Fimela.com, Jakarta Film Brush with Danger akan ditayangkan di bioskop mulai 26 November 2015. Ini adalah film Hollywood pertama yang disutradarai putri bangsa dari Jawa Timur, Livi Zheng. Perjalanan panjang harus dilalui Livi Zheng untuk mencapai prestasi ini.
Livi melesatkan karyanya bukan hanya dengan perolehan penonton. Ditayangkan selama dua bulan di bioskop Amerika bukanlah pencapaian biasa. Seiring bertambahnya penonton, Livi Zheng memperoleh undangan untuk masuk seleksi nominasi Oscar untuk kategori Best Picture pada Academy Award ke-87.
Baca Juga
Padahal di awal karir sebagai sutradara, Livi sempat diramal tak bakal sukses karena tiga faktor penghambat yaitu Asia, muda, dan wanita. Untuk mematahkan anggapan tersebut, Livi bekerja keras. Ia ingin membuktikan keputusannya untuk mengubah jalur karir dari ekonomi bukanlah keputusan yang salah. Kepada Bintang.com, Kamis (29/10/2015) di kawasan Kemayoran, Livi berbincang panjang tentang film dan rencana ke depan. Berikut obrolan kami:
Ceritakan tentang film Brush with Danger dong?
Filmnya drama action tentang kakak beradik yang datang sebagai imigran gelap ke Amerika. Kakaknya ingin jadi pelukis, adiknya ingin jadi pelaut. Filmnya terinspirasi imigran dari Cina dan Eutopia yang melarikan diri dari perang.
Bagaimana awal mula Anda terjun di film?
Saya kan sebenarnya sarjana ekonomi, pas saya mau wisuda aku bingung karena saya itu suka film. Saya selama kuliah itu kan memang suka ikut job singkat ngerjain film. Dari sana portofolio film saya bertambah.
Sebenarnya dari dulu saya lebih tertarik di beladiri. Tapi keluarga lebih banyak insinyur dan bisnis, nggak ada senimannya. Jadi bingung saya mesti bagaimana. Tanya ke siapa saya juga tidak tahu. Waktu itu saya bantu-batu di set film. Saya terlibat di beberapa project film. Dari situ saya mantap mutusin ke film.
Apakah langsung berhasil di Brush with Danger?
Tidak, saya sampaikan ide film Brush with Danger ke beberapa produser selama itu nggak ada yang tertarik. Pas mau wisuda ketemu ekskutif produser ada yang tertarik. Dia tahu Asia, tahu bela diri. Dari situ aku semakin mantap untuk membuat film. Waktunya pas, tekad saya harus membuat film hollywood makin mantap.
Bagaimana tanggapan keluarga saat Anda memutuskan untuk ke film?
Keluarga nggak menentang. Asal sudah milih satu ya harus konsisten. Jangan milih satu gagal langsung ganti lagi, ganti lagi. Saya bilang mau pindah ke film, mereka mendukung dan harus konsisten pesannya.
Suka duka bekerja di film Hollywood?
Dukanya jam kerjanya panjang, nggak mungkin di bawah 12 jam sehari. Week end nggak ada libur. Capek pasti. Sukanya karena kita selalu bersama, jadi kayak keluarga karena menghabiskan waktu bersama sepanjang syuting. Kita tuh tahu kalau lagi break adalah waktu untuk istirahat. Jadi kebanyakan kita tidur. Cuma kalau ada yang sakit, misalnya ibu teman sakit kita tuh bisa kompak semuanya ikut jenguk. Alasannya ya karena kita sama-sama tahu waktu untuk keluarga itu sedikit. Kita jadi menghargai keluarga.
What's On Fimela
powered by
Melewati 32 Macam Ujian
Tantangan paling sulit saat membuat film?
Jadi di sana saya penginnya dapat kru yang bagus. Yang sudah nominasi Oscar. Yang bikin Hunger Game. Tapi untuk menyakinkan mereka itu bukan pekerjaan mudah. Mereka pilih-pilih banget karena nggak mau merusak nama baik mereka kan.
Akhirnya saya les skenario. Naskah yang saya ajukan ke eksekutif produser harus menjalani revisi. Revisi pertama itu 80% tulisan saya dibuang. Lalu bikin lagi dari 20% yang tersisa. Proses revisinya hingga 32 kali.
Sulit sekali?
Mereka bekerja sesuai dengan skenario. Kalau skenario nggak cocok ya mereka mundur langsung. Tapi kalau skenario cocok, baru bicarakan uang setelah cocok skenarionya. Nego apapun yang lain nggak bakal jalan kalau skenarionya nggak cocok.
Sempat merasa pengin menyerah?
Nggak sempat lagi untuk merasa jengah. Aku down banget. Sudah kebayang bahwa bakal ada proses revisi skenario. Tapi aku nggak pernah bayangkan bahwa revisinya sampai 32 kali. Aku kerja keras oke, ditolak sekali dua kali okelah. Tapi di awal sampai 32 kali.
Dari awal itu sudah drop. Skenario sudah berbulan-bulan nulisnya. Sudah kebayang nanti kalau syuting kayak apa. Tapi tiba-tiba semua dibuang. Kayak "kasihan deh lo".
Apa yang membuat Anda bertahan?
Semangat saya latihan bela diri menguatkan saya. Aku latihan tinju untuk satu gerakan aja bisa ribuan kali latihan ninju baru benar. Jadi aku pantang menyerah untuk merevisi naskah. Aku sama adikku dekat banget. Karena saat SMA kami berdua di Shanghai, nggak ada orang lain. Kami saling menyemangati.
Setelah berhasil membuat film pertama, bagaimana rencana ke depan?
