Teguh Karya selalu serius dalam bekerja dan mencintai pekerjaannya, hal tersebut menjadi kunci berkarya baginya. Bahkan menurut Niniek L Karim, Teguh Karya merasa bedosa jika tidak bisa memuaskan penontonnya. (Deki Prayoga/Bintang.com)
Tidak heran jika Teguh Karya menjadi sutradara yang paling banyak menyabet piala Citra. "Keseriusan itu berusaha untuk terus mencari," kata Niniek yang juga berprofesi sebagai dosen di salah satu universitas negeri di Indonesia. (Deki Prayoga/Bintang.com)
Tak kenal menyerah seolah menjadi slogan sang maestro dalam menuangkan gagasannya ke dalam sebuah cerita bergambar. Bahkan Slamet Rahardjo pernah disuruh ‘ngayang’ sendiri lantaran keterbatasan alat untuk membuat ‘slow motion’. (Deki Prayoga/Bintang.com)
Festival Film Indonesia (FFI) 2015 menjadikan Teguh Karya sebagai ikon ajang film bergengsi ini. Bentuk lain apresiasi karya beliau adalah dengan mengadakan temu wicara di kediamannya yang juga diikuti oleh Niniek L. Karim. (Deki Prayoga/Bintang.com)
Olga Lydia pun mengaku pernah mendengar kisah kreativitas Teguh Karya yang tidak bergantung pada alat. Pernah suatu ketika Teguh Karya kekurangan tata pencahayaan untuk sebuah judul filmnya ia mengakalinya dengan cat tembok. (Deki Prayoga/Bintang.com)
Selain Niniek L. Karim dan Slamet Rahardjo, banyak tokoh yang lahir dari Teater Populer yang didirikan teguh sejak 1968. Di antaranya pendiri Teater Koma Nano Riantiarno, aktris Christine Hakim dan sutradara Frank Rorimpandey. (Deki Prayoga/Bintang.com)
Dengan menjadikan Teguh Karya sebagai ikon Festival Film Indonesia (FFI) 2015, diharapkan dapat memberi pelajaran kepada para sineas tetang pola pikir dan sikap yang tidak pernah menyerah dalam berkarya. (Deki Prayoga/Bintang.com)