Tuhan, saya mau jadi dokter yang sekolah di Jerman.
Fimela.com, Jakarta Setiap pukul 6 pagi, Lie Augustinus Dharmawan (Li De Mei), mengucapkan doa tersebut dengan sungguh-sungguh, di sebuah gereja dekat sekolahnya, ketika dia masih kecil. Menjadi dokter merupakan impiannya sejak dulu. Mimpi ini tumbuh saat dia melihat banyak orang sakit yang tak sanggup berobat ke dokter, hingga akhirnya terpaksa pergi ke dukun. Cita-cita ini sempat dia katakan dengan lantang di kelas, di depan banyak teman-teman sekolahnya. Meskipun ditertawai, Lie tak gentar untuk terus bermimpi menjadi dokter.
Tumbuh di keluarga miskin, Lie kecil harus menemui banyak rintangan dalam hidupnya. Sang ibu tak sempat menamatkan sekolahnya. Meskipun begitu, Lie dianugrahi ibu yang pekerja keras, tangguh, dan berbudi luhur. Satu hal yang selalu dikatakan ibunya, “Lie, kalau kamu sudah jadi dokter, jangan memeras orang kecil. Mereka akan membayar berapapun tetapi diam-diam menangis di rumah karena tidak ada makanan." Kata-kata ini melekat kuat dalam benaknya dan menjelma sebagai tekad untuk menjadi dokter yang sesungguhnya. Tekadnya ini semakin bulat ketika dia menyaksikan langsung adiknya yang pergi meninggalkan keluarga tercinta karena menderita diare akut. sejak itu, dia tak berhenti berdoa, belajar, dan bekerja keras demi mewujudkan cita-citanya.
Baca Juga
Karena ketekunan dan belajar dengan keras, Lie akhirnya berhasil lulus dari SMA dengan prestasi gemilang, di tahun 1965. Berulang kali ia mendaftar di Fakultas Kedokteran Universitas di Pulau Jawa, namun tidak diterima. Lie kemudian diterima di Universitas Res Publica (URECA). Namun, baru saja berkuliah beberapa hari, gedung kampus tersebut dibakar massa. Lie yang tidak berputus asa, kemudian memutuskan untuk kerja serabutan. Apa saja dia kerjakan. Paling tidak sampai uangnya terkumpul untuk ongkos ke Jerman.
Tanpa dukungan beasiswa, saat dia berusia 21 tahun, Lie mendaftarkan dirinya ke Fakultas Kedokteran Free University, Berlin Barat. Diterima, Lie kemudian mulai kuliah. Tanpa sokongan beasiswa, tentu harus membanting tulang untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Dengan semangat yang tak pernah padam, Lie yang lahir di Padang tahun 1946 itu akhirnya bekerja sebagai kuli bongkar muat barang di Jerman. Upah masih belum juga cukup. Dia pun bekerja di tempat lain, di sebuah panti jompo. Tugasnya? Membersihkan kotoran para orang tua berumur 80-an tahun.
Kesibukannya bekerja dan belajar tak membuat prestasinya turun. Lie pun pada akhirnya mendapat beasiswa. Uangnya kemudian digunakan untuk membiayai keluarga. Memang jerih payah dan kegigihan akan selalu berbuah manis. Lie lulus dari sekolah kedokteran dengan menyandang gelar Medical Doctor.
Perbedaan orang sukses dengan yang belum sukses ternyata tercermin dalam diri Lie sejak muda. Mereka yang sukses tak pernah puas dengan pencapaiannya. Empat tahun kemudian, Lie berhasil menyandang gelar Ph.D. Selama 10 tahun, pria keturunan Tionghoa ini berhasil lulus sekolah kedokteran dengan empat spesialisasi; ahli bedah umum, ahli bedah toraks, ahli bedah jantung dan ahli bedah pembuluh darah. Setelah itu dia kembali ke Indonesia, dan menjadi dokter yang sangat konsen dengan kesehatan orang-orang kecil. Bahkan dia sering mengobati pasien, serta melakukan operasi secara cuma-cuma. Termasuk dengan membangun rumah sakit apung swasta pertama di Indonesia, yang mengoperasi dan memberi pengobatan bagi orang-orang miskin tanpa biaya.
Kisah Lie Dharmawan ini seharusnya menjadi pecut bagi anak-anak muda untuk segera menyelesaikan studinya. Lie juga mengajarkan pada semua orang, termasuk para dokter, untuk menjadi dokter yang sungguh-sungguh. "Kalau kamu menjadi dokter, kamu jangan memeras orang miskin. Mereka akan membayar, tapi mereka akan menangis karena ketika pulang mereka tak punya uang untuk membeli beras," katanya.