Fimela.com, Jakarta Tidak adanya payung hukum untuk menjerat semua yang terlibat dalam kasus prostitusi membuat Pieter Ell mengajukan uji materi terhadap Undang-undang Hukum Pidana, terutama terkait Pasal 296 dan Pasal 509 karena hanya menjerat pihak muncikari. Pengajuan tersebut telah dilakukan ke Mahkamah Konstitusi. Menurut Pieter, hingga saat ini sudah dilakukan tiga kali persidangan.
"Saya menilai pasal-pasal tersebut bertentangan dengan Pasal 28 D, Undang-undang Dasar 1945. Pasal tersebut menegaskan bahwa semua warga negara harus diperlakukan sama dalam di depan hukum. Baik itu muncikari, PSK (pekerja seks komersial), maupun penggunanya harus dijerat hukum. Semua harus diperlakukan sama, tidak hanya artis," papar Pieter Ell saat berkunjung ke Bintang.com, Jl. RP Soeroso, Gondangdia, Jakarta Pusat, Jumat (18/12/2015).
Baca Juga
Pieter menilai, tindak pidana prostitusi terjadi karena adanya muncikari, PSK, dan pengguna. Jika tidak ada itu, tidak ada prostitusi. Sementara jika hanya muncikarinya yang dijerat hukum, maka terjadi ketidakadilan.
Sekadar mengingatkan, Pasal 296 menyebutkan siapa dengan sengaja menyebabkan atau memudahkan perbuatan cabul oleh orang lain dengan orang lain dan menjadikannya sebagai pekerjaan atau kebiasaan diancam dengan penjara paling lama 1 tahun 4 bulan atau pidana paling lama lima belas ribu rupiah.
Sementara itu, menurut Pieter Ell, Pasal 509 menyebutkan barang siapa menarik keuntungan dari perbuatan cabul seorang wanita dan menjadikannya sebagai pencarian diancam dengan pidana kurungan 1 tahun.
"Kami berharap pelaku prostitusi dijerat hukum paling rendah 3 tahun serta denda sesuai kepatutan," lanjut Pieter Ell.