Dari 4000 film aku masuk seleksi 1 persen Academy Awards, seteah itu jalanku terbuka banget. Artinya kepercayaan sudah mulai terbuka.
Bagaimana rencana film selanjutnya?
Film kedua aku action triler sudah siap tayang. Sekarang lagi ngerjain film ketiga. Penginnya film keempat syuting di Indonesia dengan separuh tim dari Hollywood dan separuh dari sini.
Mengapa Anda suka bermain jadi sutradara dan pemain sekaligus?
Aku kan kuliah di Seattle, di situ semua berdasarkan riset. Ada riset tentang film Bruce Lee. Kenapa Bruce Lee itu bisa dikenal oleh orang yang suka atau tidak suka nonton film dan kungfu? Karena Bruce Lee bekerja di depan dan di belakang layar. Karena itulah saya menjajal untuk menjadi sutradara dan pemain film.
Bedanya di depan dan di belakang layar?
Di depan kamera itu kerjanya fokus tinggi banget untuk akting. Harus bagus di kamera, yang dipikir itu saja. Tapi kalau jadi sutradara kita harus berfikir cepat dan tepat. Cepat mengambil keputusan karena semua menunggu komando sutradara. Keputusan yang diambil juga haus tepat karena akan berkaitan dengan bugjet.
Enaknya jadi sutradara sekaligus aktor aku bisa ngerti banget ceritanya. Jadi kalau ada aktor yang nanya kenapa harus begini, dialognya saya bisa jelasin. Aktor banyak bertanya kenapa harus begini dan mereka baru mau akting setelah tahu dengan jelas kenapa harus akting seperi di skenario. Kalau aktor cuma peduli satu karakter. Kalau sutradara mesti mengerti semua. Plus harus membuat keputusan untuk baju, set, dan semuanya.
Mana yang membuat Anda puas?
Kepuasan sutradara itu lebih besar, karena sepanjang film diputar lalu melihat reaksi penonton itu ada kepuasan tersendiri. Kalau jadi aktor ya puas setelah melihat aktingnya di film saja.
Saya bisa aja maksain selalu main di detiap film yang saya buat. Tapi saya tidak mau melakukan itu, saya ikut main jika memang ada karakter yang pas. Kalau dipaksakan nanti jadi jelek filmnya. Di film kedua saya, saya tidak ikut main film.
Baca Juga: Demi Hollywood, Livi Zheng Sabar Jalani 32 Kali Revisi Skenario
Mencintai Indonesia Sepenuhnya
Perasaan kamu film Brush with Danger bakal tayang di Indonesia?
Dari awal aku bikin film, mau project film pendek atau film panjang, saya selalu minta hak siar di Indonesia saya yang pegang. Jadi pas film Brush with Danger tayang di Amerika saya sudah bayangkan buat menayangkan di Indonesia. Nervous ya, di Indonesia aku kan baru banget.
Kok nervous?
Karena di Amerika ada PH yang bikin film, Distributor yang ambil film, Ada marketing, publicity, baru bioskop. Di Indonesia tinggal dua step. Di Indonesia aku harus mengurusi semuanya, izin-izinya. Publicity juga aku lakukan sendiri. Jadi aku harus belajar lagi. Benar-benar pengalaman yang sangat baru banget.
Optimistis bakal disukai penonton?
Kalau sudah tayang di bioskop semua diserahkan pada penonton. Semoga banyak yang suka.
Persiapan syuting di Indonesia?
Indonesia banyak yang belum tahu. Saat kuliah S2, ada mahasiswa PhD yang tanya ke saya, bagaimana internet di Indonesia? Ada juga yang nanya bagaimana kalau kami ke toilet? Mereka nggak tahu kita sudah semaju ini. Nah, itu sebabnya saya mesti ajak langsung tim Hollywood ke sini. Untuk menyakinkan mereka sebelum saya ajak untuk syuting di sini.
Reaksi mereka?
Sudah 20 orang yang aku ajak ke sini. Mereka suka, eksekutif produser aku setelah ke sini langsung meminta anaknya ke sini belajar gamelan.
Bangga dengan Indonesia?
Banyak yang kita punya, orang lain tidak punya di luar sana. Bikin film itu memang susah, bukan berarti nggak bagus. Kalau film Indonesia susah tembus hollywood, ya memang susah. Di Amerika itu nggak semua film maker itu tembus hollywood.
Syuting film laga lagi di Indonesia?
Ini yang aku heran, beladiri di Indonesia itu bagus-bagus. Taekwondo juga bagus, tapi talent ini nggak banyak yang tahu. Untuk bermain film, kalau film maker nggak tahu Indonesia itu sebelah mana, bagaimana mungkin talent di sini akan diketahui dunia? Inilah yang saya pikirkan. Film keempat saya mau buat film laga lagi dan syutingnya di Indonesia.
Sudah sejauh mana persiapannya?
Nggak mudah untuk mengajak film maker hollywood ke Indonesia dan syuting di sini. Saya harus memperkenalkan Indonesia dulu pada mereka. Setelah itu barulah saya bisa mengajak untuk syuting disini.
Tips menembus Hollywood?
Kita harus oke untuk ditolak, kita hanya butuh satu yes untuk memulai langkah besar. Eksekutif produser menolak bukan berati karya kita jelek. Jangan diambil serius. Bisa jadi itu memang belum bertemu dengan selera yang tepat. Makanya kalau ditolak jangan kecil hati. Harus open dengan kritik.
Pengalaman hidup telah membuat Livi Cheng menjadi wanita kuat yang bisa menembus keraguan orang. Film Brush with Danger menjadi awal yang bagus untuk Livi. Dengan semangat juang yang tinggi, Livi masih terus berusaha untuk memberi bukti lewat karya di Hollywood.