banyak pilihan
yang dapat disepakati kedua pasangan
dan kemudian sama-sama dilakukan
selama perjalanan ke puncak pertemuan
tempat berjumpa dua sosok kerinduan,
lalu menyatu dalam indahnya keindahan.
Tentu saja selalu ada pilihan,
misalnya bercinta serba cepat alias instan,
lantaran tak cukup waktu untuk pemanasan,
maka percintaan yang berlangsung spontan,
dan yang selekasnya sampai pada tujuan,
merupakan salah satu dari sekian pilihan
yang sesekali baik juga dipraktikkan
di sela kesibukan, di antara ketergesaan,
berebut waktu dengan tuntutan pekerjaan,
juga tetap dapat memberikan kenikmatan,
tanpa menodai indahnya keindahan.
Memang tak ada yang harus disesali,
karena bagi suami istri yang sejiwa-sehati,
bersetia membahu beban sehidup-semati,
selalu punya peluang menyalakan api birahi,
dengan cara dan teknik bercinta tingkat tinggi,
yakni percintaan yang diperkaya imajinasi,
titik api keberanian melakukan inovasi,
mengolah fantasi dan kreasi penuh sensasi,
sehingga suami istri bisa menciptakan sendiri,
variasi yang pas dan sesuai keinginan hati,
agar yang dingin menjadi hangat kembali,
juga supaya yang beku dapat mencair lagi.
Dan rahasia keindahan seni bercinta,
yang terkandung di dalam Kitab Smaragama,
hanya akan dibukakan bagi mereka berdua,
suami-istri yang saling setia meniti masa,
dan pasangan yang memiliki totalitas cinta,
di dalam jiwa, raga, rasa, dan cita-cita.”
Tatkala wejangan itu berakhir,
Sangaji dan Salindri terlena, terbuai, tersihir,
lalu tertidur seperti sepasang bayi baru lahir,
sedangkan waktu terus bergulir mengalir.
Dan ketika malam ditelanjangi mentari,
Kitab Smaragama perlahan menggaibkan diri,
sambil merangkai kata menjadi mantra sakti
yang saat dilepas lantas bergegas memasuki
alam bawah sadar Sangaji dan Salindri,
dan layar imajinasi sejoli pengantin itu dilucuti,
kemudian dipertemukan dalam satu mimpi.
Hatta bertemulah mereka berdua
di persimpangan dua benua berwajah serupa,
tapi sifat dan kandungan maknanya berbeda.
Yang di sana adalah Benua Harapan,
lbu kandung semua kampung halaman,
tempat di mana segala yang pemah dihinakan,
mendapatkan maaf dan pengampunan,
tempat di mana berjuta kenangan tersimpan
serta dikekalkan keabadian,
dan tempat di mana anak-anak dilahirkan
hanya dari rahim kebahagiaan,
diasuh dan tumbuh menjadi kenyataan.
Dan di sebelahnya itu di Benua Impian,
majikan seluruh kota metro dan megapolitan,
tempat di mana segala hal diperual-belikan,
bahkan cintapun diperdagangkan,
tempat di mana keserakahan dimenangkan,
bahkan menjadi pilar kekuasan,
dan tempat di mana kekayaan,
melayani dan memenuhi segala keinginan,
pun bila ada yang ingin menjelma jadi setan,
pasti langsung dikabulkan,
dan bila jadi setan ternyata membosankan,
tinggal menyebut lain pilihan
dan dalam sekejap jadilah kenyataan.
Akan halnya Kitab Smaragama,
yang menggaibkan diri menjadi cahaya maya,
diam-diam menyadap mimpi mereka berdua,
dan merekam niat, siasat, juga dusta-dusta,
seperti halnya intelijen yang berdinas rahasia,
menyadap percakapan lewat kabel udara,
dan merekam skenario sebuah sandiwara
yang dimainkan para penguasa negara,
dengan lakon pengadilan pura-pura
terhadap dewa-dewa dan anak cucunya
yang selama puluhan tahun berkuasa
ditengarai terlalu jujur dan bersahaja,
terlampau pemurah memberikan apa saja
pada anak, cucu, menantu, dan kerabatnya
yang terus meminta tak ada habis-habisnya,
pun bahkan tanah dan rumah para kawula
diminta atas nama kemakmuran bangsa
cuma ditukar dengan senyum dan retorika
tentang keadilan, kedaulatan rakyat jelata
dan nasihat-nasihat yang arif bijaksana
sehingga alam semesta akhirnya berkata,
sebagai dewa perilakunya terlalu biasa
maka lebih baik dimutasi jadi pandita.
Dan di persimpangan dua benua,
Sangaji dan Salindri bingung mau ke mana?
Memilih pergi ke Benua Harapan,
ibu kandung semua kampung halaman,
atau memilih Benua Mimpi yang rupawan,
majikan seluruh kota metro dan megapolitan,
ataukah memilih keduanya sekalian